Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios. Yaitu percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lainnya. Raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, bahkan binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia.
Hingga terbentuklah 12 pertandingan untuk menghentikan peperangan akbar itu. Panah melawan mesiu, otot melawan baja, sihir melawan sains.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Tiago
BRAZIL, DELAPAN TAHUN SEBELUM TURNAMEN
Rio de Janeiro tak pernah tidur. Kota itu bernafas lewat suara peluru yang memantul di antara gang, lewat aroma ganja yang bercampur dengan laut asin dari pantai Copacabana. Dan di tengah riuh kehidupan itu, Tiago Moreira tumbuh. Bukan sebagai anak, tapi sebagai produk dari kelalaian dunia.
Ibunya bekerja di pabrik rokok, upahnya tak cukup untuk makan tiga kali sehari. Ayahnya? Entah pergi, entah mati, tak ada yang tahu. Yang Tiago tahu, sejak umur sembilan tahun, ia sudah belajar cara mengantarkan paket kecil ke “paman-paman” di tikungan jalan Favela da Rocinha.
Paket itu, kata mereka, hanya berisi “tepung mahal.” Tapi Tiago bukan anak bodoh. Ia tahu, tiap kali paket itu dikirim, orang-orang jadi tenang, lalu tidur di pinggir jalan dengan mata terbalik.
Lambat laun, Tiago terbiasa.
Uang dari hasil jadi kurir itu bisa ia gunakan untuk makan, memperbaiki atap rumahnya yang bocor, bahkan kadang membeli sepatu untuk adik kecilnya, Lúcia.
Namun, kehidupan dengan kartel tak pernah memberi kebebasan, hanya memberi hutang.
Dan tiap hutang harus dibayar dengan sesuatu.
Kadang dengan uang. Kadang dengan nyawa.
Saat beranjak remaja, Tiago sudah menjadi kurir terbaik. Cerdas, cepat, tak pernah tertangkap polisi. Mereka memanggilnya O Fantasma atau “Sang Hantu.” Julukan itu bukan kebetulan; Tiago memang tak pernah terlihat dua kali di tempat yang sama. Tapi sekaligus, itu kutukan. Sebab “hantu” tak pernah punya rumah.
Sampai suatu malam, di sebuah transaksi di pelabuhan tua, semuanya berubah. Salah satu kapal milik kartel dibajak oleh kelompok rival.
Tembakan menggema, dan Tiago berlari sekuat tenaga menembus asap. Ia berhasil kabur, tapi bukan tanpa harga.
Di pagi harinya, ia menemukan namanya di daftar buronan Polícia Federal Brasil. Kartelnya menuduh dia berkhianat, kabur dam membawa uang mereka.
Sejak malam itu, Tiago tak lagi bisa kembali. Ia melarikan diri ke utara, lalu ke Meksiko, menyelundup dengan kapal kargo menuju Amerika.
Ia jadi imigran gelap, hidup di balik lorong, makan dari sisa makanan dapur bar. Tapi di sanalah, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang aneh, yaitu kebebasan.
AMERIKA SERIKAT, LIMA TAHUN KEMUDIAN
Tiago bekerja sebagai penjaga bar di kota Las Vegas, tempat semua orang datang untuk melupakan masa lalunya. Namun, dunia bawah selalu menemukan caranya untuk menarik orang seperti Tiago kembali ke dalam lumpur.
Setiap malam, bar itu jadi ajang adu jotos.
Bukan sekadar berkelahi, tapi taruhan hidup dan mati, disaksikan oleh orang-orang yang bersorak di antara botol pecah dan asap rokok. Dan di situlah Tiago menemukan jati dirinya yang sebenarnya.
Tiap malam, ia menghadapi petarung dengan gaya berbeda. Petarung dari Capoeira yang menari dengan kaki berputar. Seorang mantan tentara Jepang yang menebas dengan jurus Karate. Seorang pegulat sumo yang memeluk lawan hingga tulangnya retak. Dan seorang biarawan tua dari Tiongkok, dengan gaya Kungfu yang halus tapi mematikan.
Tiago kalah berkali-kali. Tulang rusuknya patah. Hidungnya pernah hancur. Namun tiap kekalahan ia jadikan pelajaran.
Ia meniru gerak mereka, mengubahnya, lalu menciptakan sesuatu yang baru.
Kungfu Samba.
Sebuah gaya bertarung liar yang memadukan tarian, kelincahan, dan kekacauan. Gerakan yang mustahil diprediksi, karena setiap langkahnya lahir dari insting, bukan aturan. Dan dengan cepat, dunia bawah mengenal namanya lagi.
“El Fantasma do Brasil” muncul di setiap poster pertarungan ilegal.
Ia menari di atas ring, menari di atas darah, menari untuk melupakan semua dosa yang tak bisa ia tebus.
Namun popularitas adalah kutukan yang menyala terang.
Di suatu malam hujan, seseorang dari masa lalunya datang. Tiga pria berjas hitam, beraksen Portugis tebal, membawa pesan dari Rio.
“Bos kami, Senhor da Costa, ingin kau pulang. Ia butuh pengawal pribadi. Kau akan hidup nyaman. Uang, rumah, wanita. Semua disediakan.”
Tiago menatap mereka dari balik asap rokok.
“Suruh dia jagain dirinya sendiri.”
Pria itu tertawa kecil, “Kalau begitu, mungkin keluarga kecilmu di Brasil yang akan dijaga lebih dulu, hm?”
Tangan Tiago gemetar. Darahnya mendidih. Tapi ia tahu, melawan sekarang sama saja dengan menandatangani surat kematian mereka.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ghost kembali ke neraka.
RIO, BEBERAPA BULAN KEMUDIAN
Langit Rio saat itu merah, seolah matahari pun ikut berdosa. Rumahnya sudah rata dengan tanah.
Di antara asap dan abu, Tiago menemukan kalung Lúcia tergenggam di tangan kecil yang sudah dingin. Sementara ibunya terbaring tak jauh, masih mengenakan pakaian kerja pabrik yang gosong sebagian.
Ia tidak berteriak. Tidak menangis. Hanya diam.
Dunia terasa hening, seolah waktu berhenti menatapnya dengan kasihan. Tak lama, radio tua yang masih menyala berdesis, menyiarkan berita,
“Kartel Serpente Branca mengeksekusi pengkhianat mereka, Tiago Moreira. Ia melarikan diri dari Brasil, membawa uang hasil penjualan narkoba,”
Tiago menatap bayangannya sendiri di genangan darah.
“Pengkhianat?” bisiknya.
Ia menatap kedua tangannya, lalu meninju tanah berulang-ulang hingga buku jarinya berdarah.
“Kalau begitu… mulai sekarang, aku memang pengkhianat.”
Malam itu, ia mengambil obor, lalu membakar tato kartel yang melingkar di lengannya. Dagingnya melepuh, tapi ia tidak menjerit. Itu harga kebebasan. Itu awal dari kelahirannya kembali.
Sejak hari itu, dunia mengenalnya bukan lagi sebagai Tiago Moreira, melainkan Tiago Ghost, si bayangan yang menolak mati.