Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 — Garis Batas yang Kabur
Jendral seakan menyangkal pikiran Alana tentang dirinya yang hanya sekadar penasaran terhadap perempuan itu. Saat istirahat, ia tidak beranjak sedikit pun dari bangkunya dan tetap mengajak Alana bicara.
"Lo keren banget kemarin," ungkap Jendral, menunjukkan kekagumannya atas apa yang Alana lakukan terhadap Kaluna. Padahal, ia hanya melihatnya dari cuplikan video berdurasi beberapa menit.
Alana menatap Jendral, seakan bertanya maksud dari perkataan barusan. Jendral yang memahami tatapan itu segera memberikan penjelasan tentang hal keren yang ia maksud.
“Lo habis bales orang yang bully Nisya, kan? Keren,” ungkap Jendral, menjelaskan maksudnya.
Alana tidak mengerti mengapa Jendral bisa menganggapnya keren. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya perlu. Pembuli seperti Kaluna memang harus diberi pelajaran agar jera.
“Lo juga besok-besok jangan asal deketin cewek,” ucapnya. Alasan Nisya dibully adalah karena Kaluna menganggap Nisya terlalu dekat dengan Jendral.
“Heh, cewek mana yang lo maksud?” tanya Jendral, menyadari bahwa perempuan yang dibicarakan Alana bukan dirinya.
"Kaluna kayaknya suka sama lo, dan dia bully Nisya karena kalian kelihatan deket," ucap Alana, menyimpulkan apa yang ia ketahui sekaligus menjelaskan siapa yang ia maksud.
"Kalau lo suka sama cewek atau deket sama cewek, lo juga harus pastikan dia baik-baik aja. Sekolah ini nggak sesederhana kelihatannya," lanjutnya dengan nada serius.
Jendral masih belum mengerti. Ia tidak menyukai siapa pun selain Alana. Kedekatannya dengan Nisya kemarin hanya karena Nisya bersedia menunjukkan arah kantin, setelah ia mendapat penolakan dari Alana.
“Tapi gue deket sama Nisya karena dia temen sekelas yang mau nganter ke kantin, bukan karena konteks lain,” jelas Jendral. Ia tidak ingin Alana salah paham terhadap hubungannya dengan Nisya.
“Dan gue nggak kenal sama cewek yang namanya Kaluna,” tambahnya lirih.
Alana menghela napas. Ia tidak ingin menanggapi perkataan Jendral, namun entah mengapa ada sesuatu dalam hatinya yang mendorongnya untuk bicara.
“Kaluna itu cewek yang nyamperin lo di depan kelas, pas lo lagi sama Nisya. Terus Nisya pergi gara-gara dia dan gengnya dateng,” ucapnya, memberitahu siapa Kaluna.
Jendral berusaha mencerna penjelasan itu. Mungkin karena takut Alana salah paham, otaknya jadi sedikit lambat memproses semuanya. Padahal, ia termasuk laki-laki yang cukup cerdas, meskipun tidak Bisa dibilang jenius.
“Cewek yang bully Nisya itu namanya Kaluna? Yang lo jambak sama tampar?” tanya Jendral, membuat Alana berdeham pelan.
“Ya, itu dia,” jawab Alana singkat. “Dan dia punya prinsip, harus dapetin apa yang dia mau.”
Alana sengaja mengatakan itu agar Jendral paham situasinya. Jendral sudah ditandai sebagai laki-laki yang harus Kaluna dapatkan, dan siapa pun yang dekat dengan Jendral pasti akan disingkirkan.
“Oke, jadi gue harus jauhin Nisya?” tanya Jendral, berusaha menangkap maksud Alana.
Nisya, yang sebenarnya sejak tadi duduk di samping Jendral, menelan ludahnya. Ia merasakan sesuatu saat kalimat itu keluar dari mulut Jendral.
“Nggak harus. Lo boleh deket sama siapa pun, asal bisa pastikan dia aman,” sahut Alana tanpa menoleh ke arah Jendral maupun Nisya. Pandangannya fokus ke arah pintu, menunggu Naresh yang tidak kunjung datang membawa bekalnya.
“Oke, gue ngerti,” balas Jendral. Ia memang tidak berniat untuk lebih dekat dengan Nisya. Perempuan yang ingin ia dekati dan jaga justru Alana.
Tak lama kemudian, Naresh datang ke kelas mereka dengan membawa kotak bekal seperti biasa. Namun, wajahnya tampak tidak dalam kondisi baik—bibirnya terluka dan sedikit bengkak.
“Woah, apa ini? Kenapa bibir lo?” tanya Alana saat melihat kondisi bibir Naresh.
“Jangan bilang... Lo habis ciuman ya? Brutal juga cewek lo,” desak Alana, berusaha membuat Naresh mau bercerita.
Jendral tidak hanya terkejut karena pertanyaan frontal Alana, tapi juga karena reaksi Alana yang tampak tidak terganggu sama sekali dengan kemungkinan Naresh berciuman dengan perempuan lain. Jadi mereka benar-benar hanya sahabatan? pikirnya.
Kejadian itu pun disaksikan oleh anggota geng The Rogues yang datang ke kelas mereka tidak lama setelah Naresh tiba.
“Jangan mulai, Alana. Harus berapa kali gue bilang, cewek yang deket sama gue cuma lo,” ucap Naresh, tidak menyukai asumsi Alana.
Karena sebenarnya, bibir yang membuatnya terluka adalah bibir yang sama yang baru saja mengajukan pertanyaan itu—tadi malam, Alana menciumnya. Saat itu, Alana sedang menjadi Kanaya.
“Oke, sorry,” ucap Alana, tidak ingin mendesak Naresh untuk jujur. Namun, dalam hati, ia sangat berharap dugaannya benar—bahwa Naresh akhirnya memiliki kekasih. Dengan begitu, Naresh bisa merasakan kebahagiaan dan tidak perlu terus-menerus mengurusi perempuan problematik sepertinya.
Aska meletakkan plastik berisi makanan dan minuman di meja Jendral. Katanya, ketua mereka itu tidak ingin beristirahat di kantin. Ia memilih tetap di kelas bersama pujaan hatinya, agar sang pujaan hati tidak perlu makan berduaan dengan lelaki yang hanya berstatus sahabat.
“Gebetan lo emang suka banget bikin kejutan, ya?” ucap Aska kepada Jendral, matanya menatap ke arah Alana dan Naresh. Alana tampak bahagia karena mengira sahabatnya kini memiliki kekasih, sementara Naresh terlihat tidak nyaman dengan asumsi itu.
“Sorry, telat. Gue habis ganti baju dulu, tadi abis pelajaran olahraga,” ujar Naresh, menjelaskan alasannya terlambat.
“Iya, nggak apa-apa. Gue ngerti kok,” sahut Alana, lalu mengambil kotak bekal yang Naresh bawa untuknya dan langsung membukanya.
Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Jendral dan gengnya. Dan satu lagi—Nisya.
Mahen melirik ke arah Nisya. Perempuan itu tidak memiliki apa pun di mejanya, tetapi juga tidak terlihat berniat pergi ke kantin untuk membeli makanan atau minuman.
“Lo nggak laper, ya?” tanya Mahen kepada Nisya. Padahal, ia bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Aska dan Dewa yang menyaksikan itu semakin yakin bahwa Mahen menyimpan perasaan pada Nisya—terlebih ketika Mahen memberikan makanan yang ia pesan kepada Nisya.
“Lo makan aja punya gue,” ucap Mahen tanpa menunggu jawaban dari Nisya.
“Eh, tapi—” Nisya yang hendak menolak, urung bicara karena Mahen langsung pergi. Ia meraih kursi di depan Jendral, memutarnya menghadap ke arah Jendral, lalu duduk di sana.
“Udah, makan aja. Nggak baik nolak pemberian orang,” ucap Aska sambil menarik kursi dan bergabung di meja Jendral.
Sekarang, The Rogues berkumpul membentuk lingkaran di meja Jendral. Naresh dan Alana fokus makan, seolah dunia milik berdua seperti biasanya. Bedanya, sekarang Jendral tahu bahwa Alana tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Naresh.
“Lo beli es americano yang gue pesan?” tanya Jendral pada Aska, mengingat satu pesanan penting yang ia titipkan pada anggota gengnya.
“Ada, kok. Cek aja,” jawab Aska, menyuruh Jendral mengecek untuk memastikan kembali pesanannya.
Jendral memeriksa isi kantong plastik, dan setelah menemukan es americano, ia langsung meletakkannya di meja Alana.
“Buat lo,” ucap Jendral tanpa menatap Alana atau menunggu reaksinya. Ia tidak butuh ucapan terima kasih—baginya, itu bentuk perhatian. Memberikan minuman kesukaan gebetannya.