Beauty In The Struggle

Tubuh Jia masih lemah, namun pikirannya dipenuhi tanda tanya yang belum sempat di ungkapkan. Setelah Kay pergi dan Liel pulang dengan emosi yang tidak jelas, kini hanya ada satu orang yang bisa memberinya penjelasan, yaitu Nata.

Senyuman tipisnya Nata muncul, membentuk di ujung sudut bibirnya. “Waktu itu … saat aku ada di rumahmu, itu adalah pertama kalinya Liel menelponku kembali. Dia hanya menanyakan apakah dirinya terlihat kesal saat di Kantin sekolah.”

“Lalu?” lanjut Jia seraya berharap Nata menceritakannya kembali.

“Aku katakan padanya, bahwa dirinya sedang cemburu, kemudian dia segera menutup telponnya.”

“Hei, mengapa kamu berbicara seperti itu? Bukankah itu terlalu terang–terangan?” sahut Jia seraya tersenyum miring.

Tidak lama setelah pembicaraan tersebut dimulai, wajah Nata sedikit berubah. Dia menarik kursi dan duduk di sisi ranjang, di mana Jia terbaring. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya dia menjawab, dengan nada datar tapi penuh makna.

“Jia … jangan terkejut.”

“Mengapa kamu yakin sekali aku akan terkejut.” Balas Jia dengan santai.

“Sebenarnya … Liel adalah tetanggaku …”

Mata Jia melebar. “APA, TETAPI BAGAI–???”

Nata memegang bahu Jia. “Hei, tenang dulu.”

“I-iya, akan tetapi …”

“Benar, rumahku berdampingan dengan rumahnya yang megah. Sejak umur 8 tahun, kami sudah saling kenal satu sama lain. Ibunya Liel adalah seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan ayahnya … bekerja di sebuah perusahaan bidang perdagangan.”

“Tunggu … berarti … kamu juga mengenal Kay sejak lama??”

“Hah, kay? Maaf, aku tidak tahu, sebab saat itu, aku berbeda sekolah dengan liel dan kay.”

Jia terdiam sejenak. Dia menyadari bahwa Nata terlihat ragu, saat menjawab pertanyaannya. Akan tetapi, Jia memilih untuk tidak menyudutkan Nata, agar bisa mendengar sampai akhir, cerita darinya.

“Ah, begitu ya … tetapi, jika sudah mengenal sejak kecil, bukankah seharusnya kamu dan liel akrab satu sama lain?”

Wajah Nata kembali serius. Nata membantah, hanya karena pernah mengenal Liel sejak kecil, bukan berarti mereka dekat.

Dia juga meyakinkan Jia untuk tidak perlu khawatir, karena dirinya tidak akan pernah merebut Liel dari darinya.

“Aku tahu Nat, kamu tidak akan pernah menyakitiku … kamu adalah teman terbaikku saat ini.”

“Hanya untuk saat ini????” ancam Nata dengan nada bercanda

“Selamanya! Puas?” balas Jia sembari memicingkan matanya.

“Ahahaha … Hei, tunggu dulu, aku baru saja ingat Jia, Liel dulunya bukan pria yang dingin dan ketus. Dia tumbuh dari keluarga yang penuh kasih sayang. Waktu itu … orang tuanya sangat baik padaku.”

Mata Jia terbelalak. “Serius?”

“Ya! Energi positif yang diberikan Liel sangatlah kuat. Entah sejak kapan, dia berubah drastis menjadi anak yang pendiam, tanpa ekspresi dan dingin.”

Jia terdiam. Tangannya mencengkeram selimut, antara terharu, bingung, dan sesak karena kisah-kisah masa lalu itu ternyata saling terhubung. Nata menatapnya, lalu melanjutkan ceritanya.

“Begitulah … terkadang orang yang terlihat dingin, justru punya luka paling dalam.” seru Jia dengan tatapan kosong.

Jia memejamkan matanya sejenak, mencoba mencerna semua. Menggemaskan jika memikirkan Liel pernah menjadi orang yang penuh tawa dan ceria. Namun sekarang, mustahil bisa melihat hal itu darinya lagi.

Nata  bercerita sampai jia terlelap. Dia yang telah mendapat izin dari ibunya untuk menemani Jia, memastikan bahwa Jia segera beristirahat, sebelum dirinya lah yang tertidur.

Sebelum Nata benar-benar terlelap, teleponnya berdering. Ibunya menelpon berulang-ulang kali. Namun Nata enggan mengangkatnya.

“Angkat saja Nat, aku belum tidur.”

Tanpa menjawab perkataan Jia, Nata segera mengangkat telepon dari ibunya. “Iya, ada apa bu?”

“HEI, DI MANA KAMU?? INI SUDAH TENGAH MALAM? MENGAPA KAMU TIDAK KUNJUNG PULANG??”