Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Mobil sedan hitam yang mengilap itu meluncur pelan memasuki gerbang sekolah, memantulkan cahaya matahari pagi di setiap lengkung bodinya. Suasana yang biasanya riuh dengan obrolan murid-murid mendadak hening sejenak begitu kendaraan itu berhenti tepat di depan pintu masuk utama. Semua mata seolah otomatis tertuju ke arah yang sama.
Pak Anton, supir keluarga Cromwell yang setia, segera turun dengan sikap tegap dan penuh wibawa. Dengan langkah penuh hormat, ia membuka pintu belakang. Dari dalam, tampak sepasang kaki berbalut stoking tipis dan sepatu hitam berkilau perlahan menapak keluar.
Dan kemudian, dialah.
Elanor.
Bukan Elanor yang murid-murid kenal selama ini. Bukan gadis pemalu dengan rambut berantakan dan wajah sembab yang selalu jadi bahan cibiran. Tapi sosok lain, seolah seorang bintang layar perak turun ke dunia mereka. Rambutnya jatuh rapi, berkilau tertata dengan catokan yang membuatnya terlihat anggun sekaligus berkelas. Rok seragamnya, yang kini sedikit dimodifikasi, memperlihatkan sisi berani yang belum pernah ada sebelumnya. Senyumnya tipis, tenang, tapi mematikan. Aura yang terpancar darinya membuat udara sekeliling mendadak terasa berbeda.
Ia menoleh sejenak pada Pak Anton, mengucapkan pamit singkat dengan nada sopan namun penuh percaya diri.
“Terima kasih, Pak Anton. Saya masuk dulu.”
“Ya, Nona.” Pak Anton menunduk kecil, seolah dirinya bukan sedang mengantar seorang siswi, melainkan putri bangsawan.
Langkah Elanor begitu pasti. Setiap hentakan hak sepatu kecilnya di lantai koridor depan sekolah terdengar jelas, seperti hentakan genderang yang memecah keheningan. Murid-murid yang tadinya sedang bercanda kini terdiam, ada yang saling berbisik, ada yang refleks mengangkat ponselnya untuk merekam momen ini.
Siswi-siswi yang dulu dengan mudah melempar komentar pedas, tentang wajah pucat, tentang gaya lusuh, kini hanya bisa melongo, bibir terkatup, mata membesar tak percaya. Beberapa bahkan menutupi mulutnya sambil berbisik pelan, seolah takut jika suaranya terdengar oleh sang bintang baru.
Dan Elanor tahu itu. Ia tahu dirinya menjadi pusat perhatian. Bukan lagi korban, bukan lagi bayangan. Kini ia adalah cahaya itu sendiri. Sesekali, ia menoleh ke arah kamera ponsel yang diam-diam merekamnya. Senyumnya melengkung tipis, senyum yang sederhana tapi memabukkan, lalu satu kali ia mengangkat tangan, melambai anggun. Seketika terdengar suara kecil jeritan kagum, seperti fans yang baru saja bertemu idola mereka.
Hiruk-pikuk kecil mulai pecah, sebagian murid berebut posisi untuk bisa melihat lebih jelas. Elanor terus melangkah, menebarkan pesonanya seperti seseorang yang sudah lama terbiasa dengan sorotan.
“Lala…?” sebuah suara tercekat keluar di tengah kerumunan.
Seorang gadis berlari kecil menghampirinya, wajahnya penuh keterkejutan. Bella Helios, sahabat karib yang selalu mendampinginya bahkan di masa tergelap, kini berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Elanor Cromwell?” Bella hampir terbatuk menyebut nama itu, seakan memastikan dirinya tidak salah orang.
Elanor menoleh, menatap Bella dengan tatapan penuh arti, kemudian tersenyum lebar.
“Bella…” suaranya ringan, nyaris seperti bisikan yang menenangkan, tapi ada keyakinan baru yang menyertainya.
Bella terdiam beberapa detik, lalu tangannya refleks menutupi mulutnya.
“Ya ampun, Lala… Lo gila! Lo jadi… anjir, lo jadi cantik banget! Bukan cuma cantik, Lo kayak artis Hollywood, sumpah! Gue beneran sampe nggak bisa napas liat lo sekarang!”
Elanor hanya terkekeh pelan, menatap sahabatnya itu dengan penuh kehangatan bercampur kepercayaan diri baru.
“Benarkah? Gue cuma sedikit merapikan diri, Bel.”
“Sedikit?!” Bella hampir teriak, lalu buru-buru menunduk karena sadar semua orang memperhatikan. “Lala… ini bukan ‘sedikit’, ini… ini kayak lo lahir lagi, sumpah. Lo bener-bener berubah.”
Elanor mengangkat bahunya, senyum manisnya tak luntur. “Mungkin gue memang harus berubah.”
Bella masih menatapnya, seolah sahabatnya ini bukan lagi gadis yang sama. Dan di belakang mereka, tatapan kagum, iri, dan syok bercampur jadi satu dari seluruh murid yang masih mematung.
Koridor sekolah pagi itu dipenuhi bisik-bisik. Sosok Elanor yang baru muncul seperti badai yang menyapu seluruh pandangan, semua mata tak bisa lepas darinya. Bella berjalan di sisi sahabatnya, masih berkali-kali melirik ke arah Lala, seolah tak percaya dengan transformasi itu.
Tapi, langkah Elanor yang mantap akhirnya terhenti.
Dari arah depan, sekelompok siswi berjalan beriringan, tawa mereka nyaring, penuh keangkuhan. Dan di tengahnya, seperti biasa, Veronica, si ratu palsu sekolah, gadis yang selama ini menjadikan Elanor sasaran empuk untuk ejekan dan penghinaan.
Begitu pandangan mereka bertemu, udara seakan menegang. Veronica menahan langkahnya, mengerjap tak percaya melihat perubahan Elanor. Untuk beberapa detik, geng-nya pun terdiam, terperangah dengan penampilan baru Lala. Tapi Veronica cepat menguasai diri, lalu mendengus dan mulai bertepuk tangan pelan, tepuk tangan yang jelas bernada ejekan.
“Wah, wah, wah…” suara Veronica meninggi, penuh sindiran. Ia melangkah mendekat, senyum miring terukir di bibirnya. “Bukankah ini Elanor Cromwell? Gadis malang yang tiap hari dijemput dua orang pangeran itu. Jadi lo sekarang pengen ikut-ikutan tampil kayak artis, hah?”
Elanor tidak bergeming. Ia hanya melipat tangan di depan dadanya, menatap Veronica dengan mata dingin yang tajam.
“Oh, bukankah ini Veronica,” jawabnya tenang, suaranya nyaris seperti bisikan menusuk. “Pengerat yang pengen banget jadi primadona sekolah, tapi gagal total.”
Sekejap saja wajah Veronica berubah. Senyumnya membeku, matanya melebar, geng di belakangnya tercekat, mulut mereka ternganga tanpa suara. Mereka terbiasa melihat Elanor menunduk, menangis, atau kabur. Tapi sekarang, gadis itu berdiri tegak, berani, dan menghina balik tanpa gentar.
Lo! Veronica menunjuk Elanor dengan telunjuk bergetar, suaranya tercekat oleh emosi. “Lo berani sama gue?!”
Elanor mengangkat alis, ekspresi dinginnya tak berubah. “Apa?” satu kata itu terucap ringan, tapi mengiris tajam, membuat Veronica makin tersulut.
Dengan wajah merah padam, Veronica mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap menampar Elanor di depan semua orang. Tapi sebelum telapak itu sempat mendarat, cepat sekali Elanor mengangkat tangannya sendiri, menahan keras pergelangan Veronica.
“Cukup,” desis Elanor pelan, namun jelas terdengar oleh semua orang di koridor.
Seketika, suara-suara kecil terhenti. Semua murid yang menonton membeku, detik itu juga sadar sesuatu besar akan terjadi.
Dan tanpa memberi kesempatan, Elanor membalik keadaan—plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Veronica, membuyarkan keangkuhannya. Suara tamparan itu bergema, diikuti dengan pekikan kaget dari murid-murid yang menonton.
Koridor pun pecah.
“Gila, dia tampar balik!”
“Nggak ada yang pernah berani kayak gitu ke Veronica!”
“Elanor… bener-bener berubah!”
Veronica memegangi pipinya, matanya bergetar penuh kebencian. Ia menatap Elanor dengan tatapan yang bisa membunuh, rahangnya mengeras. Tapi sebelum ia sempat melancarkan balasan, sebuah suara gemuruh kecil terdengar
byur!
seember air entah dari mana jatuh, mengguyur tubuhnya sampai basah kuyup.
Semua orang menahan napas. Veronica berdiri kaku, rambut dan seragamnya meneteskan air, wajahnya memerah antara malu dan marah.
Elanor melangkah satu langkah maju, menatapnya dari atas ke bawah, lalu dengan suara ringan penuh ironi ia berucap,
“Ups.”
Koridor meledak. Tawa, teriakan, bisikan, semua jadi satu. Veronica yang selama ini ditakuti, yang tak pernah tersentuh, kini berdiri basah kuyup dan ditampar di depan ratusan mata. Sementara Elanor, dengan langkah ringan penuh percaya diri, berbalik, merapikan sedikit rambutnya, lalu berjalan pergi bersama Bella.
Bella masih ternganga, tapi juga terkekeh tak percaya. “Lala… gila… lo badass banget. Gue bahkan nggak berani mimpi liat Veronica kayak gitu!”
Dan di belakang mereka, Veronica menggigil karena malu dan marah, geng-nya pun hanya bisa menunduk, tak tahu harus berbuat apa. Hari itu, status di sekolah berubah, Elanor bukan lagi si korban. Dia adalah ancaman baru, badai yang siap mengguncang semuanya.
Koridor masih riuh. Veronica berdiri kaku dengan seragam basah kuyup, pipinya memerah bekas tamparan, rambutnya berantakan seperti benang kusut. Selama ini, dialah yang selalu jadi pusat perhatian, ratu sekolah yang dielu-elukan, terutama oleh para cowok. Tapi kali ini, semua mata tak lagi menatapnya dengan kagum.
Sebaliknya, tatapan itu jatuh pada Elanor.
Beberapa cowok yang dulu sering berebut menyapa Veronica, kini tanpa sadar berbisik satu sama lain sambil melirik Elanor.
“Gila… lo liat nggak? Cara dia nahan tangan Veronica, itu bener-bener kayak di film action.”
“Iya, sumpah… tatapannya dingin banget, tapi keren parah.”
“Gue kira dia cuma anak manja yang diem doang, ternyata… astaga, lebih seksi dari Veronica.”
Salah satu dari mereka, Jason, cowok basket yang dulu terang-terangan jadi fans berat Veronica, bahkan sampai melongo, matanya tak berkedip. “Damn… Elanor keliatan… powerful banget. Gue baru tau ternyata dia bisa gini.”
Yang lain menepuk bahunya sambil nyengir. “Bro, kayaknya lo baru pindah haluan.”
Jason cuma terkekeh kecil, masih belum bisa mengalihkan pandangan dari punggung Elanor yang berjalan menjauh dengan anggun. Aura dingin namun elegan itu membuat jantung para cowok berdegup lebih cepat. Mereka seakan melihat sosok baru, seorang primadona sekolah yang baru.
Di sisi lain, Veronica bisa mendengar bisik-bisik itu. Dadanya bergemuruh, wajahnya semakin merah bukan hanya karena tamparan, tapi karena rasa malu yang menusuk. Statusnya sebagai “idola sekolah” runtuh seketika, bergeser ke tangan gadis yang selama ini ia remehkan.
Bella, yang berjalan di samping Elanor, menoleh ke arah sahabatnya sambil menahan tawa kecil. “Lala… lo nyadar nggak? Lo baru aja ngerebut tahta Veronica dalam satu langkah.”
Elanor tidak menoleh, hanya tersenyum tipis. Senyum itu membuat beberapa cowok yang melihat dari jauh langsung menelan ludah, seolah senyum sederhana itu bisa bikin dunia berputar.
Dan detik itu juga, semua orang sadar, hari ini menandai akhir era Veronica.
Era baru telah dimulai. Era Elanor Cromwell.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭