Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 HOBI BARU
Pagi kembali datang, sinar mentari perlahan naik menembus lapisan kaca tinggi Calligo. Rumah itu tetap sepi seperti biasanya—hening yang menyatu dengan aroma kayu tua dan kesan megah yang dingin. Hanya beberapa penjaga tampak di gerbang dan pintu belakang. Di dapur, Emi sudah mulai sibuk, suaranya tenggelam dalam denting alat masak. Sementara itu, Jake dan Viren berada di ruang kerja, dikelilingi tumpukan data dan ingatan lama yang tak kunjung usai.
Zia membuka pintu kamarnya. Matanya menyapu lorong panjang, senyap. Tak ada langkah lain, hanya suara napasnya sendiri dan detak jam di dinding seberang. Cahaya pagi menari di lantai marmer, memantul samar pada kaca jendela besar yang terpasang tinggi. Langkahnya tertatih, pelan, seperti menyusuri dunia yang asing. Ia memegang pinggir tangga, menarik napas panjang seolah mengumpulkan keberanian. Satu langkah. Dua langkah. Ia berhenti lagi, menunduk, mendengar denyut sakit di pergelangan kakinya yang masih dibalut. Namun ia tetap melangkah, seakan diam adalah bentuk kekalahan.
Seorang pengawal mendekat, langkahnya cepat namun ringan. "Nyonya mau ke mana?" tanyanya, tangan terulur menawarkan bantuan.
"Ke perpustakaan," jawab Zia, pelan tapi pasti.
Pengawal itu mengangguk dan membantunya berjalan. Hari ini ia tidak akan pergi kemanapun, tidak ke kafe ataupun tempat lainnya. Ia juga sudah memberitahu Ami bahwa kafe akan tutup untuk beberapa hari dan kembali buka saat kakinya sudah membaik.
Di lorong panjang itu, langkah mereka tak lebih dari bisikan di antara dinding batu dan kenangan. Saat tiba di depan perpustakaan, Zia berhenti.
"Cukup sampai sini, terima kasih," ucapnya, lirih.
Pengawal itu undur diri. Zia mendorong pintu perpustakaan. Aroma buku lama, kayu tua, dan debu masa lalu menyambutnya. Rak-rak tinggi berdiri bagai penjaga sunyi. Ia meraba permukaan kayu, menarik sebuah buku yang tak terlalu tebal. Lalu ia melangkah ke sofa maroon dekat jendela, membuka jendela itu terlebih dahulu agar udara pagi bisa masuk dan mengganti udara pengap yang terkurung semalaman.
Ia duduk perlahan. Tubuhnya masih letih, tapi ada ketenangan kecil yang merambat di sela keheningan itu. Tangannya membalik halaman pertama, namun pikirannya melayang entah ke mana.
Sementara itu, di ruang sebelah, di balik dinding tebal perpustakaan, Viren dan Jake tengah membenamkan diri dalam sesuatu yang jauh lebih berisik dari suara: masa lalu.
"Menurutmu siapa yang mungkin terlibat?" tanya Viren. Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman yang membawa beban.
Jake terdiam. Ia menatap dinding yang dipenuhi foto-foto buram, catatan tangan, dan benang merah yang menghubungkan satu tragedi ke tragedi lainnya. Tangannya menunjuk salah satu foto—seorang pria berambut putih dengan kacamata bingkai satu.
"Apakah dia masih hidup?"
"Sekalipun dia mati, semuanya mungkin masih bergerak sampai saat ini."
Viren memejamkan mata. Di balik kelopak matanya, berjuta data dan wajah-wajah masa lalu berkumpul seperti kawanan hantu yang menuntut pembuktian. Tangannya mengepal di meja.
"Apa sebaiknya kita mendatangi anggota dibawah Cinderline?" Jake bertanya lagi.
"Tidak. Saat ini Cinderline sedang diawasi. Terlebih lagi setelah aku muncul."
Jake menoleh cepat. "Kau yang pergi? Bukan Carly?"
Viren hanya menatapnya, tak perlu jawaban.
Jake mengangguk, lalu menunjuk satu titik pada papan besar di belakang mereka. "Mungkin bisa mulai dari sini. Tragedi di Batako. Pembobolan pabrik senjata. Pengkhianatan sebelum tuan Donny meninggal."
Viren membaca cepat. Matanya menyipit. "Mulai dari sini."
Jake langsung bergerak. Ia menghubungi markas Cinderline menggunakan telepon khusus di sudut ruangan.
"Lyn, cari tahu tentang kejadian di Batako, tahun 2015. Segala detailnya."
"Akan aku kirim setelah ku temukan," jawab suara dari seberang.
Jake menutup sambungan dan kembali ke meja. "Dia akan kirim setelah menemukan datanya."
Viren mengangguk singkat. Ia meraih gelas berisi air putih dan meneguknya habis, seolah mencoba membasuh sisa-sisa malam yang tak benar-benar usai.
"Kita berangkat sekarang," ucapnya.
Di sisi lain, di markas Cinderline Lyn menyimpan teleponnya ke tempat semula, kini ia menatap layar besar berisi potongan data dan artikel lama. Jemarinya menari cepat di atas keyboard.
"Apa alasannya? Berapa orang yang terlibat? Dan kenapa itu bisa terjadi?" gumamnya.
Di sebelahnya, Soju masuk dengan satu tangan memegang gelas. Ia berdiri diam sebelum bertanya, "Ada apa?"
"Tuan Viren meminta data tentang Batako." Jawabnya tanpa menoleh, matanya fokus pada layar.
Dia diam beberapa saat untuk meneguk isi dalam gelasnya. "Apa ini berhubungan dengan Bos?"
Lyn menggeleng, "Sepertinya ini berbeda,"
"Mungkin ini tentang, Leo." sahut Dem— rekan Lyn.
"Lalu bagaimana?"
"Teori mudah dikumpulkan. Tapi saksi… itu hal lain. Tak ada jaminan mereka jujur."
Lyn melirik ke arah pria berambut ikal di sampingnya. "Dem, kirim ke surel Bos sekarang."
Pria itu mengangguk dan mulai mengetik cepat. Hanya dalam beberapa detik, semua data terkirim.
"Minta tim lapangan untuk bergerak." Ucap Xin.
"Baik," jawab Carly yang baru saja masuk.
Keamanan Cinderline tetap berada di puncaknya. Apalagi sejak Kairotek menyuplai mereka teknologi rahasia yang belum pernah dipasarkan. Kacamata pendeteksi jarak jauh. Alat perekam mikro seukuran kancing. Semuanya buah tangan Viren—ciptaan yang belum sempat diluncurkan ke publik karena terlalu berbahaya.
Kini semua mulai bergerak. Masa lalu kembali memanggil, dan Cinderline bersiap menyelami lubang gelap yang belum selesai digali.
Jake menutup pintu di belakangnya dan menyusul langkah Viren yang telah lebih dulu menggema di lorong Calligo. Dua pria itu, sosok yang nyaris tak terpisahkan, melangkah diam-diam melewati aula yang dingin dan panjang. Di luar, mobil hitam telah menunggu.
Namun bukan Manuel yang duduk di balik kemudi pagi itu, melainkan seorang pria tua berambut kelabu, supir setia yang sudah mengantar Viren sejak bertahun-tahun lalu—bahkan sebelum nama Cinderline berdiri di atas dunia gelap itu sendiri.
Viren masuk lebih dulu, lalu Jake mengikutinya. Pintu tertutup pelan, dan dunia di dalam mobil terasa hampa dari suara. Hanya ada detak jam digital di dashboard, dan suara angin yang memukul-mukul kaca.
Di kursi belakang, Viren menyandarkan punggung. Ia menopang dagunya dengan satu tangan, menatap ke luar jendela. Bayangan pohon-pohon yang berdiri di pinggir jalan bergantian menari melewati wajahnya. Langit hari itu bersih, biru seperti lautan, dengan cahaya matahari mulai menanjak tinggi.
Jam menunjukkan pukul sepuluh tepat ketika mereka menuju Kairotek.
Lampu merah membuat mobil berhenti di persimpangan. Di kejauhan, gedung menjulang milik Kairotek berdiri angkuh, kaca-kaca luarnya memantulkan cahaya mentari dengan keangkuhan yang nyaris menyilaukan. Suara klakson menggema sesekali, seperti mengingatkan mereka bahwa waktu tetap berjalan, bahkan untuk orang-orang yang menyembunyikan rahasia.
Viren tidak berkata apa-apa.
Jake tahu, ketika pria itu diam, pikirannya sedang menyusun satu demi satu rencana seperti bidak catur. Dan dalam catur yang mereka mainkan, tidak ada gerakan yang bisa ditarik kembali.
Sementara itu, di sisi lain Calligo Zia duduk dengan tenang, tenggelam dalam sebuah buku tua yang berjilid kulit. Di depannya, halaman terbuka menampilkan kisah seorang tawanan yang berulang kali mencoba melarikan diri dari penjara yang tak pernah benar-benar tertidur.
Sudah berbagai cara ia coba—menyamar, menggali, menyelinap—namun selalu berakhir dengan kegagalan. Penjara itu tidak hanya terbuat dari batu dan besi, tapi juga dari ketakutan dan kenangan yang menjerat.
Zia terdiam. Matanya tidak lagi bergerak mengikuti tulisan. Tatapannya kosong, melayang ke arah meja di seberang—di sana sudah tersedia piring kecil berisi roti dan sepiring buah, serta segelas susu hangat yang mulai kehilangan uapnya.
Angin dari jendela membuat tirai berkibar pelan. Perpustakaan tetap sunyi, seolah tak ingin mengganggu siapa pun yang sedang merenung.
Zia menutup bukunya.
Mengapa tawanan itu tetap mencoba kabur? pikirnya. Apa yang mendorong seseorang untuk terus melawan, meski dunia sudah tak berpihak?
Ia meraih gelas susu itu perlahan, mengangkatnya dengan kedua tangan. Tapi bahkan susu pun hari itu terasa hambar. Seperti semua hal lain di rumah ini—cantik, tenang, tapi jauh dari kata hidup.
...----------------...
Langit telah meremang jingga ketika Zia menutup buku terakhirnya. Cahaya sore menelusup lembut melalui jendela tinggi perpustakaan Calligo, menari di atas permukaan meja kayu tua. Waktu berjalan lambat di ruang itu—tempat paling tenang dan asing sekaligus akrab baginya.
Namun tubuhnya mulai letih. Kakinya yang masih diperban mulai nyeri.
Dengan helaan napas panjang, Zia bangkit perlahan. Ia bersandar sejenak pada rak buku, sebelum membuka pintu kayu yang mengarah ke lorong sepi. Alih-alih kembali ke kamar, Zia memilih arah lain—menuju bagian belakang rumah, tempat yang belum pernah ia jelajahi.
Tangannya menyapu dinding sebagai tumpuan, langkahnya tertatih namun pasti. Sesampainya di ujung lorong, ia menyingkap tirai jendela dan mendapati pemandangan kolam berair jernih, dikelilingi taman mungil yang senyap. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin sore, menciptakan suara gemerisik halus.
Pintu ke taman ternyata tidak dikunci.
Zia melangkah ke luar, matanya menelisik tiap detail. Aroma tanah basah, semilir angin yang membawa embun senja, dan kesunyian yang mengendap seperti selimut tipis. Sebuah gazebo kecil di tepi kolam menarik perhatiannya—ia berjalan ke sana, lalu berbaring, menatap langit yang perlahan berubah warna.
Tanpa sadar, ia tertidur.
Saat matanya terbuka, langit telah gelap. Lampu taman menyala redup, menyinari air kolam yang semula tenang, kini bergelombang pelan. Zia mengerjap. Ada gerakan di dalam air.
Bayangan seseorang.
Sejenak ia panik, tapi lekas sadar ketika sosok itu naik ke permukaan.
Viren.
Air menetes dari rambutnya yang hitam basah, mengalir turun menyusuri rahangnya, lalu ke dada dan punggung yang menggambarkan garis-garis otot dengan jelas. Ia menyeka wajahnya dengan satu tangan, dan menepis rambut ke belakang.
Zia terpaku. Bahkan napasnya pun tertahan. Pandangannya tak sengaja—atau mungkin terlalu sengaja—menyapu tubuh pria itu yang setengah terendam, diterangi cahaya lampu dari balik pepohonan.
Tiba-tiba, dunia menjadi terlalu sunyi.
Dan Viren terlalu nyata.
"Sudah puas melihatku?"
Suara itu membuyarkan lamunannya. Viren menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum yang terlalu tenang untuk pria yang baru keluar dari air.
Zia tersentak. "S-siapa yang melihatmu?" elaknya gugup.
"Lalu apa yang sedang kau lihat?"
"Aku... aku melihat ke belakangmu." jawab Zia, terlalu cepat.
Viren menoleh ke belakangnya. Kosong. Hanya dinding taman yang dilapisi dedaunan.
"Kau lebih tertarik pada tembok daripada aku?" gumam Viren. “Kau aneh.”
"Terserah aku, apa urusanmu." Zia bangkit, tapi lupa—kakinya masih belum kuat.
Langkahnya goyah.
Dan—
Byurr.
Air kolam memercik tinggi. Zia jatuh, tubuhnya tenggelam beberapa detik sebelum Viren mendekat cepat. Awalnya ia kira itu bercanda, tapi ketika kepala Zia tak muncul juga, ia terjun ke dalam dan menarik tubuh mungil itu ke permukaan.
Zia tersedak. Rambutnya menempel di wajah, pakaiannya kuyup dan tembus pandang. Mata mereka bertemu—terlalu dekat. Napasnya belum teratur.
Viren menatapnya dalam-dalam, tapi yang keluar dari mulutnya justru, "Bilang saja kalau kau ingin berenang bersamaku."
Zia mengalihkan wajah. "Siapa yang mau?"
Viren menghela napas singkat, lalu membawanya ke tepi kolam. Ia naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan.
"Ayo."
"Aku bisa sendiri," sahut Zia cepat, meski tubuhnya gemetar karena dingin dan malu.
Viren tidak memaksa. Ia duduk di pinggir kolam, memandangi Zia yang setengah terpeleset saat mencoba naik sendiri. Setelah berhasil duduk, Zia menarik lututnya dan menyandarkan dagu di sana.
Keduanya diam. Tapi diam itu berbicara.
Dalam hati kecil Viren, ada kesadaran baru.
Membuat gadis itu salah tingkah... mungkin akan jadi hobi barunya.