INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Credere In Lui?
Ingrid berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya yang sudah rapi dengan seragam sekolah. Ia merapikan rambutnya, mengikatnya dengan sederhana, lalu mengambil tas dan kruknya sebelum keluar dari kamar. Saat menutup pintu dia berpapasan dengan Marcello, yang juga siap pergi ke sekolah.
Keduanya saling bertatapan dalam diam. Tak ada sapaan, tak ada senyuman. Hanya keheningan yang menggantung di udara sampai Marcello membuka suara.
"Ingin pergi bersamaku?" tanyanya dengan canggung.
Sebelum Ingrid sempat menjawab, sebuah suara lain menyela dengan nada santai, namun penuh ketegasan.
"Dia akan pergi denganku. Bukan begitu, Amore?"
Frenzzio berdiri di sisi mereka, memasang senyum khasnya yang penuh misteri.
Ingrid menarik napas pelan, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku akan berangkat sendiri, terima kasih."
Frenzzio tertawa kecil, seolah sudah menduga jawabannya. "Berjalan? Dengan kaki seperti seperti itu? Jika kau ingin naik taksi, kau harus berjalan jauh hingga ke jalan utama. Tidak ada kendaraan sembarangan yang bisa masuk ke kawasan ini, Ingrid."
Langkah Ingrid terhenti. Ia mendengus pelan dalam hati, menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain kecuali menerima salah satu tawaran di hadapannya. Antara Frenzzio atau Marcello.
Akhirnya, dengan enggan, ia menatap Marcello dan berkata, "Aku akan pergi bersamamu."
Sudut bibir Marcello terangkat tipis, sebuah ekspresi kemenangan kecil yang ia sembunyikan. "Ayo."
Mereka berjalan melewati Frenzzio, Ingrid sempat melirik ke arahnya. Mata mereka bertemu. Frenzzio masih dengan ekspresi santainya, tidak menunjukkan kekecewaan sedikit pun.
"Nikmatilah selagi bisa."
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
Di dalam mobil, suasana hening. Marcello fokus menyetir, sementara Ingrid menatap jendela, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya.
Setelah beberapa lama, Marcello berdeham. "Bagaimana keadaanmu? Lebih baik?"
Ingrid sekilas meliriknya dari ekor mata. "Hm. Terima kasih ... sudah membawakan barang-barangku dan ... menolongku."
"Di perpustakaan saat itu ... Kau menolongku, namun pergi begitu saja."
"Aku belum siap untuk bertemu dirimu." Meskipun berbincang, Ingrid dan Marcello saling membuang muka satu sama lain. "Aku telah mengawasimu sejak kau tiba di bandara." Marcello berkata jujur.
Ingrid melirik ke saudara kembarnya.
"Kau memakai jaket merah—"
"Kau yang memberikannya."
Marcello sontak melihat ke arah Ingrid. "Kau tahu? Tapi kenapa kau masih menggunakannya?"
"Ayah yang menyuruhku menyimpannya."
Hati Marcello sedikit menghangat mendengar ucapannya. Senyum kecil muncul di wajahnya. Setidaknya Ingrid mau menerima pemberiannya. "Bisakah kita berbaikan? menjadi sauda—"
"Tidak perlu mengucapkan itu," potong Ingrid dingin. "Tetaplah menjadi Marcello dan jaga jarak dariku."
Senyum di wajah Marcello memudar perlahan. Ia tahu ini tidak akan mudah. Ingrid masih belum siap menerimanya. Tapi ia tidak akan menyerah.
Tak ada lagi percakapan hingga mobil mereka berhenti di tempat parkir sekolah. Ingrid keluar lebih dulu, diikuti oleh Marcello.
Beberapa siswa mulai memperhatikan mereka. Berbisik-bisik, menatap penuh rasa penasaran. Siapa gadis yang baru saja turun dari mobil Marcello?
Saat Ingrid tengah berjalan, sebuah suara familiar memanggil namanya.
"Ingrid!"
Elsa berlari mendekat dengan ekspresi lega. "Akhirnya kau kembali. Aku sangat terkejut saat si anak manja itu bilang kau mengalami kecelakaan. Bagaimana keadaanmu?"
Marcello yang berdiri tak jauh hanya diam, mendengarkan percakapan mereka.
Ingrid tersenyum kecil. "Hanya cedera di kaki, tapi sudah membaik."
Elsa mendengus. "Syukurlah. Aku ingin menjengukmu, tapi si anak manja itu tidak mengizinkan. Menyebalkan!"
Setelah menyadari keberadaan Marcello, Elsa menatap Ingrid dengan curiga. "Tunggu ... bagaimana bisa kau datang bersama Marcello?"
"Itu hanya kebetulan," jawab Ingrid cepat.
Elsa menyipitkan mata. "Apa kau dan dia memiliki hubungan spesial?" tanyanya dengan antusias.
Ingrid terbelalak. "Tidak! Itu tidak mungkin."
"Apa yang tidak mungkin? Aku melihatnya sendiri!" goda Elsa.
"Bisa kita lupakan itu?" Ingrid mendesah. "Bicarakan hal lain saja, kumohon."
Elsa menghela napas. "Baiklah."
Saat mereka berjalan, Elsa tiba-tiba saja teringat sesuatu. "Oh, ngomong-ngomong, malam ini akan di adakan pesta penyambutan! Kau harus datang."
"Aku tidak bisa."
"Apa?! Kau harus datang! Kita akan berbelanja setelah sekolah usai. Tidak ada penolakan."
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
Saat waktu istirahat, Ingrid pergi ke belakang sekolah bersama Navarro. Pria itu menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan.
"Kau seharusnya memberitahuku tentang Marcello," kata Ingrid dengan suara pelan, sarat akan kekecewaan. "Kau membuatku seperti orang bodoh, Navarro. Aku kecewa padamu."
Navarro menunduk. "Aku tahu. Aku minta maaf. Aku hanya berpikir ... kalau kau tahu Marcello ada di sini, kau tidak akan mau datang ke kota ini."
"Ada atau tidaknya dia, aku tetap akan datang."
Navarro menatapnya dengan curiga. "Untuk apa, Ingrid?"
Ingrid mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Ia hampir membocorkan alasan sebenarnya ia datang ke kota ini.
"Kau tidak perlu tahu, Navarro," elaknya, berbalik untuk pergi.
Namun Navarro menangkap pergelangan tangannya. "Jawab aku!"
"Lepaskan!"
"Navarro kau menyakitiku!"
"Kau tidak dengar? Lepaskan dia," sebuah suara berat menggema di udara.
Navarro langsung melepaskan genggamannya. Ingrid menoleh, mendapati Frenzzio berdiri tak jauh dari mereka, matanya berkilat tajam.
Navarro mendesah. "Apapun rencanamu, Ingrid ... jangan sampai kau menyesal. Ian menyayangimu."
Ia melirik Frenzzio dengan tajam sebelum pergi.
Ingrid menggigit bibirnya, menatap punggung Navarro yang menjauh.
"Apa?" tanyanya malas saat sadar Frenzzio masih di sana.
Frenzzio melangkah lebih dekat, menatapnya intens. "Aku bisa memberikan semua informasi yang kau butuhkan."
Ingrid mematung panik. Namun, berusaha bersikap biasa saja. "Aku tidak mengerti maksudmu?"
Frenzzio tersenyum miring. "Kau butuh informasi untuk membalas kematian ayahmu."
Mata Ingrid membesar.
Frenzzio berbisik di telinganya. "Kita bertemu di pesta, Amore."
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
Saat senja, Ingrid berdiri di trotoar, menyesali keputusannya menolak tawaran Elsa untuk mengantarnya sepulang menemani Elsa berbelanja. Ia lupa bahwa ia tidak tahu alamat kediaman barunya.
Ia mengeluarkan ponsel dan melihat daftar kontaknya.
menimang-nimang apakah ia harus mengesampingkan egonya dan menelpon Marcello?
Dia sadar bahwa ia tidak memiliki nomor Marcello. Hanya ada Navarro dan ... Frenzzio.
Yang sekarang hanya satu orang yang paling memungkinkan untuk bisa dihubungi, Frenzzio
Dengan enggan, ia meneleponnya.
Panggilan tersambung. Anehnya, ia mendengar suara dering ... tepat di belakangnya.
Ia berbalik dan menemukan Frenzzio berdiri di sana, memegang ponselnya yang berdering.
Ingrid mengerutkan dahi. "Kau membuntutiku?!"
Frenzzio terkekeh. "Tidak juga. Aku di sini sejak tiga puluh menit lalu, menontonmu kebingungan."
Ingrid mendengus. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?"
Frenzzio tersenyum. "Karena aku suka melihat ekspresi kesalmu."
Ingrid menghela napas, terlalu lelah untuk berdebat. "Kau mengantarku pulang atau tidak?" tanyanya dengan nada malas.
Frenzzio menyeringai. "Tentu, Amore. Masuklah."
Frenzzio membukakan pintu untuk Ingrid. Begitu Ingrid duduk, ia menyadari sesuatu—aroma parfum Frenzzio memenuhi ruangan sempit ini, aroma maskulin yang hangat, segar, dan sedikit memabukkan.
Ingrid menyukainya.
Frenzzio masuk setelahnya dan menyalakan mesin mobil, melirik Ingrid sekilas. "Sabuk pengaman, Amore."
Ingrid mendecak dan meraih sabuk pengamannya, namun entah apa yang terjadi. Ia kesulitan dengan sabuk pengamana itu. Sebelum ia bisa protes, Frenzzio sudah lebih dulu membungkuk ke arahnya, tangan besarnya menarik sabuk dan menguncinya dengan gerakan lambat.
Napas Ingrid tercekat saat wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menangkap mata biru gelap milik Frenzzio yang menatapnya dengan intens.
"Apa kau gugup?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Tidak."
"Benarkah?" Frenzzio tersenyum tipis. Tangannya, yang semula berada di sabuk pengaman, kini bergerak menyentuh dagu Ingrid, mengangkatnya sedikit agar ia bisa melihat reaksi gadis itu lebih jelas.
Ingrid menahan napas, tapi tidak menghindar.
"Sebaiknya kau menyetir," katanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.
Frenzzio menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya melepaskan dagunya dengan gerakan lembut. "Tentu."
Mobil melaju, namun jantung Ingrid masih berdetak lebih cepat dari mobil yang melaju di sirkuit balap.
... •┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid sampai di kamarnya, ia lelah setelah seharian penuh dengan aktivitas yang menguras tenaga. Belum lagi setelah ini ia harus pergi ke pesta.
Melelahkan.
Ingrid membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya. Ia melihat ke samping dan menyadari bahwa ada sebuah kotak di atas kasurnya.
Dilihat dari kotaknya Ingrid sudah dapat menebak siapa pengirimnya. Ingrid mengubah posisinya menjadi duduk. Ia membawa kotak itu mendekat lalu membukanya. Di dalam kotak itu terdapat setangkai krisan merah, sebuah surat dan gaun berwarna biru.
Ingrid mengeluarkan gaun itu. "Indah." Ingrid meraih surat dari Frenzzio.
...Dirimu akan terlihat sangat menawan dengan gaun biru....
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...