NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31

Pagi itu matahari baru merangkak naik, sinarnya menembus sela-sela pohon besar di halaman rumah panggung Pak Merta. Embun masih menggantung di daun-daun pisang dan rerumputan. Di tanah lapang depan rumah, Pak Merta sudah menancapkan tongkat kayunya, sementara dedaunan kering berserakan membentuk lingkaran.

“Dengarkan baik-baik, Lira,” suara Pak Merta berat namun tenang. “Cahaya dalam dirimu bisa kau arahkan. Ia merespon perasaanmu, juga gerakan tubuhmu. Hari ini, kita akan melatihmu membuatnya menari.”

Lira berdiri di tengah lingkaran, kebaya putih dan kain batiknya melambai ringan tertiup angin. Wajahnya masih pucat, namun sorot matanya penuh tekad. Yash berdiri agak jauh, bersandar pada pedangnya, pandangan tak lepas dari setiap gerakan Lira.

“Tarik napasmu… rasakan dada tempat cahaya itu bersemayam,” lanjut Pak Merta.

Lira menutup mata, kedua tangannya perlahan terangkat ke depan dada. Dalam hening, samar-samar cahaya lembut berpendar dari tubuhnya, mula-mula kecil, lalu makin terang. Udara di sekelilingnya ikut bergetar.

“Sekarang… gerakkan tanganmu. Arahkan niatmu.”

Lira mengangkat satu tangan perlahan, telapak terbuka ke atas. Seketika, dedaunan kering di sekeliling lingkaran bergetar. Dengan gerakan seperti menari, ia mengayunkan lengannya ke samping—dan dedaunan itu terangkat, berputar mengikuti alur tangannya.

Angin kecil tercipta, membuat helaian rambut Lira yang terlepas dari sanggulnya berkibar. Cahaya dari dadanya semakin kuat, membungkus tubuhnya seakan menjadi jubah tipis yang berkilau.

Namun ketika konsentrasinya buyar oleh rasa sakit yang mendadak menusuk dadanya, cahaya itu melejit liar. Dedaunan yang tadi berputar anggun kini beterbangan tak terkendali, menghantam tongkat Pak Merta dan hampir melukai Yash.

“Lira, kendalikan hatimu!” seru Pak Merta tegas.

Lira terhuyung, tubuhnya hampir tumbang. Seketika Yash sudah ada di belakangnya, memegangi lengannya. “Tenang… aku ada di sini,” bisiknya di telinga Lira.

Dengan napas terengah, Lira kembali memejamkan mata. Ia mengingat kata-kata Pak Merta, juga genggaman Yash yang kokoh. Perlahan, ia mengatur gerakan tangannya lagi—lembut, penuh kesadaran. Cahaya di dadanya meredup ke arah yang lebih stabil. Dedaunan yang berterbangan tadi kini jatuh pelan, mendarat seperti embun yang menitis ke tanah.

Pak Merta mengangguk puas. “Bagus… kau mulai belajar. Ingat, cahaya itu bukan sekadar kekuatan. Ia adalah jiwamu sendiri. Semakin kau tenang, semakin ia menuruti kehendakmu.”

Lira membuka mata, keringat membasahi pelipisnya, tubuhnya goyah. Yash segera menahan pinggangnya agar tidak jatuh. Lira menunduk, terengah, tapi di balik lelah itu, ada senyum samar di bibirnya—senyum pertama sejak hari-hari kelam itu.

...

Hari ketiga latihan, langit Pulau Lemtang mendung. Awan kelabu bergelayut, seakan turut menekan suasana hati. Pak Merta berdiri di tengah halaman, wajahnya serius, tongkat kayu di tangan seolah menjadi tanda bahwa latihan kali ini tak akan ringan.

“Lira,” ucapnya lantang. “Hari ini kau tidak hanya mengendalikan cahaya untuk benda mati. Kau harus membentuk cahaya itu menjadi perisai. Suatu saat nanti, itu akan menyelamatkanmu dari serangan makhluk kegelapan.”

Lira menelan ludah, jantungnya berdegup keras. Tubuhnya masih lelah dari latihan sebelumnya, namun tekad dalam matanya tak padam. Yash berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terlipat di dada, tapi wajahnya penuh kekhawatiran.

“Bersiaplah,” ujar Pak Merta. Ia mengayunkan tongkatnya ke tanah, menancapkannya keras-keras hingga sebuah riak energi hitam muncul dari bawah, mengalir dan meluncur ke arah Lira.

“Sekarang, bentuk perisai dari cahayamu!”

Lira mengangkat kedua tangannya. Cahaya dari dadanya menyemburat deras, menyilaukan, lalu berputar mengikuti gerakan tangannya. Dengan teriakan kecil, ia mendorong cahaya itu ke depan, membentuk sebuah lapisan tipis berbentuk setengah lingkaran. Energi hitam yang datang menabrak cahaya itu dan terpantul ke samping, membuat tanah bergetar.

Namun serangan berikutnya datang lebih cepat. Pak Merta tidak memberi jeda. “Kendalikan, jangan biarkan retak!”

Lira menggigit bibir, tangannya gemetar. Cahaya dalam tubuhnya makin terang, terlalu terang hingga terasa membakar kulitnya sendiri. Matanya perih, dadanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.

“Lira!” Yash berseru, setengah melangkah maju.

“Aku bisa…” Lira mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong cahaya itu lebih kuat. Perisai bercahaya melebar, menahan gelombang energi yang semakin keras. Namun tubuh Lira mulai tak sanggup. Wajahnya memucat, napasnya memburu.

Tiba-tiba—darah segar menetes dari hidungnya. Cahaya perisai itu bergetar, lalu pecah berhamburan seperti kaca.

“LIRA!” Yash melesat, menangkap tubuhnya yang limbung sebelum jatuh menghantam tanah. Ia langsung menekap hidung Lira dengan kain dari sakunya, panik. “Kau sudah memaksakan diri! Pak Merta, hentikan ini sekarang!”

Pak Merta mengetuk tanah dengan tongkatnya, riak energi hitam langsung lenyap. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya penuh kebimbangan. “Dia harus melewati ini, Yash. Jika tidak, cahaya itu akan menelannya hidup-hidup.”

Yash mengangkat wajahnya, matanya merah penuh emosi. “Kalau sampai dia mati di depan mataku, tak akan ada artinya semua ini!”

Di pelukannya, Lira membuka mata sedikit, suaranya nyaris hanya bisikan. “Yash… aku… bisa menahannya lebih lama tadi.”

“Diam,” Yash menahan tubuhnya lebih erat, nadanya nyaris pecah. “Jangan bicarakan itu lagi. Nyawamu lebih penting daripada kekuatan ini.”

Lira menatap wajah Yash yang begitu dekat, dipenuhi kecemasan yang tulus. Senyum tipis muncul di bibirnya meski lemah. “Aku baik-baik saja…” bisiknya, lalu pingsan.

Yash menatap Lira yang tak sadarkan diri, hatinya bergejolak. Untuk pertama kalinya, obsesi dalam dirinya luluh menjadi ketakutan sederhana: ketakutan kehilangan orang yang ia cintai.

...

Yash merapikan selimut di tubuh Lira dengan hati-hati, memastikan keringat di keningnya sudah diseka. Nafas Lira masih berat, wajahnya pucat namun tenang dalam tidurnya. Yash menatapnya sejenak, matanya meredup, seolah takut kalau gadis itu lenyap saat ia berpaling.

Dari celah pintu, Pak Merta muncul. Ia tidak masuk, hanya berdiri sambil mengetuk pelan. “Yash, bisa kita bicara sebentar?”

Yash mendongak, menahan napas sejenak, lalu mengangguk. Ia menatap Lira sekali lagi sebelum beranjak keluar.

Udara malam menyergap begitu ia melangkah ke teras. Rumah panggung kayu itu berdiri tenang, diapit pohon-pohon hutan yang berdesir lirih. Di atas sana, langit dipenuhi bintang, berkelip seolah ikut mendengarkan. Yash dan Pak Merta duduk di bangku panjang, kayunya dingin menempel di kulit.

“Yash,” suara Pak Merta tenang namun dalam, “apa kau sungguh yakin bisa melepas gadis itu?”

Yash menunduk, jemarinya mengepal erat di pangkuan. Helaan napasnya berat. “Aku… tak pernah yakin, Pak. Tapi ini semua adalah takdir. Dan aku tak punya kuasa untuk mengubahnya.”

Pak Merta memandangnya lama, matanya menyorotkan kebijaksanaan sekaligus kegelisahan. “Takdir memang tak bisa kita pilih. Tapi kita bisa berusaha. Kadang, jika usaha kita cukup keras, bahkan takdir pun bisa digoyahkan.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya pelan, “Kau sudah memikirkan soal… menjadi manusia?”

Pertanyaan itu menusuk Yash. Rahangnya mengeras, pandangannya terpaku ke tanah. “Aku…” suaranya serak, “aku masih ragu. Jika aku berubah sekarang, aku akan kehilangan kekuatan. Bagaimana aku bisa melindungi Lira dari Lysander? Aku… aku juga tak sanggup berpisah darinya.”

Pak Merta menghela napas panjang, matanya menatap bintang. “Itulah dilema yang harus kau hadapi, Nak. Kau harus memilih: kekuatanmu… atau kebersamaan dengan dia yang kau cintai.”

Yash menggertakkan giginya, dadanya sesak. Malam terasa semakin dingin, seolah bintang-bintang di atas ikut menekan hatinya.

Pak Merta menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku, matanya menerawang jauh ke langit berbintang. Suaranya merendah, namun sarat makna, seolah ia tengah membuka pintu masa lalu.

“Yash… jauh sebelum kau lahir, ada seorang lelepah yang muak dengan keabadiannya. Ia lelah hidup dalam kegelapan dan haus darah. Katanya, setiap kali ia melihat manusia, ada rasa iri yang menggerogoti—karena manusia bisa merasakan hangatnya cinta, bisa merasakan sakit, lalu mati dengan tenang. Sesuatu yang tak pernah bisa dirasakan makhluk sepertimu.”

Yash menoleh perlahan, pandangannya penuh rasa ingin tahu.

Pak Merta melanjutkan, suaranya bergetar seakan menghidupkan kembali kisah itu.

“Lepah itu mencari jalan, menempuh ritual yang begitu panjang dan penuh penderitaan. Ia meninggalkan kekuatannya satu per satu—sayap, taring, hingga cahaya kegelapan dalam dirinya. Prosesnya memakan waktu puluhan tahun. Setiap kali ritual selesai, tubuhnya melemah, tapi jiwanya perlahan jadi lebih ‘manusiawi’. Hingga akhirnya, ia benar-benar menjadi manusia. Ia bisa merasakan lapar, bisa mencintai, bisa menangis.”

Pak Merta berhenti sejenak, menatap Yash lurus.

“Tapi jalan itu bukan tanpa harga. Ia kehilangan semua kekuatan. Ia tak bisa lagi melindungi siapa pun dengan pedang atau sihir. Ia hanya bisa hidup sebagai manusia biasa—lemah, fana, dan penuh keterbatasan. Namun, justru di sanalah ia menemukan kebahagiaan yang tak pernah ia mengerti sebelumnya.”

Yash terdiam, rahangnya mengeras. Jemarinya tanpa sadar mencengkeram lututnya sendiri. “Lalu… bagaimana akhir hidupnya?”

“Seperti manusia pada umumnya,” jawab Pak Merta tenang. “Ia mencintai seorang perempuan, hidup sederhana, punya anak. Ia mati tua… dan tersenyum saat napas terakhirnya. Kau tahu kenapa? Karena akhirnya ia merasa hidupnya utuh.”

Malam itu, suara serangga di hutan terasa semakin jelas. Yash menunduk, dadanya bergetar. Ada pergulatan yang lebih keras dari pedang mana pun—antara takdir sebagai lelepah, atau kesempatan rapuh untuk merasakan cinta sebagai manusia.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!