Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Psikolog dadakan
Bayangan Masa Lalu Dirga
Malam itu, suara bentakan kembali menggema di dalam rumah kecil yang dulu penuh tawa.
Piring pecah, benda-benda berjatuhan, dan di antara semua itu, tangisan seorang anak kecil menggema di sudut kamar. Dirga kecil menutup telinganya erat-erat, tubuhnya gemetar di balik selimut tipis. Tapi seberapa keras ia menutup telinga, suara pertengkaran itu tetap menyusup masuk, memecah ketenangan yang dulu pernah ia kenal.
Papanya berteriak, mamanya membalas.
Kata-kata kasar meluncur seperti pisau yang saling menebas harga diri. Rumah itu tak lagi terasa seperti tempat pulang, melainkan medan perang yang penuh luka tak terlihat.
Sejak papanya dipecat dari pabrik, semuanya berubah. Uang semakin menipis, dan di saat mamanya bekerja siang malam menjadi pelayan di restoran, papanya justru duduk di depan laptop, terpaku pada situs judi yang perlahan menggerogoti sisa tabungan mereka.
Setiap malam, suara bentakan menjadi musik pengantar tidur Dirga. Ia tak lagi hafal kapan terakhir kali mendengar suara tawa di rumah itu.
Hingga suatu hari, suara pintu dibanting menjadi tanda berakhirnya segalanya.
Perceraian.
Kata itu sederhana, tapi untuk seorang anak kecil seperti Dirga, artinya dunia yang ia kenal hancur berkeping-keping.
Beberapa bulan kemudian, luka itu semakin dalam.
Dirga tumbuh bersama mamanya—yang tak lagi sama. Wanita itu membawa pulang pria-pria berbeda ke kontrakan kecil mereka. Setiap wajah baru adalah amarah yang tak tersampaikan, dendam yang ditumpahkan kepada laki-laki yang telah meninggalkannya. Tapi bagi Dirga kecil, semua itu hanya meninggalkan jejak yang lain—jejak kebencian pada cinta.
Ia belajar bahwa cinta bisa berubah menjadi racun.
Bahwa rumah bisa menjadi tempat paling menakutkan.
Dan bahwa kebahagiaan bisa hilang tanpa peringatan.
Sejak saat itu, Dirga tak lagi percaya pada komitmen, pada janji, apalagi perasaan.
Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta hanya membawa luka—dan luka itu, tanpa sadar, ia bawa sampai kini.
________
Langkah Dirga terdengar terburu-buru, mendorong troli ke arah yang tak tentu. Suara roda troli berdecit di lantai supermarket yang licin, membuat beberapa orang menoleh heran. Aruna menyusul dengan wajah panik, berusaha menghentikan langkah sahabatnya itu.
"Ga... "Ucap Aruna berusaha menghentikan Dirga yang mendorong troli ke arah yang tak karuan.
Namun Dirga seolah tak mendengar. Langkahnya semakin cepat, napasnya terengah-engah. Hingga akhirnya—
"DIRGA!. " bentak Aruna menahan Troli hingga langkah Dirga terhenti dengan paksa.
Tatapan Dirga tak karuan ia menatap ke semua arah, kerutan kekhawatiran di wajahnya terlihat begitu jelas. wajahnya yang pucat dan tangannya yang gemetar serta nafasnya yang naik turun membuat Aruna reflek memeluknya. Dentuman detak jantung Dirga yang tak beraturan terdengar jelas di telinganya, membuat Aruna semakin memeluknya erat.
"Ngak papa Ga.. nggak papa. " ucapnya menenangkan Dirga tanpa ia tau apa permasalahan sebenarnya.
Aruna hanyan tau jika pria paruh baya yang mereka temui tadi bukan lah seseorang yang meninggalkan kesan baik bagi Dirga.
Dirga melepas pelukan Aruna dan menatapnya, tangannya mengenggam tangan Aruna erat "Dia papa gue Run, papa yang ninggalin gue waktu kecil. " ucapnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Setiap kata yang ia ucapkan seolah terasa seperti duri yang menusuk dada.
"Orang yang membuat gue tumbuh jadi pria yang tidak mempercayai pernikahan, komitmen dan cinta. "ucap Dirga tangannya masih gemetar menyebutkan hal itu.
Aruna terdiam. Ia menatap Dirga tanpa suara, membiarkan tiap kata itu mengalir padanya. Selama ini, Dirga hanya bercerita sedikit tentang hidupnya. Ia tahu kalau Dirga tumbuh di keluarga broken home, tapi tidak pernah tahu sekelam apa masa kecilnya.
“Kenapa di saat gue menganggap dia udah mati, tiba-tiba dia muncul lagi, Run…” Dirga menunduk, suaranya bergetar. “Bersama keluarga dan anak yang usianya sama kayak gue waktu dia ninggalin gue.”
"Rasanya begitu sakit saat orang yang membuat kita menderita justru malah bahagia dengan keluarga barunya. " Dirga memegang dadanya, " Dada gue sesak Run, bayangan masa lalu seolah terputar kembali tanpa gue inginkan. "
Ia menghela napas berat, menatap kosong ke depan. “Gue nggak pantes jadi dokter, Run. Gue ngasih nasihat ke pasien, tapi diri gue sendiri juga masih pasien. Gue rusak, Run.”
Aruna menatap tangan Dirga yang masih menggenggam tangannya. Perlahan, ia membuka telapak tangan itu, lalu meletakkan telunjuknya di tengah-tengah. Ia menggambar sesuatu di sana—lingkaran kecil yang diulang-ulang, dengan gerakan lembut dan ritme yang menenangkan.
“Perlahan,” ucap Aruna lirih. “Pelan-pelan aja. Karena nggak ada yang benar-benar sembuh, Ga. Semua orang punya lukanya masing-masing ada yang dikubur, ada yang diabaikan. Tapi itu nggak bikin lo kurang dari siapa pun.”
"Lo dokter yang hebat, nggak sepantasnya lo meragukan kemampuan lo sendiri ga. "ucap Aruna kali ini Aruna menatalnya dengan yakin selama beberapa detik kemudian kembali mengusap telapak tangan Dirga dengan jarinya.
Dirga menepis air matanya, memperhatikan lingkaran yang di buat Aruna di telapak tangannya, Seolah lingkaran berulang yang di buat Aruna menghentikan ingatan menyakitkan di kepalanya .Rasanya begitu tenang ,damai dan rasa sesak di dadanya perlahan memudar di gantikan dengan rasa nyaman berkat perlakuan kecil dari Aruna yang tidak pernah terlintas di benaknya.
Bibir dirga terangkat, senyum kecil terbentuk di wajahnya dengan tatapan mata yang masih tertuju pada jari telunjuk Aruna. "Ini sebenarnya yang dokter gue atau lo, kenapa lo lebih handal di banding gue. Ada aja cara absurd lo yang bikin orang tenang . " ucap Dirga yang menbuat Aruan seketika langsung melepaskan tangan Dirga.
Aruna langsung menatap Dirga dengan tatapan tajam,tangannya langsung mendorong dada bidang bilang pria itu. "lo nggak ngerti momen banget sih Ga, bisa banget buat mood gue ancur seketika. Udah deh buruan ke kasir lama amat drama melow lo. " ucap Aruna berjalan lebih dulu meninggalkan Dirga dan trolinya.
Tapi Dirga hanya tersenyum melihat punggung Aruna yang menjauh. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya entah apa, tapi untuk pertama kalinya, luka lama itu terasa sedikit lebih ringan.
Ia mendorong troli pelan, mengejar Aruna yang sudah jauh di depannya dengan garis senyum yang masih terukir di wajahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dirga memasukkan kantong-kantong belanjaan ke dalam bagasi mobil. Dua kantung besar berisi bahan makanan dan deretan camilan kesukaan Aruna tersusun rapi di sana, memenuhi hampir seluruh ruang bagasi.
“Lo yakin nih, Run, segini aja? Nggak mau nambah gitu? Gue lagi baik, loh,” ucap Dirga sambil menoleh, nada suaranya ringan, seolah ingin memperpanjang waktu bersama Aruna sedikit lebih lama.
“Udah deh, capek gue,” sahut Aruna yang sudah duduk di kursi depan, merosot santai dengan rambut sedikit berantakan. “Apalagi tadi gue udah jadi dokter psikolog dadakan di atas.”
Dirga terkekeh mendengar jawaban itu. Tawa kecilnya terdengar tulus, menghapus sedikit sisa berat dari pertemuan barusan. Namun alih-alih berjalan ke kursi pengemudi, Dirga justru melangkah ke arah Aruna. Ia membuka pintu di sisi tempat Aruna duduk, membuat gadis itu menatap heran.
Belum sempat Aruna bertanya, Dirga mengangkat sesuatu dari balik punggungnya.
“Kalau ini, nggak mungkin lo tolak, kan?” ujarnya sambil menampakkan dua es krim cone dengan senyum penuh kemenangan.
Aruna sontak tersenyum lebar, matanya berbinar. “Oh iya! Gue lupa beli ini. Lo tau aja kalau ada yang ketinggalan.” Ia segera meraih dua es krim rasa stroberi itu dari tangan Dirga, wajahnya terlihat bahagia seperti anak kecil yang baru dapat hadiah kecil tapi berharga.
Dirga mengusap pucuk kepala Aruna, mengacak rambutnya lembut. “Anggep aja bayaran jadi dokter psikolog dadakan tadi,” katanya sambil tersenyum menggoda.
Aruna memutar matanya malas, tapi pipinya yang bersemu merah justru menambah lucu ekspresinya. “Dasar tukang ganggu,” gumamnya lirih, tapi sudut bibirnya menahan senyum.
Dirga tertawa kecil lalu segera berlari ke kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil. Musik lembut mengalun pelan dari radio, dan di sela-sela kesunyian itu, hanya suara tertawa mereka yang terdengar, ringan tapi hangat.
Namun, di depan pintu kaca supermarket, seseorang berdiri terpaku. Iren.
Tatapannya tajam, mengikuti setiap gerak tubuh Dirga—cara pria itu memperhatikan Aruna, senyum kecil yang selalu muncul hanya untuk gadis itu, dan bagaimana keduanya terlihat begitu alami, begitu dekat.
Tangan Iren mengepal di sisi tubuhnya, jemarinya menegang seolah menahan sesuatu yang sulit didefinisikan—marah, cemburu, atau mungkin ketakutan kehilangan.
“Kenapa gue nggak yakin kalau mereka berdua cuma sebatas sahabat…” gumamnya lirih, tapi nada suaranya sarat dengan getir.
Ia segera melangkah menuju mobilnya, matanya tak lepas dari bayangan mobil Dirga yang perlahan menjauh dari parkiran supermarket.
.
.
.
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca bab ini hingga akhir semuanya. jangan lupa tinggalkan jejak yaa, like👍🏿 komen😍 and subscribe ❤kalian sangat aku nantikan 🥰❤
baru bab awal udah disambut ijab kabul aja 😁 selamat ya atas pernikahannya Aruna dan Dirga