Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!
Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!
Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.
Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?
Update setiap 2 hari satu episode.
Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Kakak?
Malam itu di Villa Starlight Lyra terbangun di malam hari dengan perasaan aneh di dalam dirinya.Lyra duduk di kursi rotan dengan selimut tipis melingkari bahunya. Tablet menyala di tangannya, cahaya biru memantul di wajahnya yang tenang tapi penuh konsentrasi.
Sebuah notifikasi muncul. Ia mengetuk layar.
Undangan pribadi.
Pengirim: Aron Kandiswara.
Lyra menatap nama itu lama. Jari-jarinya berhenti bergerak. Ada sesuatu yang dingin menjalar pelan di punggungnya.
(Zen?) pikir Lyra dalam hati.
Suara sistem itu langsung terdengar, tenang namun penuh perhitungan.
(Analisis. Nama ini cocok dengan identitas: Aron Kandiswara, 32 tahun, putra sulung keluarga Kandiswara. Jabatan: Direktur Utama Kandiswara Holdings. Catatan: pengaruh besar dalam jaringan bisnis politik. Potensi ancaman… 87%. Potensi manipulasi… sangat tinggi.)
Lyra menutup tablet, meletakkannya di meja kecil di samping. Tatapannya jauh ke laut, seperti mencoba membaca masa depan lewat gelombang.
Roy berdiri tak jauh di belakang, tubuh tegapnya diterangi cahaya lampu balkon. Ia sudah memperhatikan perubahan ekspresi Lyra sejak tadi. “Lady Azure, ada sesuatu yang perlu kami ketahui?”
Serena, yang berdiri di sisi lain, matanya memantulkan cahaya biru samar dari sensor optiknya, menambahkan dengan suara datar: “Detak jantung Anda meningkat 4%. Stimulus emosional terpicu.”
Lyra tersenyum tipis, tidak menoleh. “Santai saja. Bukan ancaman langsung. Hanya undangan makan malam.”
Roy mengernyit, sedikit maju. “Dari siapa?”
Lyra berbalik, menatap mereka berdua. Cahaya lampu balkon menyorot wajahnya dengan garis tegas. “Dari Aron Kandiswara.”
Hening seketika. Hanya suara ombak yang terdengar.
Serena menunduk pelan, prosesornya menghitung risiko. “Rekomendasi: tolak. Probabilitas perangkap sosial atau politik terlalu tinggi.”
Roy menimpali, suaranya dalam dan mantap. “Atau… hadiri dengan protokol keamanan penuh. Kita bisa mengatur perimeter, pasang sensor. Kalau ia berniat menjebak, kita balikkan keadaan.”
Lyra kembali menatap laut, lalu bergumam pelan. “Kakak, ya…”
Zen menyelip masuk lagi dalam pikirannya.
(Kau tidak punya memori tentangnya, Lyra. Ia orang asing dengan darah yang sama. Dan orang asing selalu punya niat yang belum tentu murni.)
Lyra terdiam cukup lama. Lalu ia tertawa kecil, tanpa senyum lebar. “Lucu juga. Dunia yang dulu membuangku, sekarang malah memanggilku kembali… dengan undangan yang manis.”
Serena menegakkan tubuh, suaranya mekanis tapi tegas. “Instruksi, Lady Azure?”
Lyra menoleh, sorot matanya dingin tapi penuh keputusan. “Kita terima. Tapi kita yang tentukan aturannya.”
Roy menunduk dalam, tanda patuh. Serena mengangguk kaku.
Zen menambahkan dengan nada lebih lembut, hampir seperti peringatan pribadi.
(Kalau kau benar-benar pergi, jangan hanya duduk sebagai adik. Duduklah sebagai lawan yang siap menusuk balik jika dia mencoba menikammu. Ingat, Lyra… ular tersenyum sebelum menggigit.)
Lyra menutup matanya, membiarkan angin laut menyapu wajahnya sekali lagi. Senyum tipis terbentuk di bibirnya.
“Kalau begitu… mari kita lihat wajah asli Aron Kandiswara.”
...----------------...
Duke Lounge malam itu berkilau tenang. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut di atas meja marmer hitam panjang. Musik piano klasik samar mengisi udara, memberi nuansa nostalgia sekaligus formalitas yang dingin.
Pintu kayu hitam berukir terbuka pelan. Lyra melangkah masuk, gaun biru gelap sederhana menempel anggun di tubuhnya. Rambutnya tergerai lembut, dihiasi jepit perak kecil. Tidak berlebihan, tapi justru itu membuat aura elegannya sulit diabaikan.
Dua langkah di belakangnya, Serena bergerak dengan langkah presisi, wajah tanpa ekspresi namun matanya berkilau dingin. Di sisi kanan, Roy berdiri tegap, tubuh kokoh seperti benteng hidup.
Sementara di luar ruangan, Kai, Noah, Zane, Elias, Raven, Lucian, dan Arven sudah menutup rapat perimeter, menyatu dengan bayangan.
Di dalam, seorang pria sudah berdiri menunggunya. Tinggi, bahu tegap, jas hitam sempurna jatuh di tubuhnya. Rambut hitam tersisir rapi, wajahnya tenang dengan senyum hangat seolah sedang menyambut keluarga lama yang akhirnya kembali.
“Lyra.” Suaranya dalam, penuh wibawa. “Akhirnya aku bisa melihatmu dengan mataku sendiri.”
Lyra berhenti beberapa langkah dari meja. Tatapannya stabil, tidak ada kehangatan berlebih. “Aron Kandiswara.”
Pria itu tertawa pelan, lalu melangkah maju, mengulurkan tangan. “Kakakmu.”
Roy mencondongkan tubuh setengah, bersiap mencegah kontak. Tapi Lyra mengangkat jemari sedikit, memberi kode. Ia menatap uluran tangan itu sejenak, lalu menyambutnya dengan jabat ringan. Hangat di permukaan, dingin di dalam hati.
Mereka duduk berhadapan. Seorang pelayan muncul, menuangkan anggur merah Bordeaux ke gelas kristal. Lyra mengangkat tangannya halus. “Air putih saja.”
Serena menerima gelas itu, menaruhnya di hadapan Lyra dengan gerakan kaku namun anggun. Aron hanya tersenyum tipis, seolah kebiasaan adiknya memilih sederhana malah menghiburnya.
“Selama ini aku hanya mendengar namamu dari jauh,” ucap Aron, suara hangat seperti seorang saudara yang penuh kerinduan. “Seorang gadis muda yang tiba-tiba muncul, menguasai bisnis, bahkan menundukkan lawan-lawan yang jauh lebih tua. Dan ternyata… itu adikku sendiri.”
Lyra memutar gelas air putihnya pelan. Tatapannya lurus, nada suaranya datar namun tegas. “Kenapa baru sekarang?”
Aron menghela napas panjang, lalu menunduk sejenak. Matanya tampak berkilat, seolah menahan emosi. “Karena… aku tidak tahu. Kau dicuri dariku. Dari keluarga kita. Aku masih ingat malam itu: bayi kecil hilang, dan yang tersisa hanya kebingungan serta aib yang ditutup-tutupi. Ayah melarang kami bicara tentang itu. Dan Lina…” ia berhenti sebentar, senyum tipis penuh luka di wajahnya, “…dibesarkan sebagai pengganti. Padahal darah asli keluarga adalah kau.”
Kata-katanya terangkai begitu rapi. Nada sendu, ritme tepat, seakan dilatih untuk menusuk hati.
Namun, di dalam kepala Lyra, suara Zen terdengar datar.
(Nada suara konsisten, tapi detak jantungnya naik 9 bpm setiap kali ia menyebut nama Lina. Kebohongan terdeteksi. Ia sedang mengatur panggung, Lyra.)
Lyra mengangkat gelas, menyesap sedikit air putih. Senyum samar menghiasi bibirnya. “Jadi sekarang kau ingin menebus semua itu dengan apa? Membukakan pintu keluarga?”
Aron menatapnya penuh kehangatan, seolah tersinggung dengan pertanyaan itu. “Aku ingin mengenalmu, Lyra. Aku tidak ingin kita menjadi musuh. Kau terlalu berharga untuk keluarga Kandiswara… untukku.”
Zen menyusup lagi, nadanya sinis.
(“Untukku.” Kata kuncinya keluar dengan intonasi berbeda. Dia tidak bicara sebagai kakak, tapi sebagai predator yang melihat mangsanya. Jangan tertipu wajahnya.)
Roy berdiri setengah langkah lebih maju, tatapannya tajam mengunci setiap gerakan Aron. Serena di sisi lain merekam semua data biometrik lawan bicara mereka, wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Lyra meletakkan gelas kembali, tatapannya tenang namun dalam. “Kalau begitu… mari kita saling mengenal. Tapi ingat, Aron…” ia condong sedikit ke depan, suaranya menurun satu oktaf, “…aku tidak pernah datang ke sini sebagai adik yang butuh keluarga. Aku datang sebagai Lyra. Dan Lyra bukan seseorang yang bisa kau kendalikan.”
Keheningan sejenak.
Senyum Aron tidak luntur, tapi sorot matanya berubah tipis. Ada sesuatu yang lebih tajam, terselubung di balik ramah-tamah itu.
Zen berbisik, tenang tapi tajam.
(Pertarungan sudah dimulai. Dan kau baru saja meletakkan bidak pertamamu di papan catur, Lyra.)
...----------------...
Suasana Duke Lounge seolah beku, hanya denting piano dari sudut ruangan yang mengisi jeda-jeda percakapan mereka. Gelas anggur merah di tangan Aron memantulkan cahaya lampu gantung, sementara Lyra tetap dengan air putihnya.
Aron menyandarkan tubuh sedikit ke kursi, matanya menatap Lyra penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, bagaimana kau bisa bangkit secepat itu? Dari seorang gadis yatim piatu, tiba-tiba menjadi pemilik jaringan bisnis yang mengguncang pasar. Siapa yang pertama kali percaya padamu?”
Lyra mengangkat bahu ringan. “Aku sendiri.”
Senyumnya samar, seperti jawaban sederhana dari seseorang yang tidak mau membuka pintu rahasia.
Aron tertawa pelan, meneguk sedikit anggur. “Kau tidak berubah. Jawabanmu selalu singkat, padat, sulit ditembus. Tapi tetap saja, tidak mungkin seorang gadis bisa menundukkan begitu banyak lawan tanpa ada yang menopang. Roy, mungkin?”
Ia melirik sekilas ke arah pria tegap di sisi Lyra.
Roy tidak merespons, hanya menegakkan tubuhnya lebih kaku. Tatapannya menusuk, dingin seperti baja.
Lyra menoleh singkat ke Roy, lalu kembali menatap Aron. “Aku tidak menundukkan siapa pun. Mereka yang menunduk, karena mereka melihat siapa yang lebih layak berdiri.”
Aron tersenyum, ekspresi hangat seolah menikmati percakapan ringan. “Kau benar-benar punya darah Kandiswara. Urat keras kepala itu… identik dengan ayah kita.”
(Analisis pola bicara: 72% pertanyaan diarahkan ke strategi bisnis. Ia sedang memetakan kekuatanmu. Ia tidak bertanya sebagai kakak, tapi sebagai pesaing yang menyamar.)
Bisikan Zen masuk ke kepala Lyra, dingin, penuh hitungan.
Lyra hanya menyesap air putihnya, seolah tidak terganggu. “Mungkin. Tapi keras kepala bukan berarti mudah dipatahkan.”
Aron mendengus kecil, lalu melanjutkan dengan nada santai.
“Kalau begitu, apa yang ingin kau capai setelah ini? Kau sudah punya basis. Kau sudah punya nama. Apa kau akan terus memperluas kerajaanmu? Atau… ada sesuatu yang lebih tinggi lagi yang kau incar?”
Lyra menatapnya, kali ini lebih lama. Senyum samar terukir di bibirnya, namun matanya tajam. “Mimpi orang lain adalah menaklukkan. Mimpiku hanya satu: membangun. Sisanya… biarkan waktu yang menjawab.”
Aron memutar gelas anggurnya, menatap cairan merah pekat berputar perlahan. Ada kilatan aneh di matanya, terlalu cepat untuk ditangkap orang biasa, tapi tidak luput dari Zen.
(Senyum di bibirnya tidak selaras dengan matanya. Dalam otaknya, kalimat internal muncul: “Bagaimana cara merobohkanmu?” Lyra, ia sudah menyiapkan skema. Percakapan ini hanyalah pengumpulan data.)
Serena, yang sejak tadi berdiri anggun di sisi Lyra, sedikit menggeser posisi tubuhnya. Gerakan halus, tapi jelas itu sinyal: ia membaca ketidakcocokan gestur Aron dan sudah menyimpannya di memori.
Aron kembali bersuara, kali ini nadanya lebih lembut, nyaris penuh kasih.
“Aku hanya tidak ingin kau terlalu sendirian. Dunia bisnis itu kejam, Lyra. Kau muda, berbakat, tapi juga penuh musuh. Jika ada saatnya kau merasa lelah… ingatlah bahwa kau punya seorang kakak. Aku.”
Lyra menatapnya lama, lalu tersenyum manis, senyum yang akan terlihat hangat bagi orang awam. Tapi ada sesuatu dalam kilatan matanya waspada, bahkan menusuk. “Terima kasih. Akan kuingat.”
Aron meneguk habis anggurnya. Dari luar, ia tampak puas dengan obrolan itu. Namun jauh di dalam, pikirannya berputar lebih cepat dari putaran jam di dinding lounge.
"Adikku yang hilang ternyata bukan lemah… tapi semakin indah jika jatuh dari puncak. Dan aku akan memastikan itu terjadi dengan tanganku sendiri."
Di kepalanya, kalimat itu menggema seperti janji yang dingin.
Zen berbisik, tenang namun menusuk.
(Wajah ramahnya adalah topeng. Kau bukan sedang bercakap dengan saudara, Lyra. Kau sedang duduk berhadapan dengan lawan catur yang ingin menjatuhkan rajamu. Pertanyaan berikutnya hanya masalah waktu.)
...----------------...
Pertemuan malam itu berakhir dalam diam yang menyesakkan.
Aron bangkit lebih dulu dari kursinya, jas hitamnya jatuh dengan sempurna mengikuti gerak tubuhnya. Dengan senyum hangat yang tampak begitu tulus, ia mendekat lalu menepuk bahu Lyra. Sentuhannya lembut, seolah menyiratkan kasih sayang seorang kakak yang baru bertemu kembali setelah puluhan tahun.
“Kau keluarga. Jangan lupakan itu,” ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar seperti janji yang menyentuh. “Apapun yang terjadi, aku ada di pihakmu.”
Lyra menatapnya lama, menahan diri agar tidak tergelincir oleh kepalsuan yang tercium jelas di balik sorot matanya. Bibirnya melengkung pada senyum tipis yang tenang, hampir lembut. “Keluarga, ya…” gumamnya.
Namun dalam hati, kalimat itu bergema dengan makna yang berbeda.
Aron menarik napas pelan, lalu mundur satu langkah. Senyumnya tidak luntur. Tatapan hangat itu masih melekat hingga pintu tertutup di belakang punggungnya.
Namun begitu kakinya menapak lorong sepi di luar Duke Lounge, ekspresi itu menghilang seketika. Hangat berganti dengan dingin. Senyum ramah luluh, yang tersisa hanya garis keras di wajahnya.
Ponselnya bergetar sekali. Aron mengangkatnya ke telinga tanpa ragu.
“Target sudah diidentifikasi,” katanya datar, suaranya berbeda jauh dari nada hangat yang barusan terdengar. “Kita mulai dari dalam. Buat dia percaya aku ada di pihaknya. Jangan terburu-buru. Biarkan ia membuka pintunya sendiri. Dan ketika waktunya tiba…”
Ia berhenti sejenak, melirik ke arah pintu lounge yang baru saja ia tinggalkan. Matanya dingin, berkilau seperti bilah pisau.
“…aku yang akan meruntuhkannya. Dengan tanganku sendiri.”
Langkah Aron menjauh perlahan, gema sepatunya memantul di marmer gelap.
...----------------...
Di dalam Duke Lounge, Lyra masih duduk tenang. Gelas air putihnya tetap di meja, setengah penuh. Ia tidak meneguknya lagi. Hanya jemari rampingnya yang bergerak ringan, mengusap tepian kaca seolah sedang merenungkan sesuatu yang jauh.
Piano klasik di sudut ruangan terus berdenting, lembut namun terasa getir.
Zen berbisik di dalam kepalanya, suaranya tak lagi ringan seperti biasanya, tapi pelan dan tegas.
(Dia tersenyum padamu, tapi pikirannya adalah pisau. Kau harus menghadapinya bukan sebagai kakak, tapi sebagai musuh yang menyamar. Pilih waktumu, Lyra. Jangan terburu-buru. Ingat, ular paling berbahaya adalah yang bisa menyamar sebagai tamu terhormat.)
Lyra menutup matanya perlahan, membiarkan angin malam yang masuk dari jendela terbuka menyapu wajahnya. Ada ketenangan yang menutupi hatinya, tapi juga bara yang ia sembunyikan di balik senyum.
Ia berbisik pelan, hampir seperti doa pada dirinya sendiri.
“Baiklah, Aron. Jika ini permainanmu, maka aku akan bermain. Mari kita lihat… siapa yang lebih dulu jatuh.”
Saat matanya terbuka kembali, tatapan Lyra tidak lagi hanya dingin ada sinar tekad yang membara. Gelas air putih itu ia angkat, meneguk sisa cairannya dengan satu gerakan. Hening malam menjadi saksi, bahwa permainan besar baru saja dimulai.
Dari luar, langkah kaki Aron menghilang bersama bayangannya.
Pintu berlapis kayu hitam itu terbuka perlahan. Roy masuk lebih dulu, wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya penuh perhitungan. Serena menyusul di belakangnya, gerakannya senyap, terukur.
“Lady Azure,” ujar Roy datar namun tegas, “kami menangkap percakapan samar Aron setelah ia meninggalkan ruangan. Polanya mengindikasikan perintah kepada pihak ketiga. Arahnya… jelas bukan persaudaraan.”
Serena menambahkan, nada suaranya tetap netral seperti mesin analitis, namun terasa tajam menusuk.
“Aron menggunakan pendekatan emosional untuk meretas kewaspadaanmu. Ia menyebut Lina dengan frekuensi tinggi, menekankan trauma masa lalu, sambil tetap menjaga nada suara stabil. Itu pola manipulatif. Tujuannya: membuatmu melihatnya sebagai kakak pelindung, bukan ancaman.”
Lyra mengangkat kepalanya perlahan, tatapannya dingin namun penuh kendali. “Aku tahu.”
Roy menundukkan sedikit kepalanya, lalu menyalakan hologram kecil dari pergelangan tangannya: peta jaringan keluarga Kandiswara. “Jika benar Aron ingin menguasai asetmu, ia akan melakukannya dengan strategi jangka panjang. Penetrasi pertama kemungkinan lewat sektor yang paling dekat dengan keluarganya Haute Élégance dan L’Orvelle. Dua perusahaan itu sudah pernah dikaitkan dengan keluarga Kandiswara.”
Serena menambahkan cepat. “Aku sarankan kita memperkuat pengawasan internal. Siapkan protokol pengamanan data. Jangan beri celah sekecil apapun. Aron akan mencoba masuk bukan dengan serangan langsung, tapi lewat pintu yang kau biarkan terbuka.”
Lyra terdiam sejenak, lalu meletakkan gelasnya dengan pelan. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Biarkan dia percaya bahwa aku tidak melihat apa-apa. Aku ingin dia merasa nyaman… sampai saatnya tiba. Kita akan tahu semua kartunya sebelum ia menyadari bahwa aku sudah membaca langkahnya.”
Roy menunduk hormat. “Perintah diterima.”
Serena hanya mengangguk singkat, matanya berkilau refleksi lampu lounge, tajam dan dingin.
Zen kembali berbisik lembut di benak Lyra.
(Kau tidak sendiri, Lyra. Kau memiliki mereka, dan kau memiliki aku. Kita akan menunggu… dengan sabar. Dan saat tirainya terbuka, dunia akan melihat siapa yang sebenarnya memegang kendali.)
Lyra menatap keluar jendela lounge, cahaya kota berkelip di kejauhan.
“Permainan sudah dimulai,” ucapnya pelan. “Dan aku tidak pernah kalah dalam permainan.”
Terima kasih sudah support author dengan membaca cerita ini. Jangan lupa like dan komen. Nantikan kelanjutan Lyra untuk mencapai puncak dunia
semangat thop up nya
lagi asyik ngikuti alurnya..🤭💪
...