NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:362
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 12

Sejak pesta pernikahan malam itu, pikiran Bastian tak pernah benar-benar tenang. Ia terus teringat pada momen singkat ketika bibirnya tanpa sengaja bersentuhan dengan bibir Jenia.

Ciuman pertama.

Ya, meski hanya sekejap, itu adalah kali pertama ia benar-benar merasakan sesuatu yang membuat dadanya bergemuruh.

Di kantor, Bastian duduk di ruangannya sambil menatap layar laptop. Namun, yang terbayang di benaknya hanyalah wajah Jenia dengan pipi merahnya setelah insiden itu. Senyum kecil, tatapan panik, bahkan detak jantungnya sendiri yang tak terkendali.

“Bos, laporan keuangan sudah saya taruh di meja,” ucap Dion.

Bastian hanya mengangguk singkat. Tak seperti biasanya, ia lebih banyak termenung.

Sementara itu, Vita semakin merasakan jarak.

“Sayang, minggu depan kita jalan-jalan yuk? Aku kangen banget sama kamu,” ucap Vita manja ketika datang ke ruang kerja Bastian.

Namun Bastian hanya menjawab dengan dingin tanpa menoleh.

“Maaf, aku sibuk.”

Vita mengerutkan kening. “Tapi kamu selalu sibuk akhir-akhir ini. Bahkan untuk teleponku saja kamu sering nggak angkat.”

Bastian menarik napas, mencoba sabar, namun ekspresinya jelas berubah dingin.

“Vita, aku benar-benar banyak kerjaan. Jangan paksa aku, bisa?”

Vita terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan. Selama ini Bastian memang cuek, tapi tidak pernah sedingin sekarang. Ia tahu, ada sesuatu yang berubah.

Malamnya, di apartemennya, Bastian menatap langit-langit dengan resah.

“Apa sebenarnya yang terjadi sama aku? Kenapa aku nggak bisa berhenti mikirin dia?” gumamnya lirih.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Bastian menyadari hatinya tidak pernah sesibuk ini hanya karena seorang wanita. Wanita bernama Jenia.

Pagi itu suasana kantor cukup sibuk. Jenia yang baru saja menyelesaikan laporan mingguan berjalan ke pantry untuk membuat kopi. Senyumnya tipis, meski lelah, ia tetap menjaga profesionalisme.

Saat itulah, sebuah suara familiar menyapanya.

“Jenia…” Jenia menoleh dan matanya langsung membesar. “Rehan?!”

Pria itu tersenyum hangat, dengan setelan jas navy yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Aura dewasa dan tenang dari Rehan memancarkan pesona yang sulit diabaikan.

“Aku kebetulan ada urusan bisnis sama perusahaan ini. Jadi sekalian deh mampir, siapa tahu bisa ketemu kamu,” katanya ringan.

Jenia tersipu. “Oh… iya, lama banget ya nggak ketemu. Gimana kabar kamu?”

Mereka pun larut dalam obrolan hangat, penuh tawa kecil.

Raka, yang kebetulan datang untuk mengajak Jenia makan siang bersama, terpaku melihat pemandangan itu. Tatapannya berubah tajam.

Siapa pria itu? Kenapa Jenia terlihat begitu akrab dengannya?

“Jen, kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini,” ucap Rehan sambil menatap Jenia penuh arti.

“Iya, aku juga nggak nyangka,” jawab Jenia tersenyum.

Namun senyum itu langsung memudar saat ia menyadari Raka berdiri tak jauh dari mereka. Ekspresi Raka jelas menunjukkan rasa tidak suka.

“Raka…” panggil Jenia hati-hati.

Raka mendekat, menyapa Rehan dengan dingin.

“Kamu siapa?”

Rehan, dengan sikap santai, mengulurkan tangan.

“Rehan. Sahabat lama Bastian. Dan… teman lama Jenia juga.”

Raka hanya menatap tangannya sejenak sebelum akhirnya menjabat singkat, tanpa ekspresi.

“Raka. Saya tunangannya Jenia.”

Suasana seketika menegang. Jenia membeku, tidak menyangka Raka akan memperkenalkan dirinya seperti itu. Rehan mengangkat alis, ada kilatan heran sekaligus kecewa di matanya, tapi ia segera tersenyum lagi seolah tak terganggu.

“Oh begitu… selamat ya,” jawab Rehan tenang, meski dalam hatinya jelas terguncang.

Siang itu, Jenia memutuskan menemani Leony berbelanja kebutuhan rumah tangga. Mereka memilih pergi ke sebuah mall mewah di pusat kota. Leony yang baru pindah ke cabang kantor di kota itu meminta ditemani, dan Jenia tak bisa menolak.

“Aku baru tahu mall ini ternyata keren banget, Jen,” kata Leony sambil memandang sekeliling.

Jenia mengangguk. “Iya, banyak butik dan resto baru juga. Pantas saja ramai banget.”

Mereka berdua berhenti di depan sebuah toko pakaian. Leony asyik memilih-milih, sementara Jenia duduk sebentar di kursi kecil depan butik, memainkan ponselnya.

Tanpa ia sadari, tatapan mata beberapa pengunjung tertuju pada sosok pria yang baru masuk ke area itu. Dengan jas kasual berwarna beige, kemeja putih, dan aura wibawa yang sulit diabaikan, dialah pemilik mall tersebut adalah Bastian.

Ia sedang meninjau tenant baru bersama beberapa staf manajemen.

Langkah Bastian terhenti saat matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal. Jenia. Duduk santai, rambut tergerai, wajah cantiknya tampak sederhana namun justru menawan.

Seketika dada Bastian berdegup kencang. Ada perasaan aneh campuran rindu, kagum, sekaligus sakit yang muncul begitu saja.

Jenia yang merasa diperhatikan, mendongak. Dan di sanalah pandangan mereka bertemu.

“Jen…” ucap Bastian lirih, hampir tak terdengar.

Jenia menelan ludah, buru-buru berdiri. “Selamat siang, Pak Bastian.” Ucapannya formal, suaranya datar.

Leony yang keluar dari butik membawa beberapa kantong belanjaan langsung terkejut. “Eh… Pak Bastian? Wah, nggak nyangka ketemu di sini.”

Bastian hanya mengangguk tipis, matanya tak lepas dari Jenia.

Beberapa stafnya segera menunduk hormat, memberi jalan. “Pak, kita lanjut ke lantai atas?” tanya salah satu dari mereka.

Namun Bastian malah berkata pelan, “Kalian duluan saja. Saya menyusul.”

Staf itu bingung, tapi menurut. Bastian kemudian mendekat pada Jenia.

“Sudah lama nggak ketemu,” ucapnya tenang, padahal hatinya bergejolak.

Jenia tersenyum tipis, menunduk sedikit. “Iya, Pak. Kebetulan saya menemani Leony.”

Ada jeda hening. Leony merasa suasana canggung, lalu pura-pura sibuk mengecek ponselnya, membiarkan dua orang itu berbicara.

Bastian ingin sekali bertanya banyak hal tentang kabar Jenia, tentang pekerjaannya sekarang, bahkan tentang Raka. Namun bibirnya kelu. Yang keluar hanyalah tatapan yang sulit ia sembunyikan.

Jenia merasakan tatapan itu, dan buru-buru berkata, “Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak. Senang bisa bertemu.”

Ia lalu menarik Leony pergi. Bastian hanya bisa menatap punggung Jenia yang menjauh, perasaannya semakin kacau.

Saat itu juga, ia sadar meski berusaha keras melupakan, hatinya justru semakin terikat pada gadis itu.

Sore itu, suasana rumah keluarga Bastian begitu hening. Di ruang tamu yang luas, Bastian duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Wajah ayahnya serius, sementara ibunya memandang penuh harap.

“Bastian,” ucap sang ayah tegas. “Kamu sudah cukup umur, sudah mapan, sudah punya segalanya. Apa lagi yang kamu tunggu? Vita adalah pilihan yang tepat untukmu. Dia cantik, terdidik, dan keluarganya juga jelas.”

Bastian hanya diam, menunduk. Kata-kata ayahnya seperti beban berat di pundaknya.

Sang ibu menambahkan dengan nada lembut, “Nak, Mama tahu kamu sibuk dengan pekerjaan, tapi jangan lupakan hidupmu sendiri. Vita tulus sama kamu. Mama lihat sendiri bagaimana dia selalu berusaha dekat dengan kita. Mama yakin dia bisa jadi istri yang baik.”

Bastian menegakkan badan, menatap orang tuanya bergantian. “Aku tahu Vita baik. Tapi… aku belum siap.”

“Belum siap?” sang ayah mengernyit. “Kamu bukan remaja lagi, Bas. Kamu pemimpin perusahaan besar, masa urusan menikah saja bilang belum siap?”

Bastian terdiam. Di dalam hatinya, ia ingin berteriak bahwa alasannya bukan karena belum siap, tapi karena hatinya sudah jatuh pada orang lain. Pada seorang wanita yang tak pernah dianggap orang tuanya. Jenia. Namun ia tak bisa mengatakannya.

“Bastian,” lanjut ibunya lagi, kali ini lebih menekan, “Vita anak baik, Mama nggak mau kamu menyia-nyiakan dia. Lagipula keluarga kita dengan keluarga Vita sudah lama bersahabat. Pernikahan kalian akan mempererat hubungan itu.”

Bastian mengepalkan tangan di atas pahanya, berusaha menahan gejolak hatinya.

“Papa, Mama… jangan paksa aku sekarang.”

Suasana sejenak hening, lalu ayahnya menghela napas berat.

“Kamu pikir baik-baik, Bastian. Papa kasih waktu sebulan. Setelah itu Papa ingin ada kepastian. Vita bukan gadis yang pantas kamu gantung begini.”

Malamnya, di kamarnya sendiri, Bastian duduk termenung. Ia memandang keluar jendela, pikirannya penuh pertanyaan.

“Kenapa harus Jenia? Kenapa aku nggak bisa jatuh cinta pada Vita, padahal semua orang bilang dia sempurna?” gumamnya lirih.

Bayangan wajah Jenia kembali hadir, bersama dengan rasa hangat saat insiden ciuman pertama mereka. Membuat tekadnya goyah, membuat pikirannya makin rumit.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!