Alice Alison adalah salah satu anak panti asuhan yang berada di bawah naungan keluarga Anderson.
Lucas Anderson merupakan ahli waris utama keluarga Anderson, namun sayang dia mengalami kecelakaan dan membutuhkan donor darah. Alice yang memiliki golongan darah yang sama dengan Lucas pun akhirnya mendonorkannya.
Sebagai balas budi, kakek Anderson menjodohkan Lucas dengan Alice.
Menikah dengan Lucas merupakan impian semua perempuan, tapi tidak dengan Alice. Gadis itu merasa tersiksa menjalani pernikahannya dengan pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Alice duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat pasi, menatap ke arah luar jendela ruangan yang sunyi. Hembusan angin menerpa wajahnya yang terluka, menyadarkannya bahwa dia sendirian di rumah sakit tanpa ada suami dan ibu panti yang menemaninya.
Matanya sembab, Alice menangis dalam diam meratapi nasib hidupnya yang malang. Seharusnya suami yang setia berada di sisinya, menemani dan merawatnya di kala sakit. Namun, kenyataannya dia justru pergi bersama sahabatnya, meninggalkan Alice di saat yang paling membutuhkan.
Air mata mengalir deras di pipinya, menyatu dengan luka yang ada di wajahnya. Hatinya hancur berkeping-keping, tidak sanggup lagi menahan beban kesedihan yang terlalu berat.
Tangisannya terdengar sayup, hingga suara-suara dari luar ruangan pun tidak mampu menenggelamkannya. Alice merasa terpuruk, seakan hidupnya tidak ada artinya lagi. Betapa dirinya merindukan belaian kasih sayang dari ibu panti yang selama ini menjadi penopang hidupnya. Namun, kini semua itu seolah sirna, digantikan oleh kehampaan yang begitu mendalam.
Dalam kesendirian, Alice berusaha mencari kekuatan untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Meskipun hatinya terluka parah, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Gadis itu berdoa dalam hati, memohon kepada Tuhan agar diberikan kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi cobaan hidup ini.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan seorang perawat wanita menghampirinya sambil membawa sebuah nampan berisi menu makan malam untuk Alice.
"Terima kasih," ucap Alice dengan senyum lembut, berusaha menunjukkan rasa terima kasih yang tulus meskipun hatinya sedang berkecamuk.
Perawat itu mengangguk dan tersenyum sejenak sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Alice bersama makanan yang masih tertutup rapi dalam wadahnya.
Namun, Alice tidak berniat untuk menyantapnya, selera makannya hilang seketika ketika mengingat peristiwa yang baru saja menimpanya. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar terbuka lagi. Alice menoleh ke arah pintu dan terkejut melihat Tuan Zen bersama Hani, putrinya yang cantik jelita, datang menjenguknya.
"Tuan Zen, Hani, kalian datang kesini," ucap Alice terkejut, ia tidak menyangka pemilik tempatnya bekerja datang menjenguknya.
Hana melangkah masuk ke kamar Alice yang sedang sakit, dinding-dinding kamar berwarna pastel dan hiasan bunga yang menghiasi ruangan menciptakan suasana yang nyaman. Alice terbaring lemah di ranjang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Wajahnya yang pucat menandakan bahwa dia benar-benar sedang tidak enak badan.
"Bagaimana kondisi mu, Alice?" tanya Hani dengan nada prihatin, sambil berdiri di samping ranjang Alice dan menempatkan tangan di atas dahi Alice untuk merasakan suhu tubuhnya.
"Aku baik-baik saja, Hani. Makasih sudah mau datang menjenguk ku," ucap Alice dengan wajah berbinar, menunjukkan rasa syukurnya memiliki teman yang peduli seperti Hani.
"Kita adalah teman, sudah seharusnya aku menjenguk teman yang sedang sakit," sahut Hani sambil meraih tangan Alice dan menggenggamnya erat, memberikan semangat dan dukungan kepada Alice.
Alice mengangguk, kemudian beralih menatap ke arah Tuan Zen yang juga ikut menjenguknya.
"Tuan Zen, besok saya izin tidak masuk terlebih dahulu," ucap Alice dengan suara lirih, khawatir pekerjaannya akan terganggu karena sakitnya.
Tuan Zen menghela nafas panjang, lalu mengangguk dengan pengertian. "Baiklah, Alice. Segeralah beristirahat dan sembuhkan dirimu. Kesehatanmu lebih penting daripada pekerjaan," ujar Tuan Zen, memberikan dukungan kepada Alice.
Mendengar kata-kata Tuan Zen, Alice tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu, Hani dan Tuan Zen duduk di samping ranjang Alice, siap mendengarkan cerita Alice tentang kejadian yang menimpanya. Tak lupa mereka juga memberikan dukungan moral kepada gadis itu.
"Saya minta maaf. Andai saya bisa mengantarmu mungkin kamu tidak akan mengalami kejadian seperti ini" Lanjutnya tuan Zen merasa menyesal, karena tidak bisa mengantar Alice menemui Cedrik.
"Tidak apa-apa tuan Zen, jangan menyalahkan dirimu. Yang penting saya selamat" ucap Alice dengan senyum yang di paksakan.
Bohong kalau dia baik-baik saja, nyatanya sampai saat ini Alice masih shock dengan kejadian tadi. Terlebih sikap suaminya, semakin membuatnya sedih.
Mereka bertiga mengobrol, sampai akhirnya pukul sepuluh malam, Hani dan tuan Zen memutuskan untuk pamit undur diri.
"Kami pulang dulu, besok kalau aku tidak sibuk aku akan datang kesini lagi" ucapnya kepada Alice.
"Tidak usah, besok kata dokter aku sudah boleh pulang, Hani. Terima kasih sudah mau datang menjengukku" ucap Alice.
******
Pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kaca ruangan Alice di rumah sakit. Dokter Jovan yang berkacamata membuka pintu perlahan, kemudian melangkah masuk dengan senyuman ramah di wajahnya.
"Selamat pagi, Alice," sapa Jovan sambil mengamati kondisi pasiennya. Ia segera memeriksa infus yang terhubung pada tangan Alice dan mencatat beberapa informasi di papan catatannya.
"Semuanya baik, hari ini kamu sudah bisa pulang," ucap Jovan sambil tersenyum.
Wajah Alice tampak berbinar, ia sudah merasa bosan sendirian di rumah sakit.
"Oh iya...Dimana Lucas?" tanya Jovan sambil menatap ke sekeliling, dia tidak menemukan sahabat baiknya itu di ruang rawat istrinya.
"Mungkin sudah berangkat ke kantor, dok," jawab Alice dengan senyuman kecut.
Sampai tadi malam Lucas tidak kembali, ia merasa kesepian dan sedih, namun berusaha untuk tetap kuat. Jovan mengerutkan keningnya, mencoba menahan rasa simpati yang memenuhi hatinya.
"Mungkin?" tanya Jovan dengan nada aneh, seolah-olah merasa heran, bagaiman mungkin seorang istri tidak mengetahui dimana suaminya.
Alice menghela nafas pelan, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. "Iya, dok. Dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya. Saya sudah terbiasa," ujarnya lirih, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam.
Jovan mengangguk perlahan, memahami perasaan Alice. Ia menepuk-nepuk bahu Alice dengan lembut, berusaha memberikan dukungan moral.
"Jangan khawatir, saya sudah menghubungi kakek Anderson untuk menjemput mu kesini," ucap Jovan.
"Hah? menghubungi kakek?" Alice menoleh dengan raut wajah yang tampak terkejut.
"Tentu saja, biar anak tengik itu di marahi sama kakeknya" Sahut Jovan yang sudah geram dengan kelakuan sahabatnya itu.
Alice menghela nafas pelan, dia tidak menyangka ternyata dokter yang menanganinya juga mengenal kakek mertuanya.
"Seharusnya dokter tidak perlu memberitahu kakek, saya takut membuat kakek khawatir." ucap Alice.
"Kamu yang tidak seharusnya menyembunyikan hal ini kepada kakek Alice, kakek juga harus tahu keadaan mu" ucap tuan Anderson tiba-tiba.
Membuat perhatian mereka berdua teralihkan. Alice dan Jovan menoleh melihat kedatangan pria tua itu.
"Untuk sementara kamu dan Lucas harus tinggal di rumah utama" tegas kakek Anderson tanpa bantahan.
"Tapi kakek, bagaimana dengan Lucas." tanya Alice, belum tentu suaminya itu setuju dengan pengaturan kakeknya.
"Biar dia menjadi urusan kakek, kamu tidak usah memikirkannya" ucap Tuan Anderson tanpa bantahan.
Alice mengangguk patuh. Setelah menyelesaikan administrasi, Alice dan kakek Anderson pulang kerumah utama.
"Felix, suruh Lucas pulang kerumah utama" titah Kakek Anderson kepada asistennya.
"Baik tuan" jawab Felix, langsung mengerjakan perintah dari tuan besar keluarga Anderson.
aihhh bikin lah Alice strong woman Thor jangan terlalu myek menyek
hadirkan juga laki² bertanggung jawab, mapan pokoknya impian para wanitalah untuk melindungi Alice