NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29. Bayang dibalik kemenangan

Langit Narasoma perlahan mereda. Asap perang menipis, menyisakan bau darah dan tanah basah. Dari kejauhan, dentum genderang kemenangan mulai bergema pelan, seperti napas terakhir dari ribuan jiwa yang gugur hari itu. Raden Raksa berdiri tegak di antara tumpukan senjata dan bendera sobek. Napasnya berat, matanya menatap jauh ke arah timur di mana matahari mulai naik malu-malu. Sementara itu, Raden Arya berjalan perlahan dari arah barat, langkahnya berat tapi mantap. Mereka berdua berhenti hanya beberapa langkah berjarak, saling memandang dalam diam yang ganjil—seolah masih ada sesuatu di antara mereka yang belum terselesaikan.

Tak ada kata, tak ada senyum. Hanya tatapan yang panjang dan dingin, disertai desir angin yang membawa abu perang di antara mereka. Beberapa langkah di belakang, Panglima Aruna datang sambil menuntun kudanya yang juga terluka. Wajahnya penuh debu, tapi matanya masih menyala dengan semangat yang sama.

“Pertempuran berakhir,” ujarnya perlahan. “Pasukan Parang Giri telah mundur.” Raksa hanya mengangguk. Arya menatap tanah. Namun belum sempat mereka menanggapi lebih jauh, suara derap kuda terdengar dari sisi selatan lembah. Semua menoleh. Raden Kusumanegara datang bersama sepasukan kecil pengawal Mandalapura. Wajahnya tenang, nyaris tanpa noda darah meski jelas-jelas baru saja ikut bertempur. Ia turun dari kudanya, menatap sekeliling dengan tatapan penuh perhitungan.

“Perang ini berat,” katanya datar, “tapi Samudra Jaya berdiri tegak hari ini. Dan itu berkat keberanian kalian semua.” Suara Kusumanegara berat tapi menenangkan. Para prajurit yang mendengar kata-katanya menunduk hormat. Panglima Aruna membalas hormat. “Tanpa bantuan Mandalapura, kami mungkin sudah jatuh, Raden.”

Kusumanegara hanya tersenyum samar. “Tidak perlu berterima kasih, Panglima. Di medan perang, darah kita sama merahnya.” Ia lalu menatap dua pangeran itu—Arya dan Raksa—bergantian. Sorot matanya tajam, seolah sedang menilai keduanya dari sisi yang tak terlihat.

“Kalian berdua...” katanya pelan, “...memimpin dengan keberanian yang sama, tapi dengan hati yang berbeda. Aku melihatnya di tengah kabut perang tadi.” Raden Raksa menunduk sopan.

Raden Arya diam, tapi sorot matanya menegas, menolak untuk dianggap kalah. Kusumanegara melangkah mendekat, menepuk bahu Aruna. “Jagalah mereka, Panglima. Kemenangan hari ini hanya awal. Setelah pedang disarungkan, justru hati manusia yang mulai diuji.” Aruna mengangguk, tapi dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu menyimpan makna yang dalam.

Raksa memecah keheningan. “Perang telah usai. Sekarang saatnya membawa kabar ini ke istana.”

“Ya,” jawab Kusumanegara, “dan biarlah Samudra Jaya melihat bahwa tak hanya prajuritnya yang berani, tapi juga pangeran-pangerannya.” Mereka bertiga—Raksa, Arya, dan Kusumanegara—berjalan berdampingan menuruni lereng lembah. Di belakang mereka, para prajurit mulai mengangkat bendera Samudra Jaya, menancapkannya tinggi-tinggi di tanah yang baru saja berlumur darah.

Matahari semakin tinggi, cahayanya menimpa wajah mereka bertiga—tiga darah bangsawan, tiga jalan yang berbeda, tapi ditakdirkan bertemu dalam satu kisah. Dan di sela langkah mereka, Panglima Aruna sempat menatap ke arah dua pangeran itu lalu berbisik lirih,

“Kadang musuh sejati bukanlah yang membawa pedang... tapi yang membawa cinta.” Raden Kusumanegara sempat melirik sekilas, seolah mendengar bisikan itu, lalu tersenyum tipis.

“Benar, Panglima,” gumamnya pelan. “Cinta… dan ambisi.”

Angin lembah kembali berembus, membawa debu dan darah bersama cerita baru yang belum selesai.

Kemenangan Samudra Jaya mungkin sudah diraih hari ini, tapi benih pertikaian baru saja mulai tumbuh—di antara darah yang sama, dan di bawah langit yang sama.

Hari kemenangan tiba di Samudra Jaya. Langit yang semula muram kini terang memantulkan cahaya keemasan ke seluruh kota. Dari gerbang utama hingga halaman istana, ribuan rakyat berjejer, menabur bunga dan mengibarkan bendera kerajaan. Mereka bersorak, memuji nama-nama para pahlawan yang baru saja pulang dari medan Narasoma—nama yang kini dipuja sebagai penyelamat tanah leluhur.

Genderang bertalu-talu, dan pintu besar istana terbuka. Di barisan depan, Raden Kusumanegara memimpin rombongan pahlawan perang, diikuti oleh Raden Arya, Raden Raksa, serta Panglima Aruna. Langkah mereka perlahan, gagah, dan penuh wibawa, disambut oleh teriakan gembira rakyat yang memadati pelataran. Bau dupa dan bunga kenanga memenuhi udara, berpadu dengan lantunan tembang pujian dari para penabuh gamelan. Di tangga istana, Raja Harjaya berdiri tegak mengenakan jubah kebesaran berwarna ungu tua, simbol kekuasaan dan kebijaksanaan Samudra Jaya. Di sampingnya, Putri Dyah Anindya berdiri anggun, mengenakan selendang putih bersulam emas. Senyumnya lembut, tapi matanya memantulkan cahaya yang sulit diartikan—antara bangga dan gelisah. Ketika Raden Kusumanegara tiba di hadapan raja, ia menundukkan kepala dalam hormat. Raja Harjaya segera melangkah turun, menepuk bahu sang pangeran Mandalapura dengan hangat.

“Samudra Jaya berhutang budi pada Mandalapura,” ujar sang raja dengan suara berat tapi penuh penghargaan. “Darah para leluhur kita mengalir di tanah yang sama, dan hari ini, darah itu kembali berpadu di medan Narasoma. Terima kasih, Raden Kusumanegara, atas keberanian dan kesetiaanmu.”

Kusumanegara menatap raja dengan tenang, lalu menunduk hormat. “Hamba hanya menjalankan kewajiban sebagai pewaris Mandalapura. Kemenangan ini bukan milik kami saja, Paduka, melainkan kemenangan seluruh tanah air yang dijaga oleh darah yang sama.”

Raja Harjaya tersenyum puas mendengar kata-kata itu. Sorak rakyat semakin menggema, meneriakkan nama Raden Kusumanegara seolah dialah sang pahlawan sejati. Namun di balik semua kemegahan itu, Kusumanegara memalingkan pandangannya ke arah Putri Dyah. Sekilas, senyum lembut terbit di bibirnya. Ia melangkah maju, menundukkan kepala sedikit di hadapan sang putri.

“Dan untukmu, Paduka Putri…” ucapnya dengan suara yang dalam dan tenang. “Kemenangan ini, izinkan hamba persembahkan padamu—sebagai tanda bakti dan penghormatan atas keberanian hatimu yang menjadi cahaya di tengah perang.” Putri Dyah menatapnya, seolah waktu berhenti sejenak. Pipi halusnya memerah, matanya bergetar menahan emosi yang campur aduk. Ia tersenyum tipis, membalas dengan suara lembut, “Samudra Jaya beruntung memiliki sekutu sebijak dan seberani Mandalapura.”

Ucapan itu membuat suasana semakin riuh. Para bangsawan menepuk tangan, rakyat bersorak, dan Kusumanegara hanya menunduk sedikit, menyembunyikan senyum tipis yang sulit ditebak maknanya. Namun di balik senyum Putri Dyah yang manis, terselip bayangan kekhawatiran yang ia sembunyikan rapat. Bayangan tentang seorang panglima yang berdiri jauh di belakang barisan kehormatan—Panglima Aruna. Dari kejauhan, Aruna menatapnya dalam diam. Wajahnya kaku, tapi di balik matanya ada luka yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu senyum Putri Dyah bukanlah untuknya, dan itu membuat dadanya terasa berat. Namun sebagai seorang prajurit, ia menahan semua itu di balik wajah tegap dan hormatnya pada istana.

Sementara pesta penyambutan terus bergulir, para dayang berlalu-lalang menyiapkan jamuan agung di balairung utama. Piring-piring berlapis perak disusun rapi, kendi-kendi arak manis dituangkan, dan aroma rempah menyebar di seluruh ruangan. Suara kecapi dan seruling berpadu mengisi udara, menghadirkan suasana hangat setelah hari-hari penuh darah dan kehilangan. Di antara keramaian itu, Raden Raksa berjalan pelan menuju barisan dayang yang membawa baki berisi air segar untuk para prajurit yang baru tiba. Langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang ia kenal—Puspa.

Gadis itu menunduk sopan sambil mengangkat baki. Tangannya gemetar sedikit, tapi senyum tipis terukir di bibirnya. “Air segar untuk Raden…” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah riuh pesta. Raden Raksa menerima air itu, mencuci wajahnya perlahan. Tetesan air menuruni dagunya, sementara matanya tak lepas menatap wajah Puspa. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran haru, lelah, dan perasaan yang tak bisa ia sembunyikan. Puspa menunduk, pipinya memanas. Ia tidak berani menatap balik, tapi hatinya berdebar hebat. Entah karena senyum Raksa, atau karena pandangan mata yang begitu dalam.

Dari kejauhan, Raden Arya melihat semua itu. Ia berdiri di antara para bangsawan, tapi pandangannya hanya tertuju pada satu titik—Puspa dan Raksa. Senyum yang seharusnya milik dirinya kini jatuh pada adik tirinya. Ada sesuatu di dadanya yang tertarik, perih, dan panas sekaligus. Namun ia hanya diam, menatap mereka dalam senyap. Dalam sorak kemenangan dan gemerlap pesta, setiap orang tampak bersukacita. Namun di balik tawa dan tepuk tangan itu, ada yang perlahan tumbuh—rasa iri, cinta, dan ambisi yang mulai saling berbenturan dalam hati mereka masing-masing.

Raden Kusumanegara masih berdiri di sisi raja, sesekali melirik ke arah dua pangeran itu. Senyum halus kembali muncul di wajahnya. Ia bisa membaca gelombang kecil yang mulai bergerak di dalam istana ini—gelombang yang jika dibiarkan, suatu hari akan menjadi badai besar. Dan di atas menara istana, bendera Samudra Jaya berkibar megah di langit jingga senja, seolah menjadi saksi bisu bahwa di balik kemenangan besar, bayang-bayang baru mulai menampakkan wujudnya.

Malam itu langit Samudra Jaya benderang oleh cahaya obor dan lentera minyak yang bergantungan di serambi istana. Udara membawa aroma kemenyan dan bunga kenanga yang dibakar para abdi dalem sebagai tanda syukur atas kemenangan besar kerajaan melawan Parang Giri. Di halaman dalam, para pangeran dan panglima beristirahat setelah seharian menerima penghormatan. Gelak tawa prajurit dan suara gamelan dari balairung terdengar samar, seolah seluruh negeri sedang bernapas lega.

Namun di balik riuh itu, suasana di salah satu paviliun justru terasa berbeda—lebih sunyi, lebih tenang, dan menyimpan sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh kata-kata. Para abdi dalem menyiapkan air pemandian untuk para pangeran yang baru kembali dari medan perang. Uap air hangat bercampur aroma rempah dan daun pandan menguar lembut ke udara. Tetapi malam itu, Raden Raksa membuat permintaan yang mengejutkan. Dengan nada tenang namun tegas, ia berkata,

“Biarkan Puspa yang melayani malam ini.”

Beberapa abdi dalem saling pandang, tak berani membantah. Mereka tahu kini Puspa menjadi dayang kesayangan khusus Raden Raksa. Sehingga tidak ada yang berani menolak. Tak lama kemudian, langkah lembut terdengar dari balik tirai. Puspa masuk dengan kepala tertunduk, membawa wadah air dan kain putih bersih di tangannya. Wajahnya tampak teduh di bawah cahaya pelita, dan rambut hitamnya terurai lembut menutupi bahunya.

“Hamba sudah menyiapkan air pemandian, Raden,” ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara desir air. Raden Raksa hanya mengangguk. Ia berdiri di tepi kolam kecil yang dipenuhi bunga melati, menatap pantulan dirinya di permukaan air yang bergoyang. Ada rasa letih di matanya—bukan sekadar lelah perang, tapi juga kelelahan jiwa yang tak bisa ia jelaskan.

Puspa menuangkan air hangat ke wadah batu, menambahkan ramuan bunga dan minyak cendana. Ia melakukannya dengan hati-hati, nyaris tanpa suara. Saat ia berlutut untuk mencuci tangan sang pangeran, Raden Raksa menatapnya tanpa berkedip. Dalam diam itu, ada sesuatu yang bergetar—sesuatu yang tak pernah mereka ungkapkan. Waktu berjalan lambat. Suara gemericik air menjadi satu-satunya saksi. Setelah sesi pemandian selesai, Puspa mengambil kain lembut dan menyerahkannya pada Raden Raksa. Tapi sang pangeran, entah mengapa, tak segera mengambilnya.

“Kemarilah, Puspa,” ucapnya lirih. Puspa menatapnya bingung, tapi menurut. Ia berdiri mendekat, membantu mengenakan pakaian dalam halus dari linen putih, lalu jubah ringan kebesaran berwarna biru laut. Saat jemarinya menyentuh bahu Raden Raksa, ia merasakan degup jantungnya sendiri mulai kacau. Raden Raksa memejamkan mata sejenak. Setelah sekian lama terperangkap dalam darah dan debu perang, sentuhan itu terasa seperti sesuatu yang hidup—hangat dan nyata. Ketika ia membuka mata, Puspa berdiri di hadapannya, wajahnya diterangi cahaya pelita yang bergoyang lembut. Rambutnya yang basah sebagian menempel di pipi, dan ada sinar lembut di matanya yang membuat dada Raden Raksa terasa sesak. Tanpa berpikir panjang, ia meraih pinggang gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan.

Puspa terkejut. Hendak menghindar tapi tangan Raden Raksa lebih cepat. Dalam pelukan itu, waktu seolah berhenti. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh sang pangeran, bisa mendengar napas berat yang masih membawa aroma medan perang.

“Raden...” bisiknya pelan, setengah ragu.

Namun ia tidak menolak. Karena di balik keterkejutan itu, terselip sesuatu yang lain—rasa rindu, rasa lega, rasa takut kehilangan yang selama ini ia simpan dalam doa setiap malam. Pelan tapi pasti, Puspa membalas pelukan itu, membiarkan kepalanya bersandar di dada sang pangeran. Mereka terdiam lama. Di luar, suara gamelan masih terdengar lembut, namun di dalam ruangan itu hanya ada detak dua hati yang berpaut.

“Dewata sungguh baik...” ucap Puspa akhirnya, suaranya bergetar lembut. “...karena telah membawa Raden kembali dengan selamat.” Raden Raksa menghela napas dalam-dalam, lalu menunduk. Tangannya membelai rambut gadis itu perlahan.

“Mungkin bukan karena Dewata, Puspa,” bisiknya di telinga gadis itu. “Mungkin karena doa seseorang yang tak pernah berhenti menyebut namaku.” Puspa menatapnya, dan wajahnya memerah. Ia hendak menunduk, namun Raden Raksa menahan dagunya dengan lembut. Tatapan mereka bertemu—lama, dalam, dan penuh makna yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Pelan, Raden Raksa menghapus sisa air di pipinya, lalu membisikkan,

“Kau tahu, mungkin itulah yang membuatku bertahan di tengah perang. Doamu.” Puspa tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum, dengan air mata bening di sudut matanya. Dan sebelum ia sempat menolak, bibir Raden Raksa telah menyentuh bibirnya—perlahan, namun penuh ketulusan yang tak bisa disembunyikan. Ciuman itu bukan milik nafsu, melainkan kerinduan yang terpendam terlalu lama. Di luar, angin malam meniup lembut tirai sutra, membawa aroma bunga cempaka yang jatuh di taman.

Sementara itu, di paviliun lain, Raden Arya duduk seorang diri di tepi kolam pemandian. Ia menatap pantulan bulan di air, matanya kosong, pikirannya kacau. Tadi ia memerintahkan abdi dalem untuk memanggil Puspa, berniat sekadar berbincang, menanyakan kabar, atau mungkin sekadar melihat senyumnya. Namun waktu berlalu, dan gadis itu tak kunjung datang. Kini ia tahu, Puspa ada di tempat lain—bersama orang lain.

Tanpa sadar, Raden Arya merendam dirinya ke dalam air hingga bahunya tenggelam. Ia menatap kosong ke langit. Air kolam terasa dingin, tapi hatinya jauh lebih dingin.

“Lucu,” gumamnya pelan, tertawa getir. “Aku menumpahkan darah demi negeri... tapi justru kalah karena seorang wanita.” Air matanya menetes, bercampur dengan air kolam yang tenang. Tidak ada yang melihat, tidak ada yang mendengar. Dan di kejauhan, suara gamelan masih berdentang—nyanyian kemenangan yang terasa pahit bagi seorang pangeran yang kalah bukan di medan perang, melainkan di medan hati.

Sementara itu di paviliun tamu, Raden Kusumanegara tengah bersiap untuk menghadiri acara kemenangan. Raja Harjaya sendiri yang mengundangnya hingga ketukan pintu terdengar abdi dalem pun segera membukakan pintu rupanya itu Putri Dyah dan beberapa dayang dibelakangnya yang tengah membawa baki berisi pakaian khas Samudra Jaya. Pakaian itu disiapkan khusus oleh Selir pertama Dyah Ratnadewi, karena Putri Dyah sangat dekat dengan Ratnadewi, lebih sejak mangkatnya Permaisuri, selir pertamalah yang berperan menjadi ibu Putri Dyah.

“Raden...bibi Ratnadewi meminta hamba mengantarkan pakaian untuk Raden,” kata Putri Dyah sambil menunduk. Dayang-dayang itu segera meletakkan baki itu ke atas meja.

“Keluarlah kalian semua,”titah sang Raden, setelah para abdi dalem dan dayang keluar hanya mereka berdua yang ada di dalam paviliun, Raden Kusumanegara menjulurkan tangan menatap Putri Dyah dengan lembut.

“Bantu aku untuk memakainya,” ucapnya dengan lembut. Putri Dyah tampak ragu. “Raden, hamba—bukankah lebih baik dayang yang melakukannya?”

Raden Kusumanegara menatapnya lembut. “Dayang tidak akan tahu bagaimana seharusnya seorang calon permaisuri menghormati calon suaminya.” Wajah Putri Dyah memerah seketika. Ia menunduk, menahan debaran yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia tak bisa menolak—hubungan antara mereka bukan sekadar pribadi, tapi keputusan dua kerajaan besar. Maka, dengan langkah pelan dan gerak gemetar, ia mengambil kain kebesaran itu dan mulai membantu sang Raden mengenakannya. Setiap kali kain sutra itu bergesekan dengan kulit, jantungnya berdegup semakin cepat. Ia tak berani menatap wajah lelaki itu lama-lama, namun dari pantulan cermin perunggu ia bisa melihat tatapan Raden Kusumanegara yang tenang, namun menyimpan sesuatu—entah kagum, atau rasa yang lebih dalam dari itu.

“Putri Dyah,” ucap sang Raden setelah beberapa saat, suaranya pelan tapi terasa menggetarkan udara di antara mereka, “aku tak tahu apakah patut mengatakannya, tapi semenjak pertama kali melihatmu di pendapa istana, hatiku tak pernah tenang.”

Putri Dyah menghentikan tangannya. Matanya membesar sesaat, lalu menunduk lagi. “Raden… jangan bicara demikian,” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Perjodohan ini adalah titah kerajaan. Tak sepatutnya kita menautkan perasaan di dalamnya.”

Raden Kusumanegara tersenyum tipis. “Namun bukankah tak ada perjodohan yang dapat tumbuh tanpa hati di dalamnya?” Ia melangkah setapak mendekat, membuat Putri Dyah terkejut dan mundur selangkah. “Aku tidak meminta cinta sekarang, Dyah. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berniat menjagamu dengan sepenuh jiwa.” Putri Dyah memejamkan mata sesaat. Kata-kata itu menggema di telinganya—hangat, tapi menimbulkan perih yang samar. Hatinya bergetar bukan karena kata cinta, melainkan karena nama lain yang melintas begitu saja di pikirannya Panglima Aruna.

Ia mengingat senyum Aruna saat berangkat ke medan perang, tatapan teduhnya saat menunduk memberi hormat pada ayahandanya, dan bagaimana lelaki itu selalu menjaga jarak meski tatapan mereka kerap bertemu diam-diam di taman istana. Dan kini, di hadapannya berdiri lelaki lain—gagah, lembut, dan tulus. Tapi hatinya belum siap menerima yang baru.

“Raden Kusumanegara,” katanya lirih, “hamba berterima kasih atas niat baik Raden. Namun hamba mohon, jangan terlalu berharap pada hati yang belum utuh.” Raden Kusumanegara terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan kekecewaan, hanya kesadaran yang dalam. Ia menatap sang putri dengan lembut. “Aku mengerti, Dyah. Tapi ketahuilah, aku bukan lelaki yang akan memaksa. Aku hanya ingin menjadi tempat di mana hatimu bisa beristirahat, bila suatu saat kau lelah mencintai bayangan lain.”kata-kata itu menusuk halus. Putri Dyah menunduk lebih dalam, tak berani menatap mata lelaki itu. Jemarinya yang masih memegang ujung kain bergetar pelan. Ia ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

Raden Kusumanegara menatap wajah itu sesaat—lembut, tapi penuh kebimbangan. Ia tahu, di balik mata bening itu tersimpan seseorang yang bukan dirinya. Namun entah mengapa, perasaan itu justru membuatnya semakin ingin melindungi sang putri, bukan menjauh. Dengan langkah tenang ia mendekat, lalu dengan hati-hati mengangkat dagu Putri Dyah agar menatapnya. “Aku tak akan memaksamu membalas perasaan ini, Putri. Tapi izinkan aku berjanji malam ini—selama aku masih bernapas, tak ada satu pun yang akan menyentuhmu tanpa izinku.” Putri Dyah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa bersalah di sana, tapi juga rasa aman yang tak bisa ia pungkiri.

“Raden…” suaranya nyaris pecah. “Mengapa Raden berbicara seolah kita sudah saling memiliki?” Raden Kusumanegara tersenyum tipis. “Karena bagi dunia luar, kita memang akan menjadi satu. Namun bagi hatimu—aku akan menunggu sampai kau sendiri yang membuka pintunya.”Raden Kusumanegara tiba-tiba menariknya lembut ke dalam pelukannya. Putri Dyah terkejut, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Jantungnya berdegup kencang, sementara debar di dadanya terasa menyakitkan.

“Namun jika engkau enggan untuk membukakan pintunya,” bisik Raden Kusumanegara di dekat telinganya, suaranya lirih namun bergetar oleh ketulusan, “maka izinkan aku meyakinkanmu… bahwa aku tak akan berhenti berdiri di ambang hatimu.”

Putri Dyah menatapnya dengan mata membulat, napasnya tercekat. Belum sempat ia menyusun kata, Raden Kusumanegara menundukkan wajahnya perlahan — dan bibirnya mendarat lembut di bibir sang putri. Segalanya berhenti sesaat. Dunia seolah membeku.

Putri Dyah berdiri kaku, tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Matanya terpejam setengah, bukan karena menerima, tetapi karena terkejut, takut, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Raden Kusumanegara tidak memperdalam ciuman itu; ia hanya menahannya sesaat, seolah ingin mematri perasaannya pada sang Putri. Ketika akhirnya ia melepaskan, Putri Dyah menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan perasaan yang sulit dijelasin.

Sementara itu, di pelataran belakang istana, Panglima Aruna berdiri di bawah cahaya bulan purnama yang baru naik di ufuk timur. Kilau keperakan bulan memantul di permukaan kolam teratai, menghadirkan suasana hening yang menyesakkan dada. Ia menghela napas panjang, teringat akan senyum lembut Putri Dyah siang tadi saat penyambutan para pahlawan. Senyum yang bukan ditujukan padanya — melainkan pada Raden Kusumanegara. Panglima Aruna tertawa getir lalu menatap ke arah para kumpulan orang-orang berpesta kemenangan.

“Aku tahu....seharusnya cinta ini tak seharusnya tumbuh diantara kita, biarlah aku yang membawa lukanya asalkan kau bisa tersenyum disampingnya,” Aruna menggenggam gagang pedangnya erat, menatap purnama sekali lagi. “Dan jika aku tak bisa memilikimu,” gumamnya pelan, “biarlah aku menjaga negeri yang kelak akan menjadi milikmu… dan miliknya.” Angin malam berhembus, membawa harum bunga cempaka dari taman belakang. Aruna memejamkan mata sejenak, membiarkan perasaannya mengalir bersama udara malam yang dingin. Ia tahu, mulai malam itu, kisahnya bukan lagi tentang cinta—melainkan tentang kesetiaan.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!