Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Drama pengakuan Clara bahwa telah mengandung anak Arkan siang itu membuat sok semua penghuni kediaman Alexander.
Alexander yang baru saja tiba tidak tahu apa yang terjadi, tidak bertanya dulu, karena nyawa Adisty yang paling penting. Dia gendong tubuh istrinya keluar rumah, lalu minta supir mengantar ke rumah sakit.
Sementara Arkan, terkejut dan bingung, seketika membantah bahwa ia dengan Clara tidak pernah melakukan hubungan sejauh itu. Namun, Arkan prustasi kala Eric tidak percaya kata-kata Arkan dan memintanya untuk bertanggung jawab.
"Saya berani bersumpah tidak pernah tidur bersama Clara, Om..."
"Maling mana ngaku?! Nyatanya kamu sudah maling anak perempuan saya!"
Shindy yang sudah tidak mau mendengar hal itu lagi, melangkah ke kamar. Dia merasakan sakit hatinya yang begitu dalam. Mengapa takdir begitu kejam? Disaat ia sudah mendapatkan hati Arkan dengan susah payah walaupun saat ini baru menjadi teman. Namun, lagi-lagi kecewa yang Shindy dapat.
Di lantai kamar, ia duduk menangis tergugu. Jika sudah demikian ia hanya teringat nenek yang sudah tiada. Di dunia ini hanya nenek dan Dila yang selalu mengerti dirinya.
"Shindy..." Arkan pun duduk di depan Shindy, menatapnya sendu. "Percayalah, yang Clara tuduhkan itu tidak benar" Arkan menjelaskan.
Shindy pun bangkit dari duduknya bersandar di tembok dengan mata merah dan basah. "Ar, saya sudah lelah bertengkar sama kamu. Selesaikan masalah kamu dengan Clara. Jika memang anak yang dikandung Clara benar darah daging kamu, sebaiknya kamu bertanggung jawab" Shindy berbicara lembut, tapi kata-kata itu justru membuat hati Arkan tersayat. Ia lebih senang Shindy yang selalu membentaknya, tapi hanya di mulut saja.
"Shy, tapi aku tidak bohong, Clara hanya menjebakku" Arkan berdiri di depan Shindy. "Percayalah Shy, aku mencintaimu."
Shindy menatap suaminya tidak percaya, mungkin ucapan itu bukan dari hati Arkan yang paling dalam. Jika memang tulus mencintainya, mengapa pria itu baru mengucap kata itu setelah hati Shindy hancur seperti sekarang.
"Ar, sebaiknya kita masing-masing dulu, saya akan membenahi diri ini karena belum bisa menjadi istri yang baik untukmu, makanya kamu selingkuh" Shindy meneteskan air mata.
"Shindy..." Arkan memeluk tubuh istrinya. "Jangan bicara begitu Shy, selama ini aku yang buta karena tidak bisa melihat berlian seperti kamu" lanjutnya.
Shindy melepas tangan Arkan di perutnya, lalu balik badan. "Ar, biarkan aku pergi, jika kamu bisa membuktikan bahwa bayi yang dikandung Clara bukan anak kamu, aku akan kembali. Tetapi sebaliknya, jika kamu terbukti ayah biologisnya, aku minta cerai" Shindy minta Arkan menikahi Clara, dan hidup bahagia.
"Tidak Shindy, istri aku itu kamu, aku tidak mau menikahi Clara."
"Tolong Ar, berpikirlah secara dewasa" Shindy tidak rela jika Arkan menyia-nyiakan bayi yang tidak berdosa. Shindy ambil koper menyiapkan beberapa pakaian, tas kecil, laptop, dan perlengkapan kuliah, karena saat ini sedang menyusun skripsi.
"Shindy... jangan pergi" Arkan menahan tangan Shindy yang tengah memasukkan baju ke dalam koper.
"Ar, kita sudah berbuat kesalahan karena menikah terlalu dini. Dan ternyata kita masih sama-sama belum dewasa, hingga mementingkan ego masing-masing" Pungkas Shindy lalu menarik koper.
"Shindy, jangan pergi" Arkan hendak menahan tangan Shindy, tapi Shindy mundur.
"Ar, bukanya sudah saya katakan, selesaikan dulu masalah kamu" Shindy membuka pintu lalu menarik koper. Keputusannya sudah bulat, maka tidak lagi menjawab panggilan Arkan. Shindy mengunci pintu dari luar membiarkan Arkan di dalam kamar.
Dok dok dok.
"Shindy... buka..." teriakan Arkan masih terdengar di telinga Shindy, tapi sudah tidak bisa merubah keputusannya.
"Bi, aku pamit..." ucapnya dengan suara serak.
"Non Shindy mau kemana?" Tanya bibi panik, karena bibi sudah tahu apa yang terjadi di rumah ini.
"Saya mau menenangkan diri dulu Bi, tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada Papa dan Mama" Shindy memberikan kunci kamar kepada bibi kemudian membuka pintu depan, di luar pagar rupanya taksi sudah menunggu.
Shindy memasukkan koper ke dalam bagasi, lalu duduk di jok belakang supir.
"Shy, kamu mau kemana?" Arkan rupanya dibukakan pintu oleh bibi, kemudian mengejar Shindy. Arkan mengetuk kaca taksi, tapi taksi tersebut melesat pergi.
Ia mengeluarkan motor besarnya lalu pergi mengejar Shindy. Namun, percuma. Lampu merah siang itu membuatnya kehilangan jejak.
"Sial!" Arkan meninju angin, hendak menghubungi Shindy pun tidak membawa handphone.
Seperti anak ayam kehilangan induknya yang dirasakan Arkan hari itu. Dengan motornya Arkan mencari Shindy hingga sore hari. Jangankan menemukan, handphone Shindy pun tidak bisa dia hubungi. Tiba di rumah, kedua orang tuanya sudah pulang dari rumah sakit.
"Dasar anak tidak mau diuntung kamu! Ternyata ini hasilnya yang kamu lakukan setiap malam kelayapan?!" Semprot Alexander.
Arkan benar-benar sedang ditimpa kesialan seperti yang ia ucapkan. Sang papa pun memarahi nya habis-habisan.
"Dulu aku memang sering keluar malam Pa, tapi hanya sekedar nongkrong."
"Kenapa Shindy pergi tidak kamu cegah Ar, sekarang ini sudah malam, kemana Dia?" Potong Adisty di sela-sela isak tangis. Sejak sadar dari pingsan, Adisty hanya menangis, sedih, dan kecewa.
"Ini salahku Ma, aku akan mencari Shindy sampai ketemu" Arkan pamit melanjutkan mencari Shindy. Dalam perjalanan ia ingat bude Warni yang belum ia kunjungi. Arkan melesat ke arah rumah itu.
"Siapa ya?" Tanya seorang wanita ketika Arkan tiba di rumah bude.
...~Bersambung~...
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih