NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:510
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Api dalam sekam Istana

Pagi itu, udara di istana Samudra Jaya terasa berat dan dingin, seolah kabut tipis membawa firasat buruk. Burung-burung enggan berkicau di taman belakang, dan matahari hanya menampakkan sinarnya samar di balik awan kelabu. Seisi istana masih dipenuhi bisik-bisik prihatin tentang sakitnya Permaisuri Dyah Kusumawati, namun di balik itu semua, tersimpan gelombang lain yang tak kalah berbahaya—ambisi dan pengkhianatan yang mulai bangkit dari bayangan.

Putri Dyah belum beranjak dari sisi ranjang ibundanya. Wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi sorot matanya tetap tajam, berusaha kuat. Beberapa dayang bergantian mengganti kain basah di dahi sang permaisuri, sementara di luar, dua penjaga berjaga dengan wajah tegang. Tabib Wirasena belum kembali dari semedinya, meninggalkan tanda tanya di hati semua orang.

“Gusti Putri, mungkin sebaiknya paduka beristirahat sebentar,” ujar seorang dayang pelan.

Putri Dyah menggeleng lemah. “Selama ibu belum sadar, aku tidak akan meninggalkannya.”

Ia menatap wajah ibunya yang nyaris tak berwarna. Dalam hatinya, ia berdoa tanpa henti, memohon agar Sang Hyang Agung memberi mukjizat. Namun entah mengapa, setiap hembusan napas sang permaisuri terasa semakin berat, dan itu membuat dadanya sesak menahan cemas.

Sementara itu, di paviliun selir kedua, Ken Suryawati tampak sibuk menyiapkan sesajian kecil di altar pribadinya. Senyumnya tenang, tapi matanya memantulkan kilau dingin. Di belakangnya, dayang kesayangan bernama nyi Rengganis memandang dengan ragu.

“Apakah paduka tidak akan menjenguk Baginda Permaisuri hari ini?” tanya nyi Rengganis dengan hati-hati.

Suryawati berhenti menata bunga melati di mangkuk perak, lalu menatap dayang itu melalui pantulan cermin besar. “Untuk apa? Aku sudah menjenguk kemarin, dan aku tidak perlu berpura-pura sedih setiap hari.”

Nada suaranya datar, tapi cukup untuk membuat nyi Rengganis terdiam.

“Maafkan hamba, paduka. Hamba hanya berpikir, mungkin ini bisa menjadi topeng untuk paduka supaya tidak ada yang mencurigai, karena banyak di istana ini yang berfikir lain, ingat paduka bahkan tembok pun ikut berbisik,”

Suryawati tersenyum tipis, kali ini dengan nada mengejek. “Justru biarkan mereka memperhatikan. Orang yang terlalu sering menunjukkan belas kasihan, justru akan tampak pura-pura. Kadang, diam jauh lebih bijak daripada berlakon dan biarkan saja mereka berfikir apa pun aku tidak peduli, lebih baik kita fikirkan bagaimana supaya kerajaan ini jatuh ditangan Raksa—anakku,”

Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai, melihat taman yang mulai ramai oleh pelayan istana. “Biarkan semua berpikir aku sibuk dengan doa dan tugas-tugas kebangsawanan. Saat waktu tiba, mereka sendiri yang akan datang memohon padaku.” Nyi Rengganis menunduk lebih dalam. Ia tahu, dalam kata-kata lembut itu tersimpan ambisi besar yang tak bisa dibendung.

Sementara itu, di paviliun ketiga, Ken Ratri dan Dyah Candrawati sedang berbincang pelan. Mereka sepakat untuk saling menjaga gerak-gerik selir lain dan memperhatikan siapa saja yang datang ke paviliun Suryawati.

“Semalam aku mendengar kabar dari dayang dapur,” bisik Candrawati. “Katanya, seseorang melihat nyi Rengganis membawa kendi dari ruang obat tabib sebelum permaisuri jatuh sakit.”

Ken Ratri tertegun. “Kau yakin?”

Candrawati mengangguk. “Aku belum tahu benar, tapi aku akan memastikan sendiri. Aku tak ingin istana ini runtuh karena kelicikan seseorang.”

Ratri menarik napas panjang. “Berhati-hatilah, Nimas. Sekali kau salah langkah, bukan hanya kau yang akan celaka, tapi juga seluruh paviliunmu.”

Tiba-tiba seorang dayang datang dengan tergopoh-gopoh, setelah memberi hormat dia pun menyampaikan sebuah pesan.

“Ampun kanjeng, sa-saya ingin menyampaikan sesuatu,”

“Katakan apa itu?”tanya Ken Ratri, dayang yang bernama Arum itu menengok kanan kiri sebelum mengatakan berita yang dia dapat, lalu sedikit mendekat ke arah kedua selir muda itu membuat mereka semakin penasaran.

“Semalam hamba melihat nyi Rengganis dan kanjeng Ken Suryawati pergi ke hutan belakang istana, entah apa yang mereka lakukan disana selain itu......”dayang itu kembali melirik kanan dan kiri

“Selain itu apa?”tanya Candrawati yang makin tidak sabar.

“Selain itu saya sering melihat seorang dayang menaburkan bubuk misterius ke dalam makanan Gusti Permaisuri sebelum disajikan,” jawab dayang itu pelan

“Kau yakin itu....kau yakin apa yang kau katakan?”tanya Ratri.

“Hamba yakin Gusti,”

Ratri dan Candrawati saling pandang hal ini semakin memperkuat dugaan Candrawati tentang reaksi Ken Suryawati saat menjenguk permaisuri.

“Kau...diam, cukup diam, jangan sampai orang lain tahu,”kata Ratri pelan bahkan hanya mereka bertiga saja yang bisa mendengarnya.

“Daulat Gusti Kanjeng,”

“Ya sudah sekarang kamu kembali ke tempatmu,”ucap Candrawati. Setelah memberi hormat dayang itu kembali ke dapur.

“Benarkan mbak yu yang aku bilang tadi,” kata Candrawati, raut wajah Ratri benar-benar khawatir seakan-akan genderang perang di istana ini sudah ditabuh.

“Semoga kakanda Harjaya cepat kembali dari tapa bratanya,” ucap Ratri sambil meremas tangannya dan menatap kosong kearah istana.

Di sisi lain, Raden Arya tengah berbicara dengan adipati Subrata di pendapa timur. “Aku mencium ada yang tidak beres di istana ini, Paman,” katanya dengan nada tegas.

“Apa maksud paduka?” tanya Subrata.

“Penyakit ibu permaisuri terlalu aneh. Tabib tidak bisa menjelaskan asalnya, dan tiba-tiba semua orang di istana mulai sibuk berbicara tentang siapa yang pantas menggantikannya. Aku rasa ini bukan sekadar penyakit.”

Adipati Subrata menatap tajam pemuda itu. “Kalau benar begitu, maka paduka harus berhati-hati. Ada banyak mata dan telinga di sekeliling istana. Jangan sembarangan berbicara, terutama di depan para bangsawan.”

Raden Arya mengangguk pelan. “Aku hanya ingin melindungi Putri Dyah dan ibunda. Jika benar ada tangan jahat di balik ini, aku bersumpah akan mengungkapnya.”

“Semoga Gusti Prabu Harjaya cepat menyelesaikan tapa bratanya, hamba rasa kerajaan sekarang mulai menabuh gendang perangnya. Kita tidak hancur dari serangan musuh tapi rasanya kita akan hancur dari saudara kita sendiri,”ucap adipati Subrata, Raden Arya mengangguk lalu menghembuskan nafas resah. Dia tidak ingin kerajaan ini diambang kehancuran, akan dia pertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan tanah airnya ini.

Setelah pertemuannya dengan adipati Subrata, Raden Arya pun menuju ke kediaman permaisuri. Di Depan pintu ada dua dayang yang berjaga dengan raut wajah khawatir.

“Bagaimana dengan keadaan Gusti Permaisuri?”tanya Raden Arya, tanpa mengalihkan pandangannya kearah kediaman Permaisuri.

“Ampun Raden, kondisi Permaisuri masih lemah bahkan beliau menolak makanan dan hanya minum air putih itu pun hanya sedikit,” jawab dayang itu.

Salah satu dayang menimpali, “ Dan Tabib Wirasena belum kembali dari semedinya.” Raden Arya menghela nafas panjang, hatinya resah terlebih lagi baginda raja belum selesai dari tapa bratanya.

Raden Arya mengangguk, lalu masuk perlahan. Di dalam, suasana terasa berat dan penuh duka. Putri Dyah duduk di sisi ranjang ibundanya sambil menggenggam tangan sang permaisuri yang dingin. Cahaya pelita temaram membuat wajah putri itu terlihat pucat dan sembab karena tangis.

“Adimas Arya...” suara lirih itu keluar dari bibir Putri Dyah saat menyadari kehadiran adik tirinya. Ia bangkit berdiri, memberi salam “Terima kasih sudah datang...”

Raden Arya mendekat, menatap permaisuri yang masih terbaring lemah. “Aku mendengar kabar dari Adipati Subrata. Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyanya pelan. Putri Dyah menggeleng dengan air mata menetes pelan. “Ibunda semakin lemah. Nafasnya pendek... dan tabib bilang penyakit ini tidak berasal dari kelelahan biasa. Aku takut, Adimas. Aku takut kehilangan ibunda.” Raden Arya menarik napas panjang, lalu menatap mata Putri Dyah dengan lembut namun tegas. “Kau tidak sendiri, mbak yu. Aku juga merasakan ada sesuatu yang tidak wajar. Aku akan mencari tahu siapa yang berani berbuat sekeji ini di dalam istana.”

Putri Dyah menatap adik tirinya dengan perasaan bingung.

“Apa maksudmu adimas, apakah penyakit ibunda bukan karena ujian sang dewata?”

Raden Arya menghela nafas sejenak, lalu menatap mata kakak tirinya, teringat kecurigaan adipati subrata dipembicaraan mereka tadi.

“Saya curiga mbak yu, penyakit ibunda Kusumawati bukan karena ujian dari sang dewata tapi dari seseorang yang ingin menghancurkan tahta permaisuri,” jawab Raden Arya. Putri Dyah menyipitkan matanya lalu berdiri menatap Raden Arya.

“Apa maksudmu Arya, jelaskan padaku...” tapi sebelum Raden Arya menjawab ketukan pintu terdengar.

“Gusti Putri, Ki Wirasena sudah datang,” mendengar nama tabib istana tentu membuat Raden Arya dan Putri Dyah langsung menghampirinya.

Seorang pengawal berlari menyambutnya. “Ki Tabib! Gusti Putri menunggu di dalam, baginda permaisuri semakin lemah.”

Ki Wirasena mengangguk cepat. “Hamba harus segera menghadap. Petunjuk itu sudah hamba terima... dan jika dugaan hamba benar, maka penyakit ini bukan sekadar takdir—tapi perbuatan manusia.”Kata-kata itu meluncur pelan, tapi cukup untuk mengguncang malam yang tenang.

Api dalam sekam mulai menyala di balik tirai istana Samudra Jaya—dan tak ada yang tahu, siapa yang akan terbakar lebih dulu. Semua orang di ruangan itu terkejut mendengarnya kecuali Raden Arya karena ia sudah menduganya.

“Sudah aku duga semua ini memang benar,”

Putri Dyah menatap adik tirinya dia memaksanya untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Katakan padaku Arya apa maksud semua ini, siapa....siapa yang berniat mencelakai ibunda?”

“Ki...lebih baik Ki Wirasena yang mengatakannya,” ucap Raden Arya yang rupanya dia tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Ki Wirasena menarik nafas panjang sebelum mengatakan yang sebenarnya.

“Selama hamba bersemedi, hamba mendapat penglihatan seseorang telah sengaja meracuni Baginda Permaisuri,” Suasana di paviliun permaisuri seketika berubah mencekam. Hening yang sedari tadi hanya diisi suara napas berat Permaisuri Dyah Kusumawati kini berganti dengan bisik-bisik panik para dayang yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa dari mereka saling menatap dengan wajah tegang, sebagian bahkan nyaris menjatuhkan baki yang mereka pegang. Putri Dyah Anindya terpaku. Tubuhnya lemas, matanya membesar menatap Ki Wirasena yang menundukkan kepala. Kata-kata sang tabib masih terngiang di telinganya — “Seseorang telah sengaja meracuni Baginda Permaisuri.”

“Racun...?” suaranya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin... Siapa yang tega melakukan hal sekeji itu pada ibunda?” Ki Wirasena menunduk semakin dalam, menahan napas panjang. “Hamba belum mengetahui siapa pelakunya, Gusti Putri. Tapi racun yang bekerja di tubuh Baginda Permaisuri adalah jenis racun halus, berasal dari ramuan luar negeri yang hanya bisa diracik oleh orang berilmu tinggi.”

Raden Arya mengepalkan tangan. “Racun seperti itu tidak mungkin masuk tanpa perantaraan orang dalam. Seseorang di istana ini telah berkhianat.” Dayang-dayang mulai berbisik panik, sebagian menatap satu sama lain dengan wajah pucat. Mereka tidak tahu siapa yang bisa dipercaya lagi. Dalam hitungan menit, kabar itu pun menyebar ke luar paviliun — dari mulut satu dayang ke dayang lain, hingga akhirnya meluas ke seluruh sudut istana. Malam itu, istana Samudra Jaya tidak lagi tenang. Di dapur kerajaan, para juru masak dan pelayan gemetar mendengar kabar tersebut. Sima, dayang yang selama ini bertugas menyajikan makanan untuk Permaisuri Dyah Kusumawati, tampak nyaris pingsan. Wajahnya pucat pasi, tangan yang memegang kendi air bergetar hebat.

“Nyi Rengganis... a-apakah kabar itu benar?” tanya Sima terbata-bata kepada dayang senior yang berdiri di dekatnya.

Rengganis menatapnya tajam. “Apa yang kau dengar?”

“Mereka bilang... racun itu berasal dari makanan atau minuman permaisuri...” suara Sima bergetar. “Kalau benar begitu... aku... aku—”

“Cukup, Sima!” potong Rengganis cepat, menatap sekeliling memastikan tidak ada telinga lain yang mendengar. Ia menurunkan suaranya. “Jangan sembarangan bicara! Kalau ada yang mendengar, bukan hanya kau, aku pun bisa dituduh bersekongkol. Ingat itu!” Sima menunduk gemetar. Air matanya jatuh, membasahi tangan. Ia tahu itu racun saat pertama kali nyi. Rengganis memberikan bungkusan hitam itu padanya tapi kenapa dia tetap memberikan ramuan itu pada Permaisuri.

Jika semua orang tahu itu ulahnya habis sudah dia, pasti kerajaan akan menghukum mati dia dan keluarganya. Sementara itu, Nyi Rengganis melangkah cepat ke paviliun selir kedua, tempat Ken Suryawati biasa beristirahat. Ia masuk setelah memberi hormat, lalu berjongkok di hadapan sang nyonya.

“Paduka... istana gempar. Semua orang membicarakan kabar dari paviliun permaisuri,” bisiknya. Ken Suryawati, yang sedang duduk di depan cermin sambil menyisir rambut hitam panjangnya, hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Aku sudah menduganya,” ujarnya pelan, suaranya datar dan tenang. “Cepat sekali berita itu menyebar. Lidah-lidah di istana memang lebih tajam dari pedang.”

“Tapi paduka, bagaimana jika mereka mulai mencurigai dapur? Jika Sima tidak bisa menahan lidahnya, semuanya bisa terbongkar!” suara Rengganis gemetar, hampir tidak mampu menutupi ketakutannya.

Ken Suryawati menatap pantulan dirinya di cermin, matanya dingin. “Tenanglah, Rengganis. Tak seorang pun akan menuduh tanpa bukti. Lagi pula, siapa yang akan berani menuduh selir raja tanpa alasan?” Rengganis menunduk, tapi matanya menyiratkan rasa takut yang nyata. “Tetapi paduka... jika Gusti Raden Arya yang menyelidiki, dia tidak akan mudah tertipu. Beliau sangat cermat.” Ken Suryawati berhenti menyisir rambutnya. Tatapan matanya berubah tajam. “Raden Arya...” gumamnya lirih. “Anak itu memang tajam seperti ayahnya. Tapi dia masih muda, dan orang muda mudah dikendalikan dengan sedikit permainan.” Ia tersenyum samar, lalu menatap Rengganis. “Pastikan Sima tidak berbicara kepada siapa pun. Jika perlu... buat dia sibuk dengan tugas di luar paviliun. Aku tidak mau ada yang mencium apa pun sebelum waktunya.”

“Daulat, Paduka,” jawab Rengganis, menunduk dalam sebelum beranjak keluar dengan langkah cepat.

Sementara itu diluar tembok istana, kabar mengenai sakitnya Permaisuri sudah menyebar sampai ke telinga rakyat, ada yang berbelasungkawa ada juga yang biasa saja, bahkan ada yang bertaruh siapa yang akan menggantikan Permaisuri Dyah Kusumawati.

Dikedai-kedai tuak, sore itu berkumpul para laki-laki baik yang tua maupun yang muda.

“Aku yakin yang menggantikan Gusti Permaisuri Kusumawati pasti Gusti Dyah Ratnadewi secara orangnya juga sebanding dengan raja,”

“Ah... Yo ndak to kang, aku yakin Gusti Ken Suryawati yang menggantikannya, secara dia masih cantik dan banyak bangsawan yang mendukungnya lagi pula kalau nanti Gusti Suryawati yang jadi permaisuri pasti Raden Raksa yang jadi raja,”

“Eh...Noto...kalau Raden Raksa yang jadi raja justru anakmu dibawa ke istana buat jadi gundiknya, emang kamu mau anak gadismu jadi gundik raja,”ujar mbok sinem sambil meracik jamu kuat pesanan pelanggannya.

“Waduuuuh...yo jangan to mbok....anak gadisku masih kinyis-kinyis mau aku kawinkan dia sama anaknya Pardi, sawahnya luas warisin bapaknya nanti,”

“Ya kalau aku sih mau aja asal ada harganya hahahaha....”Timpal yang lain.

“Woalaaah...gendeng kamu man...toman...” malam beranjak naik dan warung tuak itu semakin ramai membicarakan berbagai topik yang ada.

Sementara itu di paviliun timur, Raden Raksa tengah berpesta kecil seperti biasa. Kabar mengenai sakitnya permaisuri tak menghalanginya untuk berpesta menenggak tuak hingga mereka tak sadar, seakan-akan pesta ini menjadi awal pesta untuk kehancuran Permaisuri.

Di paviliun lain, di bawah cahaya redup pelita, Ken Suryawati tengah berdiri di depan cermin besar dengan senyum samar di wajahnya. Di tangannya, segenggam bunga kenanga yang sudah mulai layu tergeletak di atas wadah perunggu. Matanya dingin, dan dari bibirnya keluar bisikan pelan, nyaris seperti doa terlarang.

“Sebentar lagi, semuanya akan berjalan seperti yang kuinginkan... Dyah Kusumawati, istana ini akan menjadi milikku.”

Angin malam berembus lewat tirai, menggetarkan nyala pelita. Bayangan Ken Suryawati di cermin tampak lebih panjang... lebih kelam dari biasanya.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!