Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Mengejutkan
Malam itu Jakarta diguyur hujan deras.
Mobil yang membawa Abyan melaju kencang menembus hujan. Wiper bergerak cepat, tapi jalanan tetap seperti lautan hitam. Abyan duduk di belakang, hoodie-nya basah sebagian karena hujan waktu meninggalkan tempat dia menepi.
Pikirannya bercampur antara cemas dan curiga. Kabar dari Arya terlalu tiba-tiba. Kakek sakit, kalimat itu bisa berarti dua hal, benar-benar kondisi medis, atau sekadar alat untuk memanggilnya pulang demi pembicaraan yang tak akan menyenangkan.
Sementara tadi pagi dia pun menerima kabar dari Rendi kalau Kakek memanggil Nada ke ruangannya. Belum juga sempat mengonfirmasi kaber itu pada Nada karena kesibukan kerja di luar kota, sore ini dia kembali dikejutkan dengan kabar kakek yang sakit.
Ketika mobil memasuki halaman rumah besar itu, lampu-lampu taman memantulkan genangan air. Aroma basah bercampur wangi bunga kamboja.
Arya menunggunya di teras.
“Cepat, Yan. Kakek di kamarnya. Dokter sudah datang.”
Abyan menatap mata Arya mencari tanda kebohongan. Tapi wajah sepupunya itu tulus, meski ada garis cemas di keningnya.
Mereka berjalan cepat melewati lorong panjang. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara hujan di luar dan denting jam dinding.
Kakek Akbar terbaring di ranjang besar, mengenakan piyama putih. Wajahnya pucat, napasnya berat. Dokter menutup tas medisnya.
Kedua orang tua Abyan dan Arya juga berada di kamar itu, Mama Mitha dan tante Nita, Mamanya Arya, terisak melihat keadaan ayah mereka.
“Tekanan darahnya drop. Dia harus istirahat total. Jangan beri dia emosi berlebihan.” jelas sang dokter
Abyan duduk di sisi ranjang.
“Kek…”
Kakek membuka mata perlahan.
“Kamu datang.” tanya kakek Akbar dengan suara lemah.
“Tentu saja,” jawab Abyan, menahan perasaan yang bergejolak.
Hening beberapa detik. Hanya bunyi hujan. Lalu Kakek berkata pelan,
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kan? Jangan kecewakan kakek." telak perkataan kakek Akbar singkat namun menjelaskan banyak makna.
Beberapa jam yang lalu, saat kakek Akbar keluar dari hotel Nirwana, sebuah kabar mengejutkan diterimanya dari sang asisten.
Pembangunan hotel yang sedang berlangsung di singapura mengalami kendala. Orang kepercayaan kakek yang didaulat untuk menangani pembangunan hotel pertama mereka di luar negeri ternyata berkhianat. Semua uang yang diserahkan untuk operasional pembangunan dibawa kabur padahal pembangunan sudah dimulai, belum lagi ternyata pembangunan hotel belum mendapat izin dari pemerintah setempat.
Alhasil perusahaan kakek Akbar juga terseret ke ranah hukum karena pembangunan ilegal.
"Aku tahu Kek, dan kakek tenang saja aku dan Arya pasti bisa menanganinya."
"Tidak, hanya kamu yang harus pergi, Arya akan mengelola hotel di Jakarta."
"Kan ada Rendi, Kek?" protes Abyan.
"Rendi itu orang lain, kakek tidak mau lagi percaya pada orang lain." Tak dapat digugat lagi, keputusan kakek Akbar sudah mutlak.
Selama ini Arya menjadi manajer hotel pusat di Bandung. Ayahnya menjadi direktur menggantikan sang Ibu. Sementara ayah Abyan menjadi direktur Nirwana Hotel cabang Yogyakarta.
Malam itu, setelah Abyan keluar sebentar, Kakek Akbar menatap langit-langit kamarnya. Ada rasa berat di dadanya yang bukan hanya karena penyakit.
Ia teringat puluhan tahun lalu, saat masih muda dan jatuh cinta pada seorang gadis dari keluarga biasa. Ia memilih keluarga, meninggalkan gadis itu demi perjodohan yang menguntungkan. Hatinya tak pernah benar-benar sembuh.
Mungkin itulah kenapa aku keras pada Abyan, batinnya. Aku tak ingin dia memilih cinta lalu menyesal ketika hidup memukulnya dengan kenyataan.
Tapi ada bagian dari dirinya yang tahu—ia sedang mengulang sejarah, memaksakan keputusan, bukan memberi kesempatan.
Pagi berikutnya, Abyan membawa kursi dan duduk di dekat ranjang kakeknya.
“Kek, aku tahu Kakek nggak suka bersama Nada. Tapi aku mau jelasin kenapa aku pilih dia.” melihat kondisi sang kakek membaik Abyan tak mau menunda. Semalam dia sudah berpikir banyak dan keputusan akhir dirinya memang harua pergi menyelesaikan semuanya ke Singapur. Sebelum pergi Abyan terlebih dahulu ingin memastikan perihal hubungannya dengan Nada.
Kakek menatapnya tanpa bicara.
“Dia bukan cuma berhasil membuatku jatuh cinta. Dia orang yang bikin aku merasa jadi manusia, bukan sekadar pewaris. Dia nggak peduli uangku, nggak peduli mobilku. Dia cuma peduli aku pulang dengan selamat. Kakek pernah nggak ngerasain itu?” Kakek menghela napas.
“Cinta itu indah di awal. Tapi ketika rumahmu bocor, ketika anakmu butuh biaya sekolah, kau akan lihat bahwa rasa sayang tidak cukup.” Abyan tersenyum tipis.
“Justru karena aku tahu hidup sulit, aku mau berjuang bareng orang yang aku pilih, bukan orang yang dipilihkan.” Kakek memalingkan wajah.
"Kalau kau tetap keras kepala, kau akan kehilangan segalanya.”
Abyan berdiri.
“Kek, kehilangan segalanya tapi punya orang yang aku cintai… masih lebih baik daripada punya segalanya tapi hidup sendirian di rumah sebesar ini." Kakek Abyan seketika memerah merasa Abyan sedang menyindirnya.
"Kakek sendiri yang mengajarkan aku untuk bekerja keras sejak masa muda, bukankah semuanya agar aku tak kekurangan di masa depan? Lalu apa lagi yang kakek khawatirkan? Aku sudah punya segalanya Kek, jadi bukan harta yang aku inginkan dari Nada."
"Tapi kesetaraan itu penting, Abyan."
"Kesetaraan seperti apa yang kakek maksud? Sama-sama kaya? Harta bisa diusahakan, Kek. Sama-sama berpendidikan? Pendidikan bisa ditempuh, Kek. Atau berasal dari keluarga terpandang? Kita tidak bisa memilih untuk terlahir dari rahim siapa dan dari keluarga mana, Kek. Aku mohon buka pikiran kakek, bahwa hidup bukan hanya tentang semua itu."
"Kamu sudah berani menasehati kakek?"
"Tidak Kek, aku sungguh tidak layak. Hanya sebagai cucu yang yang kakek didik, kakek sekolahkan, aku ingin mengingatkan kakek agar tidak menyesal di hari kemudian."
"Kakek tidak pernah menyesal dengan keputusan yang sudah kakek ambil."
"Termasuk menikahi nenek?"
"Kamu!" sentak kakek Akbar, tangan kanan nya memegangi dada kiri, tersentak karena ucapan Abyan.
Rahasia yang selama ini dia pendam seorang diri bagaimana bisa diketahui sang cucu kesayangan. Bahkan kedua putrinya saja tidak tahu.
"Kakek tenang, aku akan pergi dan menyelesaikan semuanya sesuai harapan kakek. Tapi aku mohon..." Abyan menghela nafas menjeda ucapannya.
"Jangan ganggu Nada, jangan membuat dia goyah dan lelah untuk menungguku."
Kakek Akbar yak mampu berucap, ditatapnya sang cucu dengan tatapan mendalam. Sikap Abyan membuat sesuatu di dalam dirinya bangkit kembali, sesuatu yang selama ini tak mampu dia ungkapkan.
"Hari ini aku akan menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Aku akan menyerahkan semuanya pada Arya. Besok pagi aku akan pergi, Rendi sudah menyiapkan semua keperluanku untuk pergi."
"Aku pamit, Kek."
Abyan meraih tangan kanan kakek Akbar dan menciumnya takdzim.
"Jaga kesehatan kakek, kakek harus sehat dan berumur panjang. Assalamu'alaikum." tanpa menunggu jawaban kakek Albar, Abyan langsung berbalik dan berjalan menuju pintu kamar.
🥰🥰🥰
nyesek memang KLO di suruh pilih keluarga atw orang yg di cinta . maju terus yg penting papah sama mamah merestui biarpun kamu akan kehilangan segalanya💪💪💪
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira