Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gue, bukan mereka
Kaca di depan Gue memantulkan sosok perempuan yang seharusnya terlihat siap berangkat kerja, tapi mata itu jelas menyimpan resah. Rambut Gue masih sedikit lembap setelah keramas, kemeja putih sudah rapi melekat di badan, rok span hitam jatuh sampai lutut, tapi hati Gue terasa jauh dari kata siap.
Gue tatap bayangan sendiri, seolah sedang menanyai. Mau sampai kapan lo hidup kayak gini, Alya?
Di dalam kepala, suara Mama dan Papa masih sering menggema. Hidup Gue harus sesuai dengan rencana mereka, jalan yang sudah mereka siapkan, termasuk pernikahan dengan Darly.
Orang lain mungkin bakal menganggap itu anugerah. Punya calon suami mapan, tampan dengan keluarga terpandang. Tapi buat Gue, itu justru belenggu.
Kilasan semalam muncul di kepala Gue. Angin malam di atas motor butut Adrian, suara ketawanya yang receh, cara dia buat Gue rileks tanpa harus pura-pura.
Bahkan sampai sekarang, setiap kali Gue keinget itu, ada senyum kecil yang nyelip tanpa bisa dicegah. Gue ngerasa hangat. Nyaman.
Terus Gue bandingin sama Darly. Mobil mewah, sopan santun, rapi, tapi kaku. Jarak yang nggak pernah hilang. Kayak dua orang asing yang di paksa duduk bareng di meja rapat.
Seketika dada Gue terasa sesak lagi. Gue berusaha tarik napas panjang.
Bahagia atau sengsara, pada akhirnya Gue yang jalanin. Gue nggak bisa terus-terusan tunduk sama keinginan orang lain.
Gue tutup mata sebentar, mencoba mendengar isi hati sendiri. Mulai hari ini, Gue harus hidup dengan cara Gue.
Bibir Gue perlahan melengkung. Senyum kecil muncul, bukan karena semua masalah hilang, tapi karena akhirnya Gue punya tekad. Gue tenang, meski tau keputusan ini penuh resiko.
Gue tau bisa aja hubungan Gue sama keluarga renggang, termasuk Papa dan Mama. Bisa aja, mereka makin marah besar. Tapi lebih baik Gue terluka karena pilihan sendiri, daripada mati pelan-pelan karena pilihan orang lain.
Apa pun resikonya, harus Gue ambil.
Setelah itu, entah kenapa langkah Gue lebih ringan. Gue ambil tas kerja, semprot sedikit parfum, lalu keluar kamar dengan senyum masih bertahan di wajah.
Suasana meja makan pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, padahal di atas meja sudah tersaji lengkap bubur ayam, roti panggang, dan teh hangat.
Papa duduk di kursi ujung dengan koran terbuka, sementara Mama sibuk menuangkan teh ke gelas sendiri. Gue datang sedikit terlambat.
"Pagi, Ma, Pa." Gue berusaha menata nada suara biar netral.
Papa hanya melirik sebentar sambil mengangguk. Mama menatap Gue lama, sorot matanya tajam seolah mau nembus kulit. Gue langsung tau, pagi ini nggak bakal berjalan damai.
"Nanti tentukan jadwal cuti kerja kamu." Mama membuka percakapan, nadanya datar tapi menusuk. "Mama sudah ngomong sama Darly kemarin. Ternyata keluarganya menanyakan kapan kamu dan Darly bisa bertunangan. Kata mereka, nggak perlu lama-lama, toh kalian sudah pasti cocok."
Sendok di tangan Gue berhenti separuh jalan. Jantung Gue langsung berdebar. Gue taruh perlahan bubur di piring, menatap Mama.
"Ma, bisa nggak topik ini jangan dulu dibahas?" suara Gue serak, tapi jelas.
"Kenapa nggak dibahas?" Mama balik tanya cepat. "Atau kamu mau buat keluarga kita malu karena terus menunda? Darly itu anak baik. Mama sama Papa sudah sepakat, dia pilihan terbaik buat kamu."
Papa masih sibuk pura-pura baca koran, tapi Gue tau telinganya fokus ke arah kita. Gue menarik napas panjang.
"Aku ngerti, Ma," Gue mencoba tetap tenang. "Tapi... aku nggak mau buru-buru. Aku belum siap."
Mama meletakkan gelasnya dengan bunyi, tak! cukup keras. "Belum siap? Kamu ini sudah dewasa. Usia kamu bukan remaja lagi. Semua orang menunggu. Apa yang kurang dari Darly? Dia mapan, dia terhormat, keluarganya jelas."
"Ma, dengerin aku dulu." Gue menatap mata Mama, kali ini tanpa menghindar. "Aku tau Darly baik. Tapi aku nggak merasa nyaman sama dia. Aku nggak mau jalani hidup dengan orang yang bahkan buat aku merasa asing di setiap omongan. Aku nggak bisa pura-pura bahagia, Ma."
Mama menatap Gue kaget, tapi cepat-cepat balik dengan suara lebih tinggi. "Nyaman? Bahagia? Pernikahan bukan cuma soal nyaman. itu soal masa depan, kestabilan hidup. Kalau kamu terus menuruti perasaan, kamu akan hancur. Darly bisa kasih kamu hidup yang tenang."
Suasana makin panas. Papa masih diam, matanya kini terangkat dari balik koran, tapi dia nggak ikut campur.
Dada Gue terasa semakin sesak. Gue taruh sendok, lalu dorong piring sedikit menjauh. "Mama tadi ngomong kalau aku udah dewasa kan? Pastinya Mama tau, bahwa aku bukan anak kecil yang terus menerus harus kalian atur. Aku sudah bisa menetukan jalan hidup aku sekarang. Tolong, izinkan aku buat memilih sendiri kali ini."
Mama mendengus, suaranya penuh emosi. "Tapi kalau kamu dewasa juga akan ngerti kenapa kami ngelakuin semua ini. Kamu itu anak perempuan, Alya. Sekali salah pilih, hidup kamu bisa hancur. Mama nggak mau itu terjadi."
Gue merasa mata Gue panas, air mata udah ngumpul di ujung tapi Gue tahan sekuat mungkin. "Justru karena aku dewasa, Ma. Aku tau apa yang aku rasain. Aku juga tau aku nggak bisa jalani hidup dengan orang yang nggak aku pilih. Kalau Mama terus maksa... aku rela nggak dianggap anak lagi."
Kalimat itu keluar begitu aja tapi langsung buat ruangan makan hening. Papa menutup korannya perlahan, Mama terdiam dengan mata melebar, wajahnya pucat. Gue sendiri gemetar, tangan mengepal di pangkuan.
"Kamu tega ngomong begini ke Mama?" Mama akhirnya buka suara, lebih pelan tapi dingin.
Gue menghela napas panjang. "Aku nggak tega, Ma. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dengan pilihan orang lain. Aku capek. Aku cuma pengen bahagia dengan pilihanku sendiri."
Mama terdiam, bibirnya rapat seolah menahan kata-kata. Untuk pertama kalinya, Mama nggak langsung balik bentak atau menekan Gue. Papa menatap kami berdua, wajahnya serius, tapi dia tetap nggak ikut campur.
Suasana makin berat. Gue berdiri, menarik napas panjang. "Aku pamit duluan ke kantor Ma, Pa, terimakasih sarapannya."
Tanpa nunggu jawaban, Gue ambil tas kerja dan berjalan cepat keluar ruang makan. Langkah Gue agak goyah, tapi Gue tahan biar nggak keliatan.
Begitu sampe mobil, Gue duduk di kursi depan, menutup mata sejenak. Air mata yang Gue tahan tadi akhirnya jatuh juga.
Di balik rasa sesak itu, ada sedikit kelegaan. Karena untuk pertama kalinya, Gue berani ngomong jujur tentang apa yang Gue mau.
Tapi Gue juga tau, pertempuran ini belum selesai. Mama pasti belum benar-benar menyerah. Dan Gue? Gue harus siap berdiri di jalan sendiri, meski itu berarti harus melawan keluarga sendiri.
Mobil melaju meninggalkan rumah. Di kaca spion, Gue sempat liat bayangan Mama berdiri di depan teras dengan wajah masih muram. Gue nggak tau apa yang ada di pikirannya.
Yang jelas, di hati Gue cuma ada satu suara yang terus berulang. Gue harus cari kebahagiaan Gue sendiri.