Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Hujan kembali turun sore itu. Tapi kali ini, tak ada kesedihan di balik tirai air yang mengguyur atap rumah kontrakan mereka. Nina duduk bersandar di sofa mungil, mengenakan sweater kebesaran milik Devan, dan memeluk bantal sambil membaca buku tentang kehamilan.
Devan masuk dari dapur dengan dua cangkir teh melati hangat.
“Tehnya nggak pake gula ya,” katanya sambil menyerahkan cangkir ke tangan Nina.
“Kok tahu?”
“Karena kamu lagi sensitif banget sama rasa manis akhir-akhir ini.”
Nina tertawa kecil, apa yang di katakan oleh Devan memang benar adanya, lalu ia meminum perlahan.
“Aku suka sore kayak gini,” gumamnya.
Devan duduk di lantai, menyandarkan punggungnya di kaki Nina.
“Sore kayak gini,” lanjut Nina sambil mengusap rambut Devan, “bikin aku ngerasa rumah ini lengkap.”
Cup
Devan mengecup pipi Nina. "Aku sayang sama kamu" bisik Devan membuat Nina tersenyum lebar.
Setelah selesai minum teh, Raka menarik tangan Nina.
“Ayo.”
“Kemana?” tanya Nina bingung.
Devan membimbingnya ke dapur, lalu menunjukkan meja makan yang sudah dihias sederhana dengan lilin-lilin kecil dan bunga kering di tengahnya.
“Makan malam romantis?”
“Bukan,” kata Devan. “Makan malam lucu. Soalnya aku yang masak.”
Nina terkekeh saat melihat dua piring nasi goreng buatan Devan yang bentuknya tidak karuan. Tapi aromanya sangat menggoda.
“Rasanya mungkin gagal, tapi hatiku niat,” ucap Nina sambil menyuapkan sesendok kecil ke mulut Nina.
Nina memejamkan mata, lalu membuka perlahan. “Lumayan! Lebih enak dari waktu kamu goreng telur dua minggu lalu.”
“Kemajuan dong,” balas Devan dengan bangga.
Setelah makan, mereka duduk berdua di lantai dapur, bersandar di lemari es sambil mendengarkan lagu-lagu lawas yang mengalun dari ponsel Nina.
“Van?” tanya Nina pelan.
“Ya, sayang?”
“Kamu pernah mikir, kalau kita nggak jadi nikah waktu itu... hidup kita bakal gimana?”
Devan menatap langit-langit sebentar. “Aku mungkin masih sendiri, pura-pura kuat, padahal kesepian. Dan kamu... mungkin tetap senyum di luar, tapi nahan luka di dalam.”
Nina mengangguk. “Iya. Tapi sekarang... semuanya terasa pas. Kamu, aku, rumah kecil ini.”
Devan mendekat, menyentuh pipi Nina, lalu berkata, “Kamu tau, Nin, sejak kita menikah... aku jadi percaya sama satu hal.”
“Apa?”
“Kalau cinta sejati bukan soal rasa yang langsung besar. Tapi soal keberanian mencintai setiap hari, sekecil apa pun usahanya.”
Malam itu, listrik di rumah padam karena hujan deras.
“Ya ampun, ini kayak film,” kata Nina sambil menyalakan lilin.
Devan tertawa. “Tapi kamu nggak takut, kan?”
“Nggak. Soalnya ada kamu.”
Tiba-tiba, Devan mengambil jaket dan payung.
“Ngapain?”
“Ayo keluar sebentar.”
“Van, hujan!”
“Justru itu.”
Dengan penasaran, Nina mengikuti. Mereka berjalan keluar rumah. Di tengah hujan yang masih gerimis, Devan membentangkan payung dan menarik Nina ke bawahnya.
Mereka berjalan menyusuri gang kecil di depan rumah mereka. Air menggenang di beberapa titik, tapi mereka tidak peduli.
“Ssst...,” Devan berhenti.
Di bawah sinar lampu jalan yang remang, ia menatap Nina dalam-dalam.
“Di bawah langit yang basah ini,” bisiknya, “aku pengen nyium kamu kayak di film-film.”
Nina tertawa. “Kamu cheesy banget.”
“Ya, tapi kamu senyum.”
Dan Devan pun menciumnya—perlahan, hangat, dan dalam. Hujan menjadi musik latar, dan dunia terasa berhenti sejenak.
Malam itu mereka tidur berpelukan, tanpa banyak bicara. Hanya hembusan napas dan detak jantung yang saling beriringan.
Devan mengusap perut Nina yang masih datar. “Halo kamu yang di dalam sana... Maaf ya, ayah kamu sempat bodoh. Tapi sekarang aku janji... aku bakal belajar terus. Supaya kamu punya ayah yang nggak sempurna, tapi setia.”
Nina mengusap rambut Devan. “Kita akan baik-baik saja, Van.”
“Bukan cuma baik. Kita akan bahagia.”
Dan malam itu, mereka percaya: cinta tak harus meledak seperti petir. Cinta bisa tumbuh seperti hujan yang turun perlahan… tapi menyuburkan segalanya.
*
Pagi itu, Nina baru saja selesai muntah ketika bel pintu rumah kontrakan berbunyi. Masih lemas, ia berjalan ke pintu dan membuka. Di hadapannya berdiri sosok yang sudah ia kenal baik—dan waspadai—yakni Ibunya Devan, dengan kantong besar di kedua tangannya.
“Astagfirullah, kamu pucat banget, Nina! Nih, bunda bawain jamu kunyit asam, susu hamil, dan kue beras buat kamu. Nggak boleh makan sembarangan, lho!”
Nina tersenyum kaku. “Terima kasih, Bun... Maaf, tadi saya baru muntah.”
“Nah, makanya! Itu tandanya kamu nggak jaga makan! Bunda udah bilang, ya, kamu hamil itu bukan sakit. Tapi tetap harus disiplin.”
Nina hanya bisa mengangguk.
Bunda masuk, langsung mengatur isi kulkas, mengangkat taplak meja, bahkan mengganti bantal kursi sofa dengan sarung bantal bermotif bunga merah.
Nina hanya berdiri mematung di ambang pintu dapur, tak tahu harus menanggapi bagaimana.
Sore harinya, Devan pulang dan langsung disambut Ibu yang langsung bicara dengan nada perintah.
“Besok kamu antar Nina ke dokter yang bunda rekomendasikan, ya. Namanya Bu Dokter Yusni. Langganan keluarga besar kita dari zaman sepupu kamu dulu. Nggak usah ke bidan kampung kayak kemarin itu.”
Devan hanya mengangguk. “Iya, Bun…”
Setelah Ibu pulang, Devan duduk di sofa. Nina sedang diam membersihkan meja makan dengan gerakan perlahan.
“Nina…”
“Aku capek, Van.”
Devan berdiri, mendekat. “Aku tahu. Maaf, aku juga nggak bisa banyak bantu waktu Ibu mulai ambil alih semuanya.”
Nina menoleh dengan mata sembab. “Ini anak kita. Tapi kenapa aku merasa semua orang mau ambil keputusan untuk kita?”
Devan terdiam.
Di malam hari, Nina duduk sendirian di dapur, menatap daftar nama bayi yang tadi dicetak Ibu dan ditinggalkan di meja makan.
“Kalau anak perempuan, pakai nama Al-Zahra. Kalau laki-laki, nama Arfian. Bagus dan islami,” begitu catatannya.
Nina meremas kertas itu pelan.
Saat Devan masuk, ia langsung bicara sebelum Devan sempat duduk.
“Van, aku tahu kamu sayang sama bunda-mu. Aku juga. Tapi aku butuh tahu… kamu akan berdiri di pihak kita, atau terus diam dan membiarkan semua dikendalikan?”
Devan menoleh dan menatap mata Nina yang berair. Wajahnya letih, tapi sorot matanya tegas.
“Aku nggak pernah mau nyakitin Bunda. Tapi aku juga nggak mau kamu kehilangan kendali atas hidupmu.”
Nina tertawa pahit. “Aku bahkan nggak bisa milih susu apa yang mau aku minum tanpa dikoreksi.”
Devan menarik napas dalam. “Mulai besok… kamu yang tentukan. Dokter, nama, semua. Aku akan bicara ke Bunda.”
Nina memejamkan mata. “Kamu yakin bisa?”
“Aku belajar dari kesalahan kemarin, Nin. Diam itu bukan bentuk kasih sayang. Kadang, justru itu pengkhianatan kecil yang melukai.”
Esok paginya, Devan menelepon bundanya sebelum berangkat kerja.
“Bunda, aku mau ngomong.”
“Ya, Nak?”
“Bunda pasti tahu, aku dan Nina sedang belajar jadi orang tua. Tapi kalau semua Ibu yang atur, kami nggak belajar apa-apa. Kami cuma nurut. Itu bukan jadi orang tua, Bun. Itu jadi anak-anak yang terus dibimbing tanpa boleh jatuh sendiri.”
“Devan—”
“Bunda boleh tetap terlibat. Tapi jangan kendalikan. Ini hidup kami, Bun. Bukan proyek keluarga.”
Lama hening di seberang.
Sampai akhirnya Ibu berkata pelan, “Kamu Devan mulai berani ya, Nak…”
Devan tersenyum, walau sedikit getir. “Karena aku takut kehilangan rumahku sendiri, Bun. Nina.”
Setelah itu Devan memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, ia menghela nafasnya kasar.
Sore harinya, Nina duduk di teras rumah. Di tangannya ada secangkir cokelat hangat. Devan datang dengan plastik berisi cemilan favorit Nina.
“Cilok kuah dan donat kampung?”
“Semua demi anak kita,” kata Devan sambil duduk di sampingnya.
Nina menyender ke bahu Devan. “Tadi aku lihat daftar dokter yang kamu kirim. Aku suka yang di RS kecil dekat taman kota itu.”
“Kita kesana minggu depan ya. Dan… soal nama, kita buat daftar berdua nanti malam?”
Nina tersenyum. “Boleh. Tapi aku maunya nama yang kalau disebut… rasanya seperti kita menyebut harapan.”
Malam itu, mereka tidur dengan posisi yang sama seperti malam-malam hangat sebelumnya. Nina menyentuhkan tangan Devan ke perutnya.
“Dengar ya, Nak... Ayah kamu mulai berani, walau pelan-pelan.”
Devan mencium kening Nina. “Dan kamu ibu paling kuat yang bisa ku minta.”
Mereka pun tertidur, berpelukan, dengan hati yang pelan-pelan kembali tenang.