Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Suara ketukan pintu semakin memburu. Nada memeluk nenek Zubaida dengan erat. Mereka berada di sudut kamar yang sangat kecil dan rapuh. Takut jika itu adalah rentenir yang beberapa hari ini terus datang untuk menagih hutang.
"Jangan keluar, Nad. Nenek takut." Nenek Zubaida menarik tangan Nada yang hampir keluar.
"Tapi, Nek. Mereka akan tetap memaksa masuk dan meminta kita untuk membayar hutang," jawab Nada dengan suara pelan.
Nenek Zubaida terpaksa berhutang pada rentenir karena Haira tak mengirim uang. Namun, ia tak bisa mengembalikan karena tak ada penghasilan, sedangkan Nada pun belum bisa mencari uang karena belum lulus sekolah.
Akhirnya nenek melepaskan tangan Nada dan membiarkan gadis itu menemui mereka.
Nada pembuka tirai jendela. Menatap beberapa orang yang ada di depan rumahnya. Meskipun lampu teras sedikit redup, ia bisa melihat dengan jelas jika itu bukanlah rombongan rentenir, melainkan orang asing.
Lalu, Nada menatap penampilan beberapa pria yg memakai seragam hitam. Mereka tampak rapi daripada suruhan Tuan Hilden yang sering menagih hutang di rumahnya.
Lalu siap mereka? Nada semakin penasaran.
Ketukan pintu kembali terulang. Nada memberanikan diri membukanya. Berharap jika itu bukan orang jahat.
"Di mana Nona Haria?" tanya seorang laki-laki yang bertubuh kekar.
Nada mengerutkan alisnya.
"Kak Haira?" Nada tanya balik, memastikan jika ia tak salah dengar.
"Iya, kami mencari Nona Haira."
"Kakak nggak pernah pulang, malahan dia juga nggak kirim uang," ucap Nada dengan bibir bergetar menahan takut.
Meskipun mereka bukan orang yang ia maksud, tetap saja penampilannya seperti preman.
Beberapa orang itu saling berbisik lalu mundur beberapa langkah. Berbicara lewat telepon. Setelah itu kembali menghampiri Nada yang masih diselimuti ketakutan.
"Anda tidak berbohong, Nona?" tanya pria itu lagi.
Nada menggeleng tanpa suara.
Orang itu membalikkan tubuhnya. Baru beberapa langkah menuju mobil, satu rombongan datang menghampiri Nada yang masih berada di ambang pintu.
"Kebetulan kamu ada di luar," teriak seorang yang baru datang.
Bukan kawanan pria yang menanyakan Haira, namun itu adalah Tuan Hilden, sang rentenir yang Nada takuti.
Hawa panas datang seketika membuat sekujur tubuh Nada dipenuhi dengan peluh. Dinginnya malam tak lagi bereaksi seperti tadi.
"Katanya kamu mau bayar hutang, kapan? Jangan janji-janji terus, kalau malam ini nggak mau bayar, aku pastikan besok kita menikah," bentak Tuan Hilden yang membuat nada menciut.
"Am… ampun, Tuan. Saya benar-benar belum punya uang."
Nada menundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas jari, menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Malam ini adalah penentuan baginya, membayar atau menjadi budak pria itu untuk selamanya.
"Sekarang ikut aku!" Tuan Hilden menarik tangan Nada dengan paksa.
Satu tangan Nada meraih tiang dan langsung bersimpuh, memohon belas kasihan pria itu.
"Tuan, saya mohon jangan bawa saya, saya janji akan secepatnya mencari uang untuk membayar hutang."
Tuan Hilden melepaskan tangan Nada hingga gadis itu terjatuh ke belakang. "Pasti itu yang kamu ucapkan, tapi tidak pernah dibuktikan."
Nada menangis histeris yang membuat nenek Zubaida ikut keluar. Wanita yang berambut putih dengan kulit yang keriput itu merengkuh tubuh Nada dengan erat.
"Tuan, kasih waktu pada kami. Saya akan melunasinya."
"Tidak, malam ini juga aku akan menikahi Nada." Mendorong nenek Zubaida lalu meraih tubuh Nada dengan kasar.
"Tunggu!" sergah suara berat dari arah belakang. Nada menoleh menatap suara yang terdengar asing di telinganya.
Seorang pria tampan yang berkulit putih dengan setelan jas mahal itu berjalan dari arah kegelapan. Ia mencengkal tangan Tuan Hilden. Mengembalikan Nada ke dalam pelukan sang nenek.
"Berapa hutang mereka?" tanya nya pada Tuan hilden. Seakan menantang kekayaan yang dimiliki pria itu. Apakah masih di atasnya, atau justru sebaliknya.
Tuan Hilden membuka buku yang dibawa dan langsung menghitung semua hutang nenek Zubaida beserta bunga yang harus dibayar.
Setelah itu ia tersenyum sinis menatap penampilan pria di depannya itu dari atas sampai bawah.
"Jangan sok kaya, aku yakin kamu nggak mungkin sanggup membayar hutang mereka." Menunjuk nenek Zubaida yang masih memeluk Nada.
"Nama saya Mirza. Jangan takut, berapapun hutang nenek, tetap akan saya bayar."
Mirza mengeluarkan sebuah cek lalu tanda tangan di sana.
"Tulis saja berapa yang Anda mau. Tapi jangan ganggu mereka," ucapnya menyodorkan kertas itu di depan Tuan Hilden.
Setelah Tuan Hilden pergi, Mirza mendekati nenek Zubaida. Ini pertama kali ia melakukan sesuatu dengan hatinya.
"Tuan siapa?" tanya nenek Zubaida menatap wajah Mirza dengan lekat.
"Namaku Mirza. Aku kesini mencari Haira."
"Haira?" Nenek Zubaida mengulang ucapan Mirza yang memang sudah jelas.
Mirza mengangguk pelan.
Seketika itu juga nenek Zubaida menumpahkan air matanya.
"Sudah lima bulan dia bekerja. Tapi dua bulan ini Haira tak mengirim uang ke nenek. Nomor hp nya juga nggak aktif. Nenek juga kangen dengannya, dia __"
Nenek Zubaida tak sanggup melanjutkan ucapannya dan kemabli memeluk Nada.
Hati Mirza terasa teriris. Mengingat sikapnya selama ini yang sangat kejam pada Haira.
Kalau Haira nggak pulang ke rumah, lalu ke mana dia?
Mirza bertanya dalam hati. Ia tak mungkin menceritakan nasib Haira pada nenek Zubaida. Dan tak mungkin pula ia mengakui wanita itu sebagai istrinya.
"Apa aku boleh bertanya pada, Nenek?"
"Silahkan masuk dulu, Tuan. Tidak baik berbicara di depan pintu."
Mirza mengikuti langkah nenek Zubaida. Ia duduk di kursi ruang tamu. Sedangkan Erkan dan yang lain menunggu di depan.
"Apa nenek yakin kalau Haira tidak pulang ke rumah?" tanya Mirza lagi.
Nenek Zubaida menggeleng tanpa suara.
"Memangnya Tuan mengenal Haira?" tanya nenek Zubaida antusias.
"Panggil saja Mirza, Nek. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku hanya __"
Aku hanya pecundang yang membuat hidupnya menderita. Melanjutkan ucapannya dalam hati.
"Haira itu pendiam. Kalau ada masalah selalu disembunyikan dari nenek. Dia bekerja setelah lulus sekolah. Ini pengalaman pertamanya. Terakhir kali menelpon Haira bilang kalau dia akan pulang saat ulang tahun Nada, tapi bulan terakhir ini nggak ada kabar."
Itu karena hp dia rusak. Dan akulah penyebab semua ini.
Dada Mirza terasa sesak dipenuhi rasa sesal yang kian mendalam.
"Apa nenek punya saudara di tempat lain?" tanya Mirza lagi.
Nenek Zubaida hanya menggeleng.
Mirza beranjak dari duduknya. Ia tak bisa berdiam diri dengan situasi ini.
"Aku pulang dulu, Nek. Jangan khawatir. Aku yang akan membiayai hidup nenek."
Erkan masuk, lalu meletakkan kartu di atas meja. Memberikan penjelasan pada Nada supaya menggunakan kartu itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mirza melangkah dengan berat. Ia masuk mobil dengan membawa hati yang semakin hampa. membuka kaca nya, menatap nanar ke arah rumah nenek Zubaida yang sangat sederhana.
Aku sudah menghancurkan hidup keluarga Haira. Ke mana dia pergi, nggak mungkin dia bisa pergi jauh dari sini tanpa uang.
"Erkan, kamu cari Haira sampai ketemu, kerahkan seluruh anak buahmu!"
"Baik, Tuan," jawab Erkan lalu mengetik ponsel yang ada di tangannya.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣