Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Yang Katanya “Ngobrol Bentar” Tapi Kenapa Deg-degan SAMPE SEKARAT
Lapangan basket sore itu kosong. Kosong banget—seolah semuanya dapet pesan rahasia. “Jangan ganggu, ada drama canggung yang mau mulai.”
Aku melangkah pelan, nahan napas sampe perut sakit, sambil nyalahin diri sendiri karena tadi di kantin nurut kayak NPC yang disuruh quest “Ke Lapangan Jangan Lari” (quest paling buruk sepanjang sejarah).
Cakra berdiri di pinggir ring, satu tangan dalam kantong celana, satu lagi mainan kunci motor sampe klink-klink kedengeran. Pose standar: cool, misterius, dan bikin aku ngerasa kayak orang yang baru belajar jalan, padahal udah 17 tahun bisa jalan lho.
Dia noleh waktu aku mendekat. Nggak senyum, nggak manggil “Kayyisa” kayak orang normal… cuma ngeliatin. Cuma itu aja.
Dan entah kenapa, itu lebih mematikan dari senyumnya yang jarang banget.
“Gue takut lo kabur,” katanya akhirnya. Suaranya datar, tapi ada nada yang bikin jantungku loncat ke tenggorokan.
“Gue dateng, kan?!” dengusku, nyoba keliatan garang tapi kayaknya cuma keliatan kesusahan ngomong.
“Hmm. Ajaib.”
Aku hampir ngelempar botol minum yang bahkan tidak aku bawa ke mukanya. “Lo manggil gue buat apa sih? Jangan-jangan mau tambah poin kontrak lagi?”
Dia nggak langsung jawab. Jalan pelan mendekat—pelan banget—kayak dia tahu aku bakal panik tiap langkahnya mendekat 1 cm.
Benar saja. Aku panik. Jantungku udah mulai nge-jazz sendiri.
“Lo tadi heboh banget,” katanya sambil nyender ke pagar samping lapangan. “Sa, yang gue tahu biasanya nggak segitu… merahnya. Udah kayak tomat yang baru dipetik.”
AKU LANGSUNG MELESETKAN PANDANGAN.
SIALAN. Dia merhatiin warna kulitku?! Seperti apa ini, cek kondisi sayuran?!
“Gue nggak merah,” elakku, sambil coba pegang pipiku (tapi malah makin pasti kalau memang merah).
“Hmm.”
Kenapa “hmm” dia bisa kedengeran kayak “Iya, lo bohong, dan gue menikmati liat lo bohong kayak anak kecil?"
Aku bersedekap, berusaha kelihatan peduli yang sewajarnya (padahal otakku udah nge-loop “dia liat pipiku merah dia liat pipiku merah”). “Ya udah. Gue di sini. Lo mau ngomong apa, ya?”
Cakra geser pandangannya ke rumput. Lalu ke sepatu dia. Lalu ke aku lagi. Itu jarang. Biasanya dia langsung tembak poin kayak penembak jitu.
“Sori,” katanya akhirnya.
Aku mengerjap. Lagi. Lagi-lagi. “Hah? Sori apa? Lo bikin gue jadi tomat?”
Cakra tampak menahan senyumnya. “Tadi. Kantin. Gue bikin semuanya makin ribut. Dan lo nggak nyaman, sama temen lo sendiri.”
Okay, tunggu.
Ini aneh.
Ini Cakra Adinata minta maaf??
Cakra yang mukanya selalu kayak “Gue selalu benar, lo yang salah paham” itu?
“Gue… nggak apa-apa kok,” jawabku perlahan, seolah ngomong sama makhluk luar angkasa yang baru muncul.
Dia geleng. “Lo jelas nggak nyaman. Gue liat.”
Aku mati gaya. Karena cara dia bilang “gue liat” itu bukan nge-judge, tapi kayak… beneran peduli. Seperti dia benar-benar perhatiin apa yang bikin aku tidak nyaman.
Dan aku benci itu. Maksudku, aku benci karena itu bikin jantungku minta refund—“Maaf, sistem jantung tidak bisa menampung kelembutan ini!”
“Gue cuma nggak mau bikin lo makin susah,” lanjutnya, mata dia tetep nempel ke aku. Iya, aku sedikit tersinggung untuk yang bagian susahnya.
"Nggak papa."
Ini.
Ini vibe “kontrak sinting” banget.
Karena dia ngomong kayak cowok yang punya tanggung jawab, padahal ini semua cuma pura-pura.
“Tadi gue kira lo marah,” gumamku jujur, karena udah nggak tahan bingung.
“Marah?” dia ngangkat alis, seolah itu kata paling aneh yang dia dengar sepanjang hari.
“Ya! Lo tau sendiri lo tiba-tiba heboh ‘jangan panik’, ‘tetep duduk’, ‘jangan senyum ke cowok lain’ dan—”
Cakra tiba-tiba natap aku lama.
Diam.
Sangat lama.
Sampai aku ngerasa mau nge-reset diri pake tombol yang nggak ada.
“Yisa,” katanya pelan, suaranya kayak angin sore yang lembut banget. “Gue bukan marah. Gue cuma… make sure semuanya konsisten.”
Konsisten.
Kontrak.
Pura-pura pacaran.
Segala omong kosong itu.
Tapi kenapa suaranya barusan kedengeran lembut sampe bikin kupingku ngaget?
Aku garuk belakang kepala, bingung banget. “Lo nggak harus se-intense itu, tau. Orang udah percaya kok kalo kita pacaran.”
“Harus lah.”
Alisku naik. “Kenapa?!”
Dia terdiam.
Udara kayak berhenti sedetik. Sampe aku bisa dengar detak jantungku yang udah nge-ngotak.
“Karena kalo nggak, orang bakal ngerasa ini nggak nyata.”
Deg.
Oke.
Kenapa aku ngerasa kalimat itu kena tepat di bagian jantung yang paling nggak siap? Seperti ditusuk pake tusuk sate yang lembut.
“Lagipula…”
Cakra melanjutkan sambil merapikan rambutnya yang jatuh dikit ke jidat—gerakan yang bikin aku mau ngelupain semua hal.
“…gue nggak mau orang lain manfaatin situasi.”
“Apa maksudnya?” tanyaku, bingungnya makin bertambah.
“Cowok kayak tadi. Yang ngelirik lo sampe mata kayak ikan mas.”
Nada suaranya turun satu oktaf. Jadi lebih dalam. Lebih… possessive.
“Tadi itu gampang dibikin salah paham.”
Aku langsung mendelik. “EH, maaf banget nih, siapa yang gampang salah paham? gue kan cuma liatin doang, itu mah lo kali Cak!”
“Lo.”
“Gue nggak gampang salah paham!”
“Tadi lo ngeliatin gue kayak mau kabur ke negara lain cuma gara-gara gue duduk di meja lo.”
“A—itu BEDA! Itu karena lo tiba-tiba muncul kayak hantu!”
“Hmm.”
Ugh.
Aku sangat benci hmm-nya.
“Pokoknya gue manggil lo ke sini karena satu hal,” katanya akhirnya, mengakhiri perdebatan yang sia-sia.
“Apa lagi? Jangan bilang mau gue bikin makan siang buat lo juga ya.”
“Ke depannya… kita bareng terus.”
Aku refleks mundur setengah langkah. “HAH?! Bareng-bareng apa? Main layangan?!”
“Jalan ke kelas bareng. Turun tangga bareng. Pulang kalau kebetulan bareng. Intinya… bareng. Semua aktivitas sehari-hari.”
“Kok… kayak… beneran sih?”
Dia nahan tawa—tawa yang cuma keliatan di sudut mulutnya. “Kontrak, Sa. Jangan lupa.”
“Perasaan gue nggak tanda tangan sampai segitunya!”
“Lo tanda tangan poin nomor tiga.”
“Apa poin nomor tig—”
Aku langsung tutup mulut sendiri.
SIAL.
Poin nomor tiga: Mengikuti arahan untuk menjaga kredibilitas hubungan.
Kenapa aku mau-maunya tanda tangan kontrak kayak idiot yang nggak baca syarat?
“Gue nggak bakal paksa,” katanya lebih pelan lagi, seolah merasakan kekhawatiranku. “Tapi kalau lo ngerasa terlalu heboh, gue bisa… lebih pelan. Langkah demi langkah.”
Nafasku berhenti.
Sebentar.
Ini Cakra minta feedback hubungan? Kayak… pacar sungguhan yang peduli sama perasaan pasangannya??
“Oke deh gue… bisa ngikutin,” jawabku tanpa nalar, otakku udah kehabisan memproses semua kelembutan ini.
“Good,” katanya, senyum tipis muncul—senyum yang bikin aku mau tersedak. “Gue suka kalau lo jujur.”
Aku langsung menunduk. Panas. Sialan, pipiku pasti udah jadi cabe merah.
“Tapi,” lanjutnya sambil mendekat setengah langkah—sehingga jarak kita cuma beberapa sentimeter—“lo harus bilang kalau ada yang bikin lo nggak nyaman. Jangan cuma dipendam.”
Ini.
Ini terlalu tender buat hubungan palsu. Seolah ini bukan kontrak, tapi sesuatu yang lebih… nyata.
“Iya,” gumamku, suaranya kecil kayak kelinci.
Cakra akhirnya jalan melewati aku, tapi sebelum pergi dia berhenti sebentar di sampingku. Tangan dia hampir menyentuh bahuku.
“Kayyisa.”
“Ya?”
“Mulai besok, gue jemput lo di loker.”
“JE—M—PUT?!” Aku berteriak sampe burung di pohon terbang. “Jemput di loker? Semua orang bakalan liat!”
“Poin nomor tiga,” ulangnya, dengan senyum yang bikin aku pengen menggigitnya.
Aku menatapnya penuh dendam. “Poin itu harusnya dihapus dari kontrak!”
Dia tersenyum kecil. “Terlambat. Kontrak sudah berlaku.”
Dan dia pergi.
Begitu saja. Langkahnya mantap, tanpa menoleh lagi.
Meninggalkanku di tengah lapangan…
dengan perasaan yang sama sekali tidak sesuai kontrak. Gila-Gila semuanya kacau! Pertanyaannya menyesal atau tidak? Tentu saja Kiran akan menjawab IYA! Entah harus sekacau apa kehidupannya karena ditempeli oleh sosok Cakra Adinata.
✨Bersambung…