Akia tengah lari dari Ayahnya, yang menikah lagi pasca kepergian Ibunya. Kia bersembunyi dan bekerja di sebuah Rumah sakit sebagai seorang perawat disana. Akia dipertemukan oleh seorang pasien dengan trauma kecelakaan yang menyebab kan pengelihatan nya hilang.
Bisma Guntur Prayoga. Seorang pria yang harusnya menjadi ahli waris untuk hotel besar milik Ayahnya, justru memiliki nasib tragis dengan harus kehilangan cahaya dari matanya.
Kedua dipertemukan dalam sebuah instiden, ketika Kia dituduh akan mencelakai Bisma. Padahal, itulah yang membuat Bisma sadar dari tidur panjangnya selama ini.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akan kan mereka akan bersatu, dan Kia menerima Bisma sebagai pengisi cahaya dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf, sudah merepotkan.
"Ayah!" Kia bernada keras kembali. Rasanya sudah benar-benar jengah dengan sikap arogan sang Ayah. Perlahan, Ia lepas tangan Bisma darinya.
"Tuan, maaf sudah merepotkan mu. Terimakasih sudah membantuku. Tapi... Maaf, aku harus ikut Ayah. Aku tak mau, jika terjadi sesuatu padamu."
Kia menjauh. Ia menghampiri sang Ayah dengan genggaman tangan nya yang telah melunak. Sementara Bisma, masih diam meresapi aroma tubuh Kia yang semakinn menjauh darinya.
" Padahal, aku sudah mulai terbiasa." gumamnya, menghirup yang masih tersisa di tangan nya.
"Bisma!" Daksa memanggil dan menghampirinya dengan begitu khawatir. Ia pamit sebentar, untuk beberapa urusan yang tertunda di kantor. Lalu kembali lagi pada Bisma untuk melanjutkan diskusinya dengan para dokter mengenai donor mata yang akan di lakukan.
"Gagal..."
"Hah? Bagaimana bisa? Rupanya tak cocok, dan tak semudah itu mendonorkan mata pada pasien lain."
"Ta-tapi mereka bilang...."
"Sudahlah, ayo pulang. Aku ingin meminta sesuatu padamu." ajak Bisma, berjalan pelan dengan tongkatnya meninggalkan Daksa yang masih berusaha mengatur nafasnya. Sedikit menjauh, Daksa menyusul Bisma dan menggiringnya dari belakang. Sesekali menyingkirkan sesuatu yang mungkin akan Ia tabrak dan mencelakai sahabatnya itu.
Tiba di mobil, Daksa langsung membawa Bisma masuk dan Ia mulai duduk untuk menyetir.
"Katakan, apa yang kau ingin kan dariku? Jangan terlalu berat, pekerjaan ku sudah banyak."
"Andai aku bisa mencari sendiri, pasti aku sudah...." Bisma memasang mode lemah dan tak berdayanya. Dengan wajah lesu tanpa semangat hidup, dengan tatapan kosong dari kebutaan yang Ia alami.
"Haish, selalu saja mempergunakan kelemahan mu itu, untuk memaksaku. Ayo, katakan!"
"Perawat itu."
"Ya, kenapa?"
"Namanya Akia."
"Terus? Aku harus mencarinya? Mengobrak abrik seisi Rumah sakit?"
"Tidak.... Dia dibawa Ayahnya pergi."
Seketika Daksa mencengkram tangan di setirnya dengan kuat. Menjedotkan kepalanya di benda melingkar itu dengan begitu stres. Tanpa berucap panjang lebar, Ia tahu jika Bisma memerintahkan Ia mencari gadis itu. Tanpa ciri-ciri, tanpa bayangan seperti apa sosok Ayah yang membawanya pergi. Bahkan, nama lengkap nya pun tak ada petunjuk sama sekali untuk Daksa saat ini.
"Ibarat, aku harus mencari jarum ditumpukan sekam." omelnya. Tapi Bisma diam saja dengan rutukan sang sahabat disampingnya.
Keduanya tiba di rumah. Oma Sekara menyambut dan memapah Bisma masuk ke kamarnya. Nining pun datang untuk membantu Bisma mengganti pakaian nya dengan yang baru.
Oma menanyakan mengenai donor mata. Tapi Bisma hanya diam tanpa suara. Oma akhirnya beralih menanyakan semua pada Daksa, sebelum Ia kembali pergi.
"Daksa!"
"Ya, Oma?" Daksa berbalik badan, menghampiri Oma sekar yang berlari padanya.
"Bagaimana?"
"Donor? Ehmm, mereka bilang belum cocok, Oma. Ada banyak pertimbangan yang sudah mereka diskusikan."
Oma sekar melenguh lemah, lalu duduk dengan perasaan yang kembali hancur. Bagaimana tidak, Ia. Sangat menyayangi Bisma, dan rela mengeluarkan banyak uang untuk memperoleh mata itu untuk cucunya. Apalagi, Bisma merupakan pilar terkuat dalam keluarga, dan dia yang akan mengendalikan semua bisnis keluarga.
"Oma, Daksa pamit dulu. Begitu banyak pekerjaan yang harus Daksa selesaikan."
"Oh iya, Nak. Kamu juga harus bawa Surya sesekali. Agar Ia tahu dan mengerti bagaimana bekerja dengan baik."
"Itu... Sudah Daksa lakukan, Oma. Tapi, Oma lebih baik mendengar pendapat para dewan direksi untuknya. Daksa tak berani terlalu mengomentari."
Daksa memang sedikit sungkan, ketika ditanya mengenai Surya. Apalagi membahas mengenai kinerjanya di hotel. Dan Oma juga bukan orang bodoh, hanya dengan melihat respon Daksa seperti itu, Oma sudah faham betul apa sebenarnya yang ingin Ia katakan.
"Surya...." geram, tapi hanya bisa menghela nafas untuk meredamnya.
koq rubah² mulu