NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Saya Harus Bagaimana, Hayaning?

...•••...

"Aku sudah siap, Ben," ujar Hayaning sambil berjalan mendekatinya.

"Oh My God!" gumam Ben dalam hati. Matanya terpaku pada penampilan Hayaning yang berbeda dari biasanya. Perempuan itu mengenakan sports bra berwarna hitam yang dipadukan dengan legging senada. Wajahnya polos tanpa polesan makeup, namun tetap terlihat segar dan menawan, dengan rambut yang dikepang kelabang rapi ke belakang, memperlihatkan leher jenjangnya.

Ben berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi sulit. Biasanya ia melihat Hayaning berlatih dengan kaos yang lebih longgar, namun kali ini ia memperlihatkan lekuk tubuhnya.

"Ben..." tegur Hayaning dengan ekspresi dingin, seolah menyadari tatapan pria itu yang sedikit lebih lama dari seharusnya.

Ben tersentak, buru-buru berdeham dan menegakkan tubuhnya. "Ah, ya, Nona. Maaf," ucapnya cepat.

"Mari kita mulai pemanasan."

Hayaning hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, lalu mulai mengikuti arahan Ben untuk pemanasan.

Hari itu, Hayaning benar-benar berlatih dengan fokus. Biasanya, ia yang sering meminta jeda di tengah sesi, entah karena lelah atau sekadar ingin berbicara, namun kali ini berbeda. Ia mengikuti setiap gerakan dengan serius, tanpa keluhan, tanpa distraksi.

Ben memperhatikannya dari sela-sela latihan, benar-benar dibuat heran dengan perubahan sikap Hayaning. Tak ada celotehan atau protes kecil yang biasanya keluar dari mulutnya. Dia benar-benar redam.

Ah sialan. Ben frustasi setiap hari dibeginikan Hayaning.

Di tengah sesi yang masih berlangsung, tiba-tiba ponsel Hayaning berdering nyaring, memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti ruangan. Haya menghentikan gerakannya, menghela napas sejenak sebelum berjalan menuju ponselnya yang tergeletak di atas bangku.

Ben diam di tempatnya, memperhatikan dari kejauhan. Raut wajah Hayaning tetiba gelisah.

"Apa? Iya, baik Sus, saya akan datang cepat," suaranya terdengar panik dan terburu-buru.

Tanpa membuang waktu, Hayaning segera berbalik, hendak pergi dari ruang latihan. Namun, Ben dengan sigap mengejarnya dan menarik pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya.

"Nona, ada apa? Kenapa begitu panik?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya menatap tajam, mencoba mencari jawaban di wajah Hayaning yang kini tampak semakin tegang.

"Lepaskan, Ben. Aku harus pergi," ujar Hayaning dengan nada yang meninggi, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Ben terlalu kuat.

"Tidak sebelum kamu memberitahu," desaknya, tidak berniat membiarkan Hayaning pergi begitu saja dalam keadaan seperti ini.

"Bukan urusanmu!" Hayaning berusaha melepaskan diri sekuat tenaga, Ben yang melihat tanda-tanda bahwa Haya bersikeras tak akan memberitahu akhirnya mengambil sikap memeluknya, namun Hayaning menolak.

"Baiklah Nona, tenang dulu. Saya antarkan Nona sekarang." Rontaan Hayaning mereda, Ben melepaskannya lalu mengambil jacket miliknya dan memakaikan nya ke pundak Hayaning yang masih terengah-engah.

"Pakai ini dulu, Nona. Kita pergi sekarang," ujar Ben dengan nada suara lebih lembut.

Hayaning menatapnya sejenak, seperti ingin protes, tetapi akhirnya ia menerima jacket itu dan mengenakannya tanpa banyak bicara. Ia tahu tak ada gunanya berdebat dengan Ben saat ini.

Ben segera mengambil kunci mobil dan berjalan cepat menuju pintu keluar, diikuti oleh Hayaning yang kini lebih tenang meski masih menyimpan kegelisahan di wajahnya.

Sepanjang perjalanan, Ben melirik ke arahnya beberapa kali, berharap perempuan itu akan angkat bicara, tetapi Hayaning tetap diam, hanya menatap lurus ke depan dengan rahangnya yang mengatup rapat.

"Nona, kalau ada yang bisa saya bantu..." Ben mencoba membuka percakapan.

"Jangan tanya apa-apa, Ben," potong Hayaning dingin, matanya masih fokus pada jalanan di depan.

Ben menghela napas berat. "Baik, Nona."

Mereka sampai di rumah sakit, tetapi Ben masih bertanya-tanya. Siapa yang sedang dirawat di tempat ini? Dan mengapa Hayaning terlihat begitu cemas?

Hayaning melangkah cepat menuju lobi rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ben mengikutinya dari belakang, menjaga jarak.

Setibanya di depan ruang perawatan VIP, seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam perawat langsung menghampiri. "Nona Hayaning, syukurlah Nona datang," ucapnya dengan nada lega.

"Apa yang terjadi, Sus? Kenapa bisa sampai kecolongan?!" tanya Hayaning dengan nafas yang memburu.

"Maaf Nona, kami tidak sangka Ibu Luna menyimpan potongan kaca, sehingga beliau nekat melukai tangannya sendiri."

Ben memperhatikan ekspresi wajah Hayaning yang berubah seketika. Ada ketegangan di sana, juga sesuatu yang sulit diartikan. Tanpa menjawab, Hayaning segera masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Ben yang masih berdiri di luar, semakin dipenuhi rasa penasaran.

Siapa wanita itu? Mengapa Hayaning terlihat begitu emosional ketika diberitahu bahwa wanita yang dimaksud melakukan tindak percobaan bunuh diri? Ben mengeratkan rahangnya. Ia tahu dirinya seharusnya tidak terlalu terlibat, tetapi nalurinya berkata lain.

Ben berdiri di depan pintu, memperhatikan Hayaning yang kini berada di sisi ranjang pasien. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat bagaimana tangan Hayaning menggenggam erat tangan wanita yang disebut sebagai Ibu Luna itu.

"Apa yang Ibu pikirkan? Kenapa berkali-kali harus melakukan ini Bu...?" suara Hayaning lirih, terdengar seperti seseorang yang tengah menahan emosi pun putus asa.

Wanita di atas ranjang itu tampak lemah, wajahnya pucat dengan perban melilit pergelangan tangannya. Matanya tampak kosong, tetapi bibirnya melengkungkan senyum samar. "Bodoh! Ibu... Ibu hanya lelah, Haya," bisiknya.

Ben mengernyit. Hayaning bukan orang yang mudah terbawa emosi, tetapi kali ini ia bisa melihat jelas kepedihan yang terlukis di wajah wanita paruh baya itu. Siapa wanita itu sebenarnya dalam hidup Haya? Yang ia tahu, ibu kandung Hayaning sudah lama wafat.

Tak lama kemudian, suara tangis tertahan terdengar dari dalam ruangan, membuat Ben semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, menahan keinginan untuk masuk dan menarik Hayaning keluar dari situasi yang jelas-jelas begitu menguras emosinya. Namun, ia tahu batasannya.

Ben menyandarkan punggungnya ke dinding koridor, menatap langit-langit rumah sakit dengan perasaan tak menentu.

"Oh perasaan resah macam apa ini?" Gumamnya kesal sekali.

•••

"Nona ingin langsung pulang?" Tanya Ben selembut mungkin.

Hayaning menggeleng tanpa bersuara, ia diam saja disampingnya dengan tatapan mata yang kosong.

"Kalau begitu, izinkan saya bawa Nona ketempat yang lebih tenang."

Pun begitu, Hayaning tak merespons ucapan Ben.

Ben tak suka melihat sorot mata kosong Hayaning. Sungguhan, Ben sangat membenci macam ratap putus asa seperti itu. Sebab mengingatkannya pada seseorang yang dicintainya, yang egois pergi dengan tatapan seperti itu. Sang mendiang ibunda tercinta.

Menempuh perjalan selama satu jam, akhirnya mereka sampai disebuah pekarangan rumah bergaya klasik dua lantai yang tak terlalu besar. Namun memiliki luas halaman yang sangat besar dan ditumbuhi banyak sekali tanaman hias.

"Rumah siapa ini, Ben?" Akhirnya Hayaning membuka suara. Nada suaranya terdengar lelah, tetapi Ben lega mendengarnya.

"Rumah saya, Nona," jawab Ben terus terang. Ia memang bukan tipe yang suka menutup-nutupi sesuatu, terutama jika menurutnya hal itu tidak penting untuk disembunyikan.

Dengan gerakan hati-hati, Ben membuka pintu di sisi Hayaning, seolah takut mengganggu lamunannya.

Hayaning meliriknya sekilas sebelum turun dari mobil. Ia mengikuti Ben dan begitu sampai di teras rumah, ia mendongak, memperhatikan bangunan dua lantai itu lebih seksama. Rumah dengan gaya klasik yang hangat, jauh dari kesan mewah, tetapi terasa nyaman dan tenang.

"Ayo masuk, Nona," ucap Ben pelan sambil membukakan pintu rumahnya.

Begitu melangkah masuk, Hayaning seketika terkesiap. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, dan ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu jauh lebih indah daripada dugaannya, dengan nuansa budaya Indonesia yang sangat kental.

"Ben... itu foto keluargamu?" tanya Hayaning heran, langkahnya terhenti di depan sebuah rak yang dipenuhi foto-foto.

Di sana, terpampang jelas wajah Ben bersama keluarganya yang terlihat sangat pribumi. Salah satu foto memperlihatkan Ben dalam balutan pakaian adat Jawa, berdiri di samping seorang pria yang wajahnya tak asing bagi Hayaning. Tidak, hanya Ben dan pria itu yang memiliki wajah berbeda, mereka berdua bule diantara pribumi.

"Ben... kamu kok dengan Pak Sean Soedjono?"

"Dia kakak saya," potong Ben segera.

"APA?" Hayaning membelalakkan mata, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Jangan terkejut begitu, Nona. Mari kita pergi ke halaman belakang."

Tanpa menunggu persetujuan, Ben dengan lembut menggandeng tangan Hayaning

Haya masih terdiam, pikirannya berkecamuk mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya.

Saat mereka tiba di halaman belakang, Hayaning nyaris kehilangan kata-kata. Sebuah taman luas terbentang di depannya, dihiasi dengan berbagai jenis berbagai macam bunga yang tertanam indah dan serumpun di tiap bagian tempatnya.

Ben melepaskan genggamannya, memberi ruang bagi Hayaning untuk menyerap suasana sekitar. "Di sini lebih tenang, bukan?" tanyanya, menyandarkan diri pada pagar kayu.

Hayaning mengangguk pelan, matanya masih menjelajah setiap sudut taman. "Ben, ini indah sekali." Gumamnya, suaranya lebih lembut dibanding sebelumnya.

Ben tersenyum kecil. "Indah Nona, seperti Nona Hayaning." Ucapan itu lolos begitu saja dari mulutnya.

Sontak Hayaning menoleh dan menatap lekat netra matanya yang cokelat nan bening itu, sama seperti rambutnya. "Benji, jadi namamu yang sebenarnya, Raden Benjamin Zachary Soedjono?" Tanyanya untuk memastikan.

Ben tersenyum tipis, "Yes Little Rose, saya putra sekaligus cucu kedua keluarga Soedjono."

Hayaning menganga namun tak lama itu kembali merapatkan mulutnya ketika Ben memanggilnya dengan sebutan 'little rose'. Tidak, Hayaning tidak tersipu dipanggil begitu.

"Lalu untuk apa yang mulia Tuan Soedjono bekerja sebagai seorang bodyguard pribadi putri dari seorang Jaksa Agung? kalau Tuan Ben sebenarnya adalah anak konglomerat?" Ucapnya dingin. Pandangannya lurus kedepan menatap kehamparan taman bunga.

"Memang apa salahnya?" Ben melangkah kedepan sana, memetik satu tangkai mawar merah, lalu kembali dan memberikannya pada Hayaning. "Saya tidak suka diatur dan terikat dengan sesuatu hal yang tidak saya sukai." Katanya melanjutkan.

Hayaning menerima mawar itu dengan tatapan datar, jemarinya mengusap kelopak bunga yang merah merona. "Terikat, ya?" gumamnya, suaranya terdengar samar di antara hembusan angin sore. "Dan bekerja sebagai bodyguard bukan sebuah keterikatan menurutmu? Kamu kan diatur, dan menjagaku berarti mengikatmu dalam peraturan juga kan?"

Ben tersenyum kecil, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. "Tergantung bagaimana Nona melihatnya," jawabnya santai. "Menjadi bodyguard bukan berarti saya kehilangan kebebasan. Justru, saya bisa melihat dunia dari sudut yang berbeda, bukan hanya dari balik meja rapat atau lingkaran elite keluarga."

Hayaning meliriknya sekilas. "Kamu terdengar seperti seseorang yang ingin melarikan diri."

Ben terkekeh pelan, lalu menunduk sedikit, menatap wajah Hayaning dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Mungkin Nona benar," ujarnya akhirnya. "Atau mungkin, saya hanya ingin melakukan sesuatu dengan tangan saya sendiri, tanpa embel-embel nama keluarga."

Hayaning terdiam. Perlahan, dia mengangkat bunga mawar di tangannya dan menatapnya lekat-lekat. "Aku pikir orang sepertimu tak punya alasan untuk merasa terkekang," ujarnya lirih. "Hidupmu pasti sudah nyaman sejak lahir."

Ben tersenyum tipis, ada sesuatu dalam sorot matanya yang redup. "Lahir sebagai sendok emas, tapi saya menolak hidup seperti itu. Nona, nyaman tidak selalu berarti bebas."

Sejenak, tak ada yang berbicara di antara mereka. Hanya suara angin yang berdesir lembut di sela pepohonan dan gemerisik daun yang jatuh ke tanah.

Hayaning akhirnya mendesah pelan, menatap Ben dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Lalu, apa yang membuatmu memutuskan untuk bekerja denganku?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih pelan.

Ben mengangkat bahu. "Mungkin karena Nona cantik—"

"Ben... Ngga usah aneh-aneh," sanggah Haya cepat. "Aku tidak mau kamu mengira lagi, kalau aku melibatkan perasaan." Haya memperingati, ia kembali menyindir soal malam lalu.

Ben mengangguk paham, sepertinya benar. Diam nya Hayaning selama empat hari ini sebab ia merasa tersinggung dengan ucapan Ben tempo hari.

"Karena atas perintah Mas Sean, kakak saya. Kami memiliki perusahaan dibidang jasa keamanan," jelas Ben, nadanya kini lebih serius. "Dan kamu tahu sendiri, keluargamu cukup berpengaruh di negeri ini, bukan? Dan membutuhkan pengamanan khusus adalah hal yang wajar."

Hayaning menatapnya lekat, bibirnya sedikit menekan, seolah menimbang-nimbang kata-kata Ben. "Jadi seperti itu. Well... aku dilindungi oleh putra kedua Soedjono, begitu? Dan itu sebabnya kamu begitu berani, juga sangat tenang setelah membuat calon suamiku—"

Ucapannya terpotong. "Calon tunangan Nona, bahkan jenakanya kalian belum bertunangan." Koreksi Ben yang tak suka mendengar Haya berbicara begitu.

"Kamu membuatnya masuk kedalam rumah sakit." Lanjut Hayaning.

"Ya." Ben kembali menegaskan dengan percaya diri.

Haya menghela nafas berat, perasaannya berkecamuk. "Ben... Kamu membuatku dalam masalah besar." Ia menutup wajahnya dan seketika itu suara getaran berbicara nya terdengar mengalun resah di telinga Ben.

"Jangan menangis Nona, itu bukan salahmu." Ben memegang kedua tangan Haya yang menutup wajahnya sendiri, ia menurunkan dua telapak tangan Haya dari wajahnya, lalu diusapnya perlahan air mata itu. Kemudian Ben membawanya untuk duduk di gazebo.

Hayaning duduk dengan tubuh yang terasa lemas, menatap lurus ke depan dengan mata yang masih berkabut air mata.

Ben tetap di sisinya, tak berkata apa-apa untuk beberapa saat, memberi ruang bagi Hayaning untuk menenangkan dirinya.

Ia mengeluarkan alat komunikasi dari saku celana yang sebelumnya sempat ia ambil dari laci nakas. "Monitor Mbak, tolong bawakan dua cangkir Teh melati hangat, air putih dan camilan manis ke taman belakang ya Mbak, terimakasih." Ucap Ben pada asisten rumah tangganya.

"Baik Pak Ben."

Sementara itu Hayaning masih terisak. "Aku benar-benar dalam masalah besar, Ben," ucapnya akhirnya, suaranya bergetar. "Kalau Papa tau, dia pasti sangat marah... dan calon tunanganku—"

"Dia pantas menerimanya," potong Ben tenang, tetapi matanya memancarkan ketegasan yang sulit dibantah. "Kamu tahu dia tidak memperlakukanmu dengan baik."

Hayaning mendongak, menatap Ben dengan mata yang menyiratkan kepedihan. "Tapi, itu bukan urusanmu, Ben. Aku yang harus menjalani semuanya... bukan kamu harus ikut campur."

Ben medengus dingin. "Saya bilang itu tugas saya Nona, karena saya dipekerjakan dan bekerja untuk melindungi Nona."

"Kamu tidak mengerti Ben—"

"Dibagian mana yang tidak saya mengerti? kalau begitu apa Nona mau memberitahu saya?" Ben terpancing, dan ia semakin tidak sabaran dalam bertutur kata.

"Itu bukan ranah kamu."

"Kalau begitu saya harus bagaimana untuk melindungi Nona? Sedangkan saya bekerja untuk melindungi kamu Hayaning!" Suaranya meninggi ketika sampai di kalimat akhir, sembari memanggil Haya dengan namanya.

"Sayapun tidak mengerti mengapa saya bisa sepeduli itu dengan orang yang saya jaga, mungkin karena kamu adalah perempuan dan saya tidak suka melihat seorang perempuan dijahati oleh laki-laki." Ben mendesah berat. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi.

"So, kalau begitu kita bicara sesama teman, lagipula kamu sudah tahu siapa saya. Bagaimana?"

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!