Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제12장
Ha Young membuka pintu apartemennya pelan. Di ruang tamu, Yeo Jin dan Eunjung sudah menunggu. Eunjung berdiri seketika, wajahnya cemas.
“Kami ke mana saja? Aku sudah coba hubungi berkali-kali,” ujarnya, suaranya penuh kekhawatiran.
Namun Ha Young hanya diam. Raut wajahnya tampak kosong, matanya redup, langkahnya pelan. Ia melewati mereka tanpa sepatah kata, seolah tubuhnya berjalan lebih dulu dari jiwanya. Yeo Jin dan Eunjung saling berpandangan, tak berani bertanya. Mereka tahu, Ha Young sedang tenggelam lagi ke dalam kesedihan yang tak mereka mengerti.
Pintu kamar tertutup. Di dalam, Ha Young menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Nafasnya berat. Ia menatap langit-langit, lalu memejamkan mata. Kepalanya penuh, dadanya sesak.
“Andai saja aku dilahirkan dalam keluarga yang bahagia... andai saja CEO Jung bukan ayahku...”
Pikiran itu kembali menghantui. Ia muak. Muak dengan peran yang dipaksakan padanya. Muak dengan luka yang tak pernah sembuh.
Ia teringat satu malam, saat usianya baru delapan belas tahun. Ia memberanikan diri mencari alamat ibunya. Ia ingin tahu, ingin bertemu, ingin merasakan pelukan yang sudah lama hilang.
Namun ayahnya menemukan kertas itu.
“Apa kau tidak ingat bahwa ibumu meninggalkanmu? Kenapa kau ingin mencarinya?”
CEO Jung merobek kertas itu di depan matanya, suaranya penuh kemarahan.
Ha Young menatapnya tajam. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu, kemarahan ayahnya bisa berubah menjadi hukuman yang lebih dingin dari kata-kata.
“Aku ingin menemui ibu karena aku merindukannya. Apa hak ayah untuk melarangku?”
Suaranya bergetar, tapi matanya tetap menantang.
“Jangan pernah merindukan wanita yang tidak pernah memikirkanmu,” suara ayahnya terdengar dingin, tajam. “Lebih baik lupakan dia. Jika perlu, anggap dia sudah tiada.”
Ha Young berdiri di ambang pintu ruang kerja ayahnya, tangannya menggenggam sobekan kertas alamat itu. Matanya berkaca-kaca, tapi suaranya tegas. “Ayah tidak bisa mengaturku. Aku tetap akan menemuinya.”
“Jika kau coba menemuinya lagi, aku akan pastikan kau tidak akan pernah bertemu dengannya seumur hidupmu.” Ancam ayahnya
Ha Young terdiam menatap ayahnya, tubuhnya gemetar. “Ayah sangat kejam. Kenapa ayah lakukan ini padaku?”
“Ini demi kebaikanmu,” jawab CEO Jung, nadanya tetap datar. “Aku tidak ingin kau hidup menyedihkan seperti ibumu.”
Ucapan itu menghantam Ha Young seperti palu. Ia berbalik, berlari ke kamarnya, air mata mengalir deras. Ia mengunci pintu, lalu menjatuhkan diri ke lantai, tubuhnya menggigil. Rasa rindu yang selama ini ia pendam berubah menjadi luka yang dalam, tak terucapkan.
Tiga hari kemudian, tubuhnya menyerah. Ia jatuh sakit, demam tinggi, dan akhirnya dirawat di rumah sakit karena depresi. Tapi bahkan saat itu, ayahnya tidak menunjukkan empati. Tidak ada pelukan, tidak ada kata maaf.
Dan ketika ia mulai pulih, ayahnya membuat keputusan sepihak: Ha Young dikirim ke Inggris untuk melanjutkan sekolah. Jauh dari rumah, jauh dari ibunya, jauh dari semua yang ia kenal.
Awalnya, Ha Young menolak untuk percaya. Ia mempertahankan harapan kecil bahwa ibunya akan datang, akan mencari tahu keadaannya, akan memeluknya dan berkata bahwa semua ini hanya kesalahpahaman. Tapi waktu terus berjalan, dan harapan itu tak pernah menjadi kenyataan.
Ia mulai memikirkan semuanya dengan lebih matang. Ia menyadari kekeliruannya: selama ini, hanya dirinya yang berusaha keras menemui sang ibu. Hanya dirinya yang menangis di malam sepi, menulis surat yang tak pernah terkirim, menyimpan foto lama yang mulai pudar. Sang ibu... bahkan tak pernah bertanya. Tak pernah datang. Tak pernah mencoba.
Rasa rindu yang mendalam itu, yang dulu ia peluk erat seperti selimut di musim dingin, kini perlahan berubah bentuk. Tanpa ia sadari, rasa itu menumbuhkan sesuatu yang lain rasa kecewa, rasa marah, dan akhirnya... rasa benci.
Ia sering bertanya dalam hati, “Jika ibu benar-benar menyayangiku, kenapa ia pergi tanpa membawaku? Kenapa ia hanya memikirkan dirinya sendiri?”
Pertanyaan itu tak pernah dijawab. Dan dalam diam, Ha Young mulai membangun tembok di dalam dirinya tembok yang memisahkan antara cinta yang tak terbalas dan luka yang tak bisa disembuhkan.
**
Pagi itu, Ha Young tampak ceria. Senyumnya mengembang, langkahnya ringan, dan matanya memancarkan semangat yang tak biasa. Tapi di balik semua itu, ada tekad yang baru tumbuh tekad untuk melawan keegoisan dan ketamakan sang ayah, meski harus bermain di medan yang sama: licik dan penuh risiko.
Ia tahu, jalan yang akan ia tempuh bukan jalan yang aman. Tapi ia juga tahu, kebahagiaan dan ketenangan tidak akan datang jika ia terus hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan CEO Jung. Maka ia memilih untuk bermain sesuai aturan sang ayah mengikuti, berpura-pura patuh, sambil menyusun langkah pelarian yang tak terduga.
Bersama Yeo Jin dan Eunjung, Ha Young melangkah memasuki koridor utama Geumseong Entertainment. Ia menyapa setiap staf yang lewat dengan senyum hangat, seolah tak ada beban yang ia pikul. Aura bintangnya tetap bersinar, tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mengenalnya lebih dalam.
Yeo Jin memperhatikan gerak-gerik Ha Young dengan alis mengernyit. “Dia terlalu tenang,” gumamnya pelan.
Eunjung mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Ha Young. “Dia sedang menyembunyikan sesuatu. Aku bisa lihat dari cara dia tersenyum... itu bukan senyum yang ringan.”
Mereka berdua saling berpandangan, tak berani bertanya. Mereka tahu, Ha Young sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dan seperti biasa, ia memilih untuk melawan dalam diam.
Di dalam dirinya, Ha Young sudah siap. Ia tahu setiap langkahnya bisa berujung pada kehancuran. Tapi ia juga tahu, jika ia tidak melawan sekarang, maka seluruh hidupnya akan tetap dikendalikan oleh tangan yang tak pernah benar-benar menyayanginya.
Saat tiba di ruangannya, langkah Ha Young terhenti. Di sana, berdiri Mina menunggunya dengan sorot mata yang menyala penuh kemarahan. Sebelum Ha Young sempat berkata apa pun, Mina melangkah cepat dan menampar wajahnya keras.
Yeo Jin dan Eunjung yang baru saja masuk sontak terbelalak. “Mina!” seru Eunjung, tapi Mina tak bergeming.
Ha Young menahan napas, wajahnya menoleh akibat tamparan itu. Ia perlahan menatap Mina, senyum kesal tersungging di bibirnya. “Apa yang kamu lakukan, Mina-ssi?” tanyanya, suaranya dingin, penuh kendali.
Mina mendekat, matanya berkilat. “Kamu gak tahu? Tanyakan saja pada ayahmu... apa yang sudah dia lakukan pada ayahku. Sekarang ayahku dirawat di rumah sakit.”
Ha Young mengerutkan kening, tapi tetap tenang. “Jika itu masalahmu, seharusnya kamu gak datang kemari dan membuat keributan denganku. Karena kamu salah orang.”
“Salah orang?” Mina mendesah kecil, suaranya penuh luka. “Karena dirimu, ayahku dipukuli oleh CEO Jung. Ayahku dihukum karena kesalahan yang kamu buat. Kamu berpura-pura tidak tahu bahwa Songhwa Entertainment milik ayahmu. Kamu bahkan ingin pindah agensi, seolah ayahku tidak pernah mengurusi kebutuhanmu dengan baik.”
Ha Young terdiam. Kata-kata itu menusuk, tapi bukan karena kebenarannya melainkan karena luka yang dituduhkan padanya. Ia tahu, ayahnya mampu melakukan hal-hal seperti itu. Tapi ia juga tahu, ia bukan pelakunya. Ia hanya bagian dari sistem yang tak pernah ia pilih.
“Hey, Song Mina. Berhentilah menyalahkan orang lain,” ujar Ha Young tajam. “Kamu bertingkah seperti artis amatiran yang takut melihatku sukses. Aku hanya mewujudkan keinginan CEO Song. Bukankah dia sendiri yang berniat menendangku dari agensi ini?”
Mina melangkah maju, wajahnya merah padam. “Aku tidak main-main, Jung Ha Young. Kamu benar-benar membuatku muak!” serunya, lalu mengangkat tangan hendak menampar Ha Young untuk kedua kalinya.
Namun kali ini, Ha Young sigap. Ia mencekal tangan Mina sebelum sempat menyentuh wajahnya.
“Jadi kamu kira aku main-main?” ujar Ha Young, senyum sinis terbit di wajahnya. “CEO Song membuat kesalahan karena memilih bekerja pada ayahku. Seharusnya dia tahu resikonya.”
Ia menghempaskan tangan Mina dengan dingin. “Jangan datang kemari hanya untuk merengek tentang ayahmu. Dan jika kamu berani menamparku lagi seperti tadi, aku akan membalasmu dua kali lipat. pergi dari hadapanku sekarang juga!”
Mina menatapnya penuh kebencian. “Aku tidak akan tinggal diam, Jung Ha Young. Kamu akan lihat balasanku karena membuat ayahku seperti ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Mina berbalik dan pergi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Ha Young menghela napas panjang, lalu duduk perlahan di sofa. Pipinya masih memerah, bekas tamparan yang baru saja ia terima.
Eunjung yang panik segera berlari keluar ruangan, hendak mengambil air kompres. Yeo Jin, yang masih berdiri di dekat meja, mencoba mengalihkan suasana. Ia menyalakan televisi, berharap ada hiburan ringan yang bisa meredakan ketegangan.
Namun layar justru menampilkan sesuatu yang membuat mereka terdiam.
“CEO Jung Dam Bi terlihat hangat dan penuh perhatian saat mengunjungi panti jompo pagi ini. Dalam kegiatan sosial tahunan Geumseong Grup, beliau secara langsung membagikan makanan kepada para lansia...”
Ha Young menatap layar itu lama. Wajah ayahnya tersenyum, menyuapi seorang nenek tua dengan penuh kelembutan. Kamera menangkap momen itu dengan indah, seolah dunia sedang menyaksikan seorang pemimpin yang penuh kasih.
Yeo Jin menoleh ke arah Ha Young, yang kini menatap layar dengan mata kosong.
“Lucu, sekali,” gumam Ha Young pelan. “Di depan kamera, dia memberi makan orang tua. Tapi di rumah... dia menghancurkan putrinya sendiri.”
Di ruang investigasi, Detektif Han berdiri di depan papan bukti. Di tangannya, berkas hasil forensik yang baru saja ia terima dari laboratorium pusat. Jae Wan duduk di kursi, menunggu dengan gelisah.
“Sudah keluar,” ujar Min Seok, suaranya pelan tapi tegas. “Jejak ban di TKP... identik dengan pola ban mobil CEO Jung.”
Jae Wan menatapnya tajam. “Kamu yakin?”
Min Seok mengangguk. “Pola ausnya, lebar tapak, bahkan serpihan karet yang tertinggal di TKP. Semua cocok. Tidak ada keraguan.”
Kepala tim Park berdiri, mendekati papan. “Tapi itu belum cukup. Kita butuh bukti bahwa mobil itu mengalami kerusakan setelah kejadian. Bukti bahwa mobil itu dibawa ke bengkel. Itu akan mengikat semuanya.”
Detektif Han mengangguk. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan.” Ujarnya pada Min Seok
Min Seok mengangguk, paham dan sependapat tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Hari itu, Jae Wan dan Min Seok berbagi tugas menyusuri jalanan kota dengan daftar bengkel terbaik di tangan mereka. Ia tahu, dua tahun lalu, hanya bengkel-bengkel tertentu yang mampu menangani mobil kelas eksekutif seperti milik CEO Jung.
Jae Wan mendatangi bengkel pertama namun Bengkel pertama: tidak memiliki catatan Mobil yang ia cari. Bengkel kedua: pemiliknya sudah pindah. Bengkel ketiga: arsip digital rusak.
Di bengkel keempat, seorang teknisi tua mengingat sesuatu.
“Dua tahun lalu?” ujar pria itu sambil mengerutkan kening. “Ada satu mobil hitam... sedan mewah. Datang malam-malam. Bagian depan penyok, tapi kami diminta tidak mencatat plat nomor.”
Jae Wan menunjukkan foto mobil CEO Jung. “Ini mobilnya?”
Pria itu menatap lama, lalu mengangguk pelan. “Saya tidak bisa bersumpah, tapi... sepertinya iya. Saya ingat emblem Geumseong Grup di gantungan kuncinya.”
Jae Wan mencatat semuanya. “Ada invoice? Bukti pembayaran?”
Pria itu menggeleng. “Tunai. Tanpa nama. Tapi saya masih simpan catatan manual. Tunggu sebentar.”
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan buku lusuh. Di sana, tertulis: Sedan hitam perbaikan bumper depan, kedatangan pukul 10 malam, 14 Oktober 2023.
Jae Wan menatap tanggal itu. Tepat dua hari setelah kematian Lee Jun Joo. Ia menutup buku itu pelan. “Terima kasih. Ini... sangat berarti.” Dan saat ia melangkah keluar dari bengkel itu, angin sore terasa berbeda. Bukti mulai bicara. Kebenaran mulai mendekat.