"Ayah bukanlah ayah kandungmu, Shakila," ucap Zayyan sendu dan mata berkaca-kaca.
Bagai petir di siang bolong, Shakila tidak percaya dengan yang diucapkan oleh laki-laki yang membesarkan dan mendidiknya selama ini.
"Ibumu di talak di malam pertama setelah ayahmu menidurinya," lanjut Zayyan yang kini tidak bisa menahan air matanya. Dia ingat bagaimana hancurnya Almahira sampai berniat bunuh diri.
Karena membutuhkan ayah kandungnya untuk menjadi wali nikah, Shakila pun mencari Arya Wirawardana. Namun, bagaimana jika posisi dirinya sudah ditempati oleh orang lain yang mengaku sebagai putri kandung satu-satunya dari keluarga Wirawardana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Kenangan Buruk
Shakila mempunyai fobia dengan darah. Dahulu, dia melihat tubuh ibu dan adiknya bersimbah darah. Semenjak itu, dia mulai takut jika melihat darah pada tubuhnya atau tubuh seseorang.
Zayyan membawa Shakila pulang ke rumah. Dia selalu menjaga di sampingnya sampai kondisi gadis itu pulih.
Ingatan Zayyan kembali dipenuhi oleh memori 10 tahun silam, ketika mereka sedang liburan sekolah. Kebahagiaan yang dirasakan oleh keluarganya dalam sekejap berubah menjadi duka, bahkan meninggalkan trauma bagi Shakila.
Waktu itu Shakila bersama keluarganya liburan ke pantai, tempat favorit mereka. Dia dan adiknya yang bernama Athila suka sekali bersepeda. Siang itu, mereka berniat balapan, tetapi kedua orang tuanya juga ingin ikut. Maka, diputuskan mereka akan naik sepeda gandeng untuk pasangan. Shakila berpasangan dengan Zayyan. Lalu, Athila berpasangan dengan Almahira.
Shakila tidak mau kalah dengan adiknya, maka meminta sang ayah untuk mengayuh sepeda dengan cepat. Tentu saja mereka saling kejar-kejaran dan dia berhasil memimpin, meninggalkan ibu dan adiknya di belakang.
Jalan di sekitar pantai kebanyakan digunakan oleh pejalan kaki, jadi kendaraan di sana jarang. Jika ada, lajunya akan lambat. Akan tetapi, saat itu ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi hendak menabrak sepeda yang ditumpangi oleh Shakila dan Zayyan.
Ada sebuah motor yang berhasil menghadang laju mobil sehingga banting setir ke kanan. Di waktu yang bersamaan sepeda yang ditumpangi oleh Athila dan Almahira melaju di sana. Tabrakan maut pun terjadi. Tubuh kedua orang tua terlempar dan membentur pinggiran trotoar.
Shakila dan Zayyan melihat kejadian itu, tentu saja histeris. Sayangnya mobil langsung kabur dan orang-orang yang ada di sana tidak ada yang mencegahnya. Malah sibuk memotret keadaan Athila dan Almahira yang bersimbah darah.
Ambulans datang terlambat. Nyawa Athila dan Almahira tidak tertolong. Athila meninggal dalam pelukan Shakila dan Almahira meninggal dalam pelukan Zayyan. Suara tangisan pilu atas kehilangan orang yang mereka cintai dan sayangi membuat orang-orang yang melihat itu ikut bersedih.
Tidak ada seorang pun yang ingat dengan plat nomor mobil penabrak itu. Kejadiannya begitu cepat dan tidak ada yang menyangka akan terjadi kecelakaan. Kasus itu tidak diketahui kelanjutannya karena tidak ada bukti untuk mengetahui siapa orang yang ada di dalam mobil.
"Ayah," ucap Shakila dengan suara yang lemah.
"Iya, Nak. Ayah di sini," balas Zayyan sambil membelai kepala putrinya.
"Aku pingsan, ya?" tanya Shakila dengan sendu dan Zayyan mengangguk. "Ternyata aku ini masih lemah. Takut sama darah."
"Siapa bilang? Kamu kuat, kok!" bantah Zayyan yang tidak suka melihat Shakila lemah. Karena dia selalu mendidiknya agar menjadi perempuan yang kuat dan hebat.
***
Sementara itu di sebuah hutan yang gelap, Arya membuka matanya dengan perlahan. Dia merasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Kepalanya penuh dengan darah karena ada beberapa luka yang menganga. Laki-laki itu mencoba untuk keluar dari mobilnya yang sudah hancur.
Suatu keajaiban Arya masih hidup, walau tubuhnya banyak luka. Rupanya kaki kiri mengalami luka parah karena terhimpit.
Terlihat cahaya bergerak mendekat. Arya ingin berteriak minta tolong, tetapi suaranya tidak keluar. Dia pun memukul-mukul apa saja yang bisa dia raih menggunakan potongan bagian dari mobil.
"Ada mayat di dalam!" pekik orang itu terkejut karena ada seseorang di dalam mobil.
"Masih hidup? Dia masih hidup, kan?" lanjutnya menengok kaca jendela mobil.
Di antara sadar tidak sadar Arya mendengar suara seorang laki-laki di dekatnya. Rasa sakit dan kehilangan banyak darah membuatnya dia pingsan.
Laki-laki paruh baya itu mencoba membuka pintu mobil. Karena susah dibuka, maka dia mencari batu untuk memecahkan kaca.
Dengan susah payah orang itu mengeluarkan Arya. Lalu, dia membawa ke rumahnya yang tidak jauh dari lokasi itu.
"Amara, siapkan ruang tindakan!" ucap laki-laki paruh baya itu begitu masuk ke rumahnya.
"Siapa dia, Dok?" tanya seorang perempuan bertubuh tinggi kurus dengan rambut cokelat kehitaman.
"Tidak tahu. Tapi, dia masih hidup. Kita harus menyelamatkan nyawanya," jawab laki-laki yang berprofesi sebagai dokter.
"Dokter Elzo memang baik hati. Sungguh jahat orang yang sudah memfitnah dirinya," batin Amara sambil menyiapkan segala keperluan.
Dokter Elzo tinggal di pinggir hutan, tidak jauh dari sebuah desa yang tertinggal karena susahnya akses menuju ke sana. Jalannya pun belum di aspal, listrik juga mengandalkan generator. Dia memang memilih tinggal di sana dan membantu mengobati warga desa dengan sukarela.
"Sepertinya dia harus dibawa ke kota," batin Dokter Elzo karena melihat luka serius di kepala dan kaki Arya.
"Kita pergi ke rumah sakit kota sekarang!" kata Dokter Elzo.
"Apa? Tengah malam begini!" Amara paling tidak suka bepergian tengah malam, takut ketemu hantu.
"Tidak ada lagi waktu, cepat!"
Dokter Elzo punya sebuah mobil tua yang diubah seperti mobil ambulans. Dia menggunakan kendaraan ini untuk belanja ke kota atau mengantar jemput pasien yang sakit parah.
Begitu sampai ke rumah sakit, Arya langsung mendapatkan penanganan. Rumah sakit itu milik rekan sejawatnya yang sama-sama aktif di organisasi kemanusiaan. Banyak tenaga medis bekerja di sini dengan upah minimum karena mereka bekerja sukarela dan pasien juga tidak dipungut biaya. Rumah sakit ini masih bisa beroperasi karena mendapatkan dana dari para donatur yang aktif di bidang kemanusiaan.
"Operasi berjalan lancar. Semoga pasien tidak mengalami koma," ucap seorang dokter laki-laki teman Dokter Elzo.
"Semoga saja," balas Dokter Elzo. "Sepertinya dia korban dari sebuah tindak kejahatan. Aku melihat semua bagian mobilnya rusak."
"Sebaiknya kamu segera mencari tahu identitas pasien. Jangan sampai kamu terkena skandal lagi, gara-gara berurusan dengan orang yang salah."
Dokter Elzo mengangguk. Dia tidak bisa mengenali wajah Arya yang bengkak akibat luka-lukanya.
***
Sementara itu di sebuah klub malam, di mana orang-orang sedang bersenang-senang dengan menari dan mabuk-mabukan, terlihat sekelompok laki-laki tertawa terkekeh dan bersulang minuman beralkohol.
"Akhirnya pria tua itu mati!"
"Mario, apa sekarang kamu yang akan ambil alih perusahaan AW GRUP?" tanya seorang pemuda yang memakai anting.
"Tentu saja. Aku sudah mengubah beberapa dokumen milik Arya Wirawardana yang tersimpan di brankas ruang kerjanya," jawab Mario.
"Bukannya dia punya seorang putri? Pastinya dia yang akan melanjutkan usaha Arya Wirawardana," sahut pria yang memakai kalung rantai.
"Silvia si tuan putri? Menyingkirkan dia itu mudah, tidak sedikit menyingkirkan Arya. Butuh bertahun-tahun untuk membalaskan dendam kepadanya," balas Mario yang memaruh dendam kepada Arya. Karena laki-laki itu sudah mengusir dirinya beserta sang mama dari rumah mewah yang saat itu mereka ditinggali.
"Tante Miranda mulai sekarang akan beraksi secara terang-terangan, ya? Dulu, kan, bisanya sembunyi-sembunyi sampai kamu juga mengganti identitas agar bisa bekerja di perusahaan AW GRUP."
"Ya. Sekarang tugas mama menyingkirkan si Silvia," ujar Mario dengan seringai jahat. Dia ingin tahu apa yang dilakukan mamanya kepada anak mantan suaminya.
***