NovelToon NovelToon
Aku Bisa Tanpa Dia

Aku Bisa Tanpa Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7

"Dasar perempuan si*ting, bikin repot orang saja. Kalau dia pergi dari rumah, terus siapa yang urus rumah sama anak-anak kamu?"

"Aku juga bingung, Bu. Padahal aku masih butuh tenaganya buat urus semuanya. Dari awal, aku ingin rumah ini rapi, anak-anak terurus, dan segala urusan rumah tangga berjalan lancar. Ratu seharusnya mengurus semuanya, bukan malah mengeluh, membangkang, atau mengabaikan anak-anak."

Kening ibuku sedikit berkerut, mungkin dia bingung dengan ucapanku barusan. "Maksud kamu gimana?"

“Aku nikahi dia supaya rumah ini teratur… supaya anak-anak mendapatkan yang seharusnya. Tapi lihat sekarang… semua yang kuharapkan berantakan,” jawabku jujur. Aku menatap ibuku, napasku masih berat setelah ledakan amarah beberapa saat lalu. Dengan suara yang agak serak, aku akhirnya memutuskan untuk membuka semua yang ada di dalam hati.

Ibuku terdiam sejenak, matanya membulat. Suasana hening seakan menahan napas kami berdua.

Aku menggeram, rasa marah bercampur frustasi memenuhi dadaku. “Sekarang jelas, Bu. Kalau dia tidak kembali, aku tidak tahu siapa yang akan mengurus anak-anak dan rumah ini. Semua tanggung jawab jatuh ke aku sendiri. Dan aku… tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja.”

Ibuku menepuk bahuku. “Walau pun ibu sedikit kaget. Jangan biarkan perempuan itu mengacaukan hidupmu. Kalau memang niatmu dari awal seperti itu, pastikan dia kembali dan menjalankan perannya. Malam ini, segera lakukan sesuatu. Dan ingat, ibu enggak bisa bantu kamu urus rumah sama anak-anak, ibu sudah tua."

Aku mengangguk, menelan napas panjang. Malam ini, semuanya harus bergerak. Ratu harus kembali ke rumah, dan aku akan memastikan dia tidak lagi bisa seenaknya meninggalkan tanggung jawabnya.

Karena besok aku masih harus bekerja dan kedua anakku masuk sekolah, aku tidak punya pilihan lain. Malam ini aku terpaksa mencuci baju mereka. Seragam yang bersih tidak ada, dan tidak mungkin, kan, aku menyuruh ibuku melakukan itu.

Dengan wajah masam aku membawa cucian ke kamar mandi belakang. Tumpukan seragam, kaos, dan celana penuh noda menumpuk di ember. Tanganku bergerak kasar, merendam lalu mengucek satu per satu. Air sabun memercik ke wajahku, menambah kekesalan yang sudah menumpuk sejak tadi.

“Dasar Ratu… ini seharusnya tugasmu. Aku bukan orang yang harus melakukan semua ini,” gumamku dengan nada geram.

Setiap kali kain kuperas, bayangan wajah Ratu muncul di kepalaku. Kata-katanya, sikap dinginnya, hingga keberaniannya pergi diam-diam membuatku semakin marah.

Setelah selesai, aku menjemur pakaian di tali jemuran belakang. Tangan terasa pegal, punggung sakit, tapi aku tidak bisa berhenti. Besok anak-anakku butuh seragam bersih, dan aku tidak ingin mereka absen sekolah hanya karena kelalaian istriku.

Di saat aku tengah sibuk menjemur semua pakaian di belakang, tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa. Mira dan Clara masuk dengan wajah cemberut.

“Papah…” suara Mira pelan, tapi terdengar kesal.

“Apa lagi?” sahutku dengan napas memburu, tanganku masih sibuk menjemur seragam sekolah.

“Kami lapar,” timpal Clara, matanya memerah menahan tangis. “Tidak ada makanan di meja makan. Kulkas juga kosong.”

Aku terdiam, berhenti menjemur. Kepalaku langsung menoleh, menatap wajah mereka yang kusut. Rasa lelah dan marah bercampur jadi satu.

“Ya Tuhan…” desahku pelan, lalu menepuk kening. “Kenapa harus sekarang sih…?”

Mira menunduk, suaranya lirih. “Biasanya mamah Ratu yang masak, walaupun kita enggak pernah nurut dan sering marah-marah… tapi tetap ada makanan. Sekarang tidak ada sama sekali.”

“Kalian pergi ke kamar Eyang, minta tolong sama Eyang buat masak, papah masih sibuk,” ucapku.

"Aku sudah minta Eyang untuk buat kan makan, tapi Eyang enggak mau, Pah. Katanya itu tugas mamah Ratu. Pah kami lapar." Terlihat wajah Mira seperti ingin menangis. Begitu juga dengan adiknya Clara, sepertinya anakku benar-benar lapar.

Hatiku terasa teriris, tapi juga kesal. Aku mengusap wajahku kasar, lalu bersuara keras.

“Ya sudah! Duduk saja kalian. Papah cari cara lain. Jangan nangis di depan Papah!”

Mira buru-buru mengusap matanya, Clara menggigit bibir bawahnya. Dua-duanya diam, tapi aku tahu hati mereka sudah terlalu terluka malam itu.

Aku menarik napas panjang, lalu bangkit dengan langkah berat menuju dapur. Saat kubuka lemari dan kulkas, nyaris tidak ada apa-apa. Hanya ada telur sisa tiga butir, bawang seadanya, dan sedikit nasi yang sudah agak dingin.

“Ya sudah… ini saja,” gumamku sambil mengambil wajan.

Aku menyalakan kompor, sedikit canggung karena sudah lama sekali tanganku tidak menyentuh alat dapur. Telur kubelah asal, bawang kupotong seadanya, lalu semuanya kumasukkan begitu saja ke dalam minyak panas. Suara “cesss” memenuhi dapur.

Clara dan Mira mengintip dari pintu dapur, menahan tawa sekaligus heran melihat papahnya mengaduk telur dengan gaya serampangan.

“Papah… jangan gosongin ya…” kata Mira pelan.

“Udah diam! Jangan banyak komentar!” sahutku ketus, meski dalam hati sebenarnya aku merasa kikuk.

Beberapa menit kemudian, telur orak-arik sederhana jadi juga. Nasi dingin itu kupanaskan sedikit di wajan lain. Hasilnya jauh dari kata enak, tapi setidaknya ada yang bisa dimakan malam ini.

Aku menaruh piring di meja makan. “Makanlah. Jangan protes. Itu saja yang ada.”

Mira dan Clara duduk patuh. Mereka mulai menyuapkan makanan itu ke mulut. Wajah mereka jelas menunjukkan tidak terbiasa dengan rasa hambar.

"Masakan, papah enggak enak," ucap Clara.

"Rasanya hambar, pah. Aku enggak bisa makan masakan papah."

"Makan aja dulu jangan banyak komplen, masih mending papah sudah masakin kalian makan, setidaknya buat ganjel perut."

"Tapi, Pah--" Di saat Clara ingin bicara lagi, Mira langsung menyenggol lengan adiknya untuk tidak bicara lagi.

"Habiskan makanannya, tidak mudah untuk masak buat kalian berdua."

Selagi Clara dan Mira makan, aku ingin menemu ibuku di dalam kamarnya. Saat berjalan melewati ruang tamu, betapa berantakan rumah ini seperti kapal pecah, lantai juga kotor dan lengket. Aku tidak terbiasa dengan keadaan rumah yang sangat berantakan mataku sudah terbiasa dengan rumah yang selalu rapi dari Almarhum istriku sampai punya istri lagi.

Sesampainya di kamar ibu, aku langsung membuka pintu ternyata ibuku tengah santai sambil bermain ponsel. Dan yang lebih membuatku kaget, ada makanan di sampingnya. Sepertinya ibuku memesan makanan lewat online.

"Bu?" panggilku dengan nada kesal, ibu langsung melirik ke arahku.

"Ada apa, Ga?" jawabnya cepat, matanya kembali fokus ke ponsel sambil memakan ayam bakar ke mulutnya.

“Kenapa tadi Ibu nggak mau masakin cucu-cucu Ibu? Mereka lapar, Bu.”

Ibu menoleh sebentar dari tempat tidurnya, wajahnya datar.

“Itu bukan tugas Ibu, Lang. Tugas itu adanya di tangan Ratu. Dia yang harus urus rumah ini. Ibu sudah bilang sejak awal, jangan harap Ibu mau turun tangan. Ibu sudah tua.”

Aku mengepalkan tangan. “Tapi Ratu nggak ada, Bu! Masa anak-anak kelaparan? Ibu tega lihat mereka begitu?”

Ibu menghela napas panjang, nadanya dingin.

“Kalau Ratu nggak ada, itu salahmu sendiri. Kamu yang pilih perempuan itu buat jadi istri sekaligus ngurus rumah. Ibu nggak akan gantiin perannya. Mau cucu kamu makan apa, itu urusan kamu, bukan Ibu.”

Aku melangkah lebih dekat, suaraku meninggi.

“Ibu enak saja ngomong begitu! Kalau bukan karena aku, Ibu juga nggak bisa tenang di rumah ini. Aku kerja banting tulang tiap hari! Paling nggak Ibu bisa bantu sedikit untuk cucu-cucu Ibu sendiri!”

Ibu menatapku tajam.

“Jangan balik salahin Ibu. Dari awal Ibu sudah bilang, jangan cuma jadikan Ratu istri karena dia bisa kerja di rumah. Kalau sekarang dia pergi, tanggung jawabmu lah untuk urus semuanya. Jangan seret-seret Ibu.”

Aku terdiam, rahangku mengeras menahan marah. Dalam hati aku tahu, ucapan ibu ada benarnya. Tapi harga diriku terlalu tinggi untuk mengakuinya.

1
Riani Putri
mantap, tinggal liat gimana menderitanya dia ditinggal ratu, belum lg ketauan korupsi dikantor nya, ayo Thor dilanjutkan lg cerita nya
Riani Putri
mana lanjutannya thor
Riani Putri
ayo dong kk, up lagi, seru ceritanya
Pajar Sa'ad: oke, siap.. ditunggu ya
total 1 replies
Himna Mohamad
mantap ini
Pajar Sa'ad: terima kasih, kak.. tunggu update selanjutnya ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!