Malam temaram, cahaya siluet datang menyambar. Detak jantung berlarian ke segala arah. Menimpali ubin yang kaku di tanah.
Di sana, seorang anak kecil berdiri seperti ingin buang air. Tapi saat wajah mendekat, Sesosok hitam berhamburan, melayang-layang menatap seorang wanita berbaju zirah, mengayunkan pedang yang mengkilat. Namun ia menebas kekosongan.
Apakah dimensi yang ia huni adalah dunia lain? nantikan terus kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asyiah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tragedi
Saat Lucy memasuki kabut api, Stella memegang pedang dan beberapa botol air suci.
Tas yang terbuat dari akar rotan itu tergantung di lehernya. Dia merogoh sebotol. Untuk berjaga-jaga.
Firasat Stella tidak enak. Dia masih menatap makhluk itu yang semakin menjadi-jadi menghembuskan api.
Kobaran api yang dahsyat bisa membuat kulit siapapun melepuh. Ajaibnya, tidak berlaku untuk Lucy.
Dia keluar dengan selamat bersama bayi laki-laki yang mungil. Menyerahkan bayi itu kepada ibunya yang sudah sesegukan.
...****************...
"Kau curang! " Sergah Lucy.
Dia mendekati Stella, menarik kerah baju wanita itu. Tatapannya sangat tajam, marah. Sekarang, Stella tampak lebih tinggi daripadanya, rupanya Lucy mengangkat Stella hanya dengan satu tangannya.
"Ka-Kau sangat lancang! Berani-beraninya kau! " Lucy semakin marah. Matanya berkobar api.
Stella terdiam. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Apa yang sudah dia lakukan memang sangat keterlaluan, tapi jika tidak demikian, maka nyawa dia juga dalam bahaya.
Sekarang, dia masih belum mengetahui banyak, bagaimana cara menumpas sekawanan monster, iblis itu. Dia tidak diajarkan apapun kecuali menjadi diri sendiri.
Pengalamannya masih sedikit, dibandingkan dengan Lucy dan juga Kick. Dia tidak sebanding dengan mereka berdua, atau lebih tepatnya tidak sebanding dengan makhluk-makhluk tak kasat mata yang menjelma.
"Sudah, hentikan!" Kick berusaha melerai. Namun, tangan Lucy terlampau kuat. Kabut kemarahan menguasai dirinya.
Lucy hendak menghunus pedangnya. Tiba-tiba muncul kekuatan, menghentikan dan menjatuhkan pedang.
WUSSHHHHHH ....
Lucy menatap ke arah kekuatan itu muncul. Sang Biksu menatapnya. Mata yang seperti elang itu siap menerkam siapapun.
"Hentikan!!!! " Cukup satu kata, justru membuat Lucy seketika terbius. Dia berhenti dan menurunkan lengannya, Stella terjatuh.
"ADUHH... " Dia tersungkur. Sedikit sesak nafas. Stella meregangkan kaus yang sekarang tampak seperti keset.
Entah sudah berapa lama dia berada di sini. Mandi hanya saat berburu ikan. Itu pun baju yang dia pakai kering di badan.
"Masuklah .... " Biksu mempersilakan masuk.
Mereka mengekor di belakangnya. Memasuki sebuah pekarangan kecil yang dipenuhi rumput jepang, jika memakainya tanpa alas kaki, maka terasa geli di telapak. Ujung rumput yang berbulu itulah yang membuat sensasi geli dan gatal.
Mereka memasuki rumah bergaya cina klasik. Pintu yang digeser, bau teh hijau yang menguar saat mereka berada di ruang tamu.
Mereka duduk dialasi bantal. Di depan mereka sudah ada meja berbentuk bundar dan cangkir beserta teko yang berisi teh hijau. Sang Biksu sengaja mempersiapkan ini untuk menyambut mereka.
"Aku sengaja mengundang kalian minum teh. Silahkan di minum. " Ajak Sang Biksu.
Lucy yang pernah berguru padanya tampak tunduk dan patuh. Mulai menggoyangkan sedikit teko kecil lalu menuangkan teh yang masih mengepul ke dalam cangkir keramik yang sangat imut. Sekali teguk saja, tenggorokan terasa sangat hangat.
Kick menyusul menenggak teh hijau, Stella melakukan hal yang sama.
Tenggorokan Stella seolah tersambar oleh hangat nya teh, dan bau yang sangat harum. Bau teh yang masih segar sedikit pahit namun berakhir harum dan hangat. Menenangkan perut yang bergejolak.
"Perkenalkan namaku Biksu Chou. Aku adalah seorang guru bela diri. Dahulu muridku sering sekali berlatih kemari. Tapi sekarang sangat jarang. " Biksu Chou melirik dan menyindir Lucy.
Lucy menggaruk kepala yang tidak gatal, "Ahh, itu pun sudah lama sekali guru. Aku juga berkelana, mana sempat aku kemari! " Celetuk Lucy.
"Tapi sekarang kau bisa kemari!" Biksu menatapnya dengan tatapan dingin namun menusuk hingga ke dasar hati.
Lucy terdiam, dia tau gurunya sedang marah besar.
"Dan mana ada seorang perempuan memainkan pedangnya sambil marah-marah kepada seorang perempuan yang umurnya bahkan dibawahmu! Kau sadar perbuatanmu bahkan mengancam nyawa orang lain?? " Ocehan gurunya memekik keras. Menggema di penjuru ruangan.
"Seorang Ksatria harus memakai logikanya, setelahnya baru hatinya. Maka semua harus beriringan, jangan hanya kau andalkan isi hatimu itu! dunia tidak akan peduli tentang itu, Nak! " Sekarang raut wajah biksu Chou sedikit tenang.
"Seorang pahlawan harus punya akal sehat, agar tak salah melawan. Dia harus tau mana orang yang harus dia lawan dan mana yang harus dia bela. Pakai logikamu, pakai nuranimu. Bedakan saat kau sedang terguncang dan saat kau tenang. Dua hal itu sangat berbeda. Atau, kau akan menyesalinya! " Biksu berdiri. Dia menatap keluar jendela yang kacanya menembus langit.
Cahaya di ruangan sangat terang, namun Lucy sedang merenung, pikirannya sedang kalut dan dia sedang berada diambang kegelapan. Semua yang dia rasa nampak gelap. Menurut dia, untuk terlelap dan terbangun sama saja : sama-sama gelap.
Malam itu berlalu sangat lambat, karena mata Lucy tak ingin terpejam, rasa bersalahnya pada Stella membuatnya sulit mengontrol diri. Dia bangkit dan menatap Stella perlahan. Wajah itu, persis sama sepertinya.
Lucy masih menatap langit yang kehilangan bintang-bintang di malam itu. Hanya ada bulan yang bersinar, tak takut sendirian, hanya dia sumber penerang di malam yang sunyi.
...----------------...