Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kondisi Psikis Gendis
"Bu?" Kali ini senyuman sang perawat perlahan pudar, berganti dengan alis yang saling bertautan.
Gendis masih termangu di depan loket. Jemarinya masih gemetar dan keringat dingin mengucur dalam genggaman. Perempuan tersebut tampak menelan ludah kasar.
"Bo-bolehkan saya membaca ulang catatan medis milik saya, Sus?" tanya Gendis dengan suara bergetar.
"Ah, bisa, Bu. Boleh saya lihat kartu identitasnya?" Wajah perawat tersebut kembali cerah karena senyuman yang merekah.
Gendis mengangguk, lalu mengaduk-aduk tasnya. Setelah menemukan dompet yang dia cari, perempuan tersebut menyerahkan kartu identitasnya kepada sang perawat. Perawat tersenyum ketika menerima benda kecil tersebut.
"Sebentar ya, Bu." perawat balik kanan meninggalkan loket.
Gendis duduk di tepi kursi plastik, jari-jarinya saling mengait seperti doa yang tak henti dipanjatkan. Napasnya pendek-pendek, seolah setiap hembusan udara adalah pertaruhan waktu. Matanya terus melirik jam, tetapi jarum-jarum itu terasa sengaja berkhianat, bergerak terlalu lambat.
Dada perempuan itu berdebar seperti genderang perang, menggema sampai ke pelipis. Ada gelisah yang merayap di kulitnya, membuatnya ingin berdiri, berjalan, lalu duduk kembali, seperti ombak yang tak pernah lelah menghantam pantai. Pikirannya berputar, meracik kemungkinan demi kemungkinan, hingga kepala terasa berat oleh bayangan yang belum tentu nyata.
Tak lama berselang terdengar suara langkah mendekat. Perawat tersebut kembali dengan membawa kartu identitas Gendis dan secarik kertas. Dia menyodorkan keduanya kepada Gendis.
"Silakan isi formulir ini, Bu."
Gendis melirik kertas dengan judul permohonan pengajuan rekam medis tersebut. Jemarinya gemetar ketika menerima kertas tersebut. Akhirnya setelah mengumpulkan kekuatan, Gendis berhasil mengambil alih kertas tersebut.
"Silakan," ucap perawat seraya menyodorkan sebuah pulpen.
Gendis tersenyum kaku ketika menerimanya. Dia mulai mengisi formulir tersebut. Keringat yang membasahi tangan ikut membuat kertas itu menjadi lembab.
Usai mengisi formulir dan memastikan semua benar, Gendis menekan bel pada tepi loket. Perawat tadi kembali muncul sambil tersenyum ramah. Gendis menyodorkan formulir tersebut dan diterima oleh si perawat.
"Ibu bisa menunggu kabar melalui ponsel, ya? Kami akan menyiapkan salinannya kurang lebih selama 1-7 hari kerja." Perawat tersebut menyisihkan formulir dan menatap Gendis dengan tatapan ramah.
"Apa nggak bisa sekarang juga, Sus? Saya butuh cepat." Mata Gendis kembali berkaca-kaca ketika permohonan itu dibuat.
"Begini, Bu. Permohonan Ibu masih masuk daftar antrean. Jadi, permohonan Ibu akan ditangani sesuai nomor antrean. Setelah itu, kami harus mencari dokumen rekam medisnya. Kami juga harus mendapatkan persetujuan dari dokter penanggungjawab yang merawat Bu Gendis. Memastikan semua data valid. Barulah bisa mencetak salinannya. Atau kalau Bu Gendis berkenan, kami akan mengirimkannya lewat surel saat semua proses selesai." Perawat tersebut menjelaskan dengan bahasa yang lugas sehingga mudah dimengerti oleh Gendis.
Meski kecewa karena tidak bisa langsung mengetahui rekam medis selama dia dirawat di sana, Gendis akhirnya mengangguk. Dia harus lebih banyak bersabar untuk memenuhi rasa penasaran dan kecurigaan tentang Reina. Sebuah keraguan sekaligus harapan baru bahwa mungkin saja Reina adalah putrinya.
Gendis balik kanan, kemudian melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Tak ada entakan kaki cepat seperti sebelumnya. Dia kini berjalan lunglai dengan bahu merosot untuk kembali ke poli vaksinasi.
"Bu, dari mana?"
Suara Nana memecah lamunan Gendis. Dia terdiam, tak langsung menjawab. Ketika melihat Nana menggendong Reina yang sedang menangis sambil mengayunkan tubuh mungilnya, barulah Gendis tersadar sepenuhnya.
Perempuan tersebut bergegas menghampiri Nana. Dia langsung mengambil alih tubuh Reina, mendekapnya erat, lantas mendaratkan kecupan pada seluruh wajah bayi tersebut. Air mata meleleh dan kini dadanya menjadi semakin sesak.
"Maafkan ibu, Rei. Maaf, lain kali ibu akan menemanimu lagi saat imunisasi. Maaf karena sudah egois."
Kini mereka menjadi pusat perhatian. Nana memperhatikan sekeliling sambil tersenyum canggung. Mengangguk sesekali sebagai permintaan maaf, berharap pengunjung lain memaklumi situasi mereka.
"Bu, ayo kita masuk ke mobil. Segera susui Reina untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi rasa sakit dari bekas suntikan." Nana berbicara dengan suara lirih kali ini, perempuan tersebut berharap Gendis tidak semakin histeris.
Sebuah hela napas kasar keluar dari bibir Nana ketika melihat Gendis mengangguk. Keduanya kini membelah tatapan aneh orang-orang dengan menahan rasa panas pada wajah. Mereka berjalan perlahan menuju tempat parkir.
Setelah masuk ke mobil, Gendis langsung mengeluarkan sumber ASI-nya. Reina langsung menyesap kuat-kuat seakan ingin menghabiskan isinya sekaligus. Tangis Gendis pun sudah reda.
Proses menyusui tidak hanya bisa menenangkan Reina, tetapi juga membuat Gendis juga merasa lebih nyaman. Nana tak banyak bicara. Dia hanya menatap Gendis dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bu, mau saya bantu gendong Reina?" tanya Nana ketika mobil sudah berhenti.
Gendis masih setengah melamun. Dia menatap keluar. Kini mereka sudah ada di depan rumah dan pintu mobil telah terbuka.
Gendis tak menjawab. Dia memilih untuk keluar dengan mendekap Reina Sendiri. Langkahnya pelan dan sedikit gontai.
Nana menghela napas perlahan. Dia pun turun dari mobil. Ketika memasuki rumah, Nana berpapasan dengan Hiro.
"Pak," panggil Nana sehingga membuat Hiro menghentikan langkahnya.
Nana melangkah cepat mendekati Hiro. Dia meletakkan tas bayi ke atas meja. Jemarinya meremas satu sama lain. Nana menelan ludah, seolah menimbang kata-katanya sebelum akhirnya keluar.
"Ini soal Bu Gendis, Pak," ucap Nana lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh dengung AC.
Hiro mengangkat wajah, keningnya sedikit berkerut. "Kenapa dengan Gendis?"
Perempuan itu menoleh sekali lagi ke arah pintu kamar, memastikan Gendis sudah benar-benar masuk. Baru kemudian ia bersuara lagi, kali ini lebih tegas.
"Pak, saya ... saya khawatir. Tadi di rumah sakit, Bu Gendis seperti orang yang hilang kendali. Waktu saya tinggal sebentar, beliau pergi sendiri entah kemana. Lalu waktu kembali, beliau menangis di depan umum. Orang-orang sampai memperhatikan kami."
Hiro terdiam. Jemarinya terlipat di depan dada, mata menatap kosong pada lantai seperti sedang menimbang sesuatu yang rumit. Nana melanjutkan, suaranya gemetar karena takut salah bicara.
"Saya tahu, beliau ibu susunya Reina. Tapi ... bagaimana kalau emosinya yang tidak stabil itu suatu saat berbahaya buat Reina? Saya takut beliau ... tidak sanggup mengendalikan diri."
Kata-kata itu menggantung di udara. Hiro menarik napas panjang. Ada kilat emosi yang singkat melintas di matanya, tetapi Hiro dengan cepat menyembunyikannya dengan senyum tipis.
"Terima kasih sudah jujur, Na. Saya mengerti kekhawatiranmu. Tapi Gendis bukan orang sembarangan," Hiro menambahkan dengan suara tenang.
"Dia mungkin terlihat rapuh, tapi saya yakin dia sedang berjuang. Kalau dia bertahan sejauh ini demi Reina, berarti dia punya alasan yang kuat. Dan saya percaya dia tidak akan menyakiti Reina."
Nana menggigit bibir. Ada rasa lega mendengar Hiro tetap membela ibu susu Reina itu, tetapi juga terselip rasa cemas karena suaranya tak sepenuhnya didengar.
"Baik, Pak," gumam Nana, lalu meraih tas bayi lagi.
Hiro menepuk bahu Nana sekilas, memberi isyarat bahwa pembicaraan mereka selesai. Namun, pikirannya belum benar-benar tenang. Ada sesuatu di balik sorot mata Gendis yang tadi dia lihat sekilas. Seperti seseorang yang menyimpan badai di dadanya.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki