NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Andrew membuka mata, menatap lurus ke depan. Jalanan Batam mulai sepi, lampu jalan menyala redup. Ia menyalakan radio, tapi mematikan lagi setelah beberapa detik. Hatinya terlalu riuh untuk diberi musik.

Ada yang berbeda ketika ia bersama Yudith. Bocah itu bukan anaknya, tapi ada ikatan tak kasat mata yang membuatnya betah. Ia merasa seolah sedang diberi kesempatan kedua—kesempatan untuk menebus kesalahan yang ia lakukan pada darah dagingnya sendiri.

Namun di balik itu, Andrew juga tahu betapa berbahayanya perasaan ini. Ia sadar, jika terlalu larut, ia bukan hanya menyakiti Michelle dan putrinya di Vietnam, tapi juga berpotensi menghancurkan Nindya dan Yudith. Dunia mereka sudah cukup rapuh.

Ia menghela napas panjang, kedua tangannya menggenggam kemudi lebih erat.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Andrew terus melayang.

Ia teringat Yudith yang malu-malu saat pertama kali menyapanya di kafe, lalu perlahan berani menunjukkan mainan kecilnya.

Tawa itu masih terngiang jelas. Sementara di sudut lain hatinya, wajah putrinya di Vietnam muncul senyum tipis yang penuh rindu, suara lembut memanggil “Daddy, kapan pulang?”

Pertanyaan yang selalu ia jawab dengan alasan pekerjaan, meski sebenarnya ia tahu, itu hanyalah separuh kebenaran.

Andrew mengetuk setir dengan jarinya, gelisah. Ia membenci dirinya sendiri karena merasa lebih ringan di sisi Yudith daripada saat bersama putri kandungnya. Itu seperti pengkhianatan kedua.

Setiba di apartement , Andrew langsung duduk di sofa tanpa menyalakan lampu. Gelap lebih cocok untuk malam itu. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi pesan, lalu berhenti di kontak Michelle. Jemarinya melayang di atas layar, ingin mengetik sesuatu

“Bagaimana kabar anak kita?”

Tapi akhirnya ia menutup ponsel tanpa menulis apa pun. Ia tahu, jika menghubungi Michelle malam ini, obrolan tidak akan berakhir dengan tenang.

Selalu ada tuntutan, selalu ada amarah. Dan di balik semua itu, ada sorot mata kecil yang menjadi korban.

Andrew menengadah, menatap langit-langit apartemen. “Aku ayah yang buruk,” gumamnya pelan.

Namun entah mengapa, bayangan Yudith kembali muncul. Gadis kecil itu menatapnya dengan polos, tanpa penilaian, tanpa beban. Seakan berkata: ‘Aku percaya.’

Andrew menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menjaga Nindya dan Yudith, tapi juga ada ikatan tak terputus dengan putrinya sendiri di Vietnam. Dua dunia yang sama-sama menuntut, dan ia berdiri di tengah—rapuh, terombang-ambing, tanpa jawaban pasti.

Malam itu Andrew nyaris tidak tidur. Ia menyalakan laptop, membuka beberapa laporan pekerjaan, tapi pikirannya tidak fokus. Setiap kali ia membaca angka, yang muncul justru tawa Yudith bersahut-sahutan dengan tawa putrinya di Vietnam. Dua suara kecil yang berbeda, tapi sama-sama menuntut kehadiran seorang ayah.

Andrew memejamkan mata, menyandarkan kepala ke kursi. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut bukan takut kehilangan pekerjaan, bukan takut reputasi tercoreng, tapi takut tidak mampu menebus janji pada kedua bocah itu—satu yang lahir dari darahnya, satu lagi yang perlahan mencuri hatinya.

Pagi itu, Nindya terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul di balik jendela rumahnya, cahaya keemasan menembus tirai tipis.

Ia menatap Yudith yang masih terlelap, wajah polos anaknya membuat hatinya terasa lebih tenang. Sejenak, Nindya ingin mengunci momen itu, menjaganya tetap sederhana dan damai.

Namun, pikirannya kembali dipenuhi bayangan Andrew. Cara pria itu memperhatikannya, bagaimana ia dengan sabar melibatkan Yudith dalam percakapan, bahkan kesediaannya meluangkan waktu di tengah jadwal yang padat. Semua itu membuat hati Nindya goyah.

Ia menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran itu.

 “Tidak, Nind jangan bodoh,” gumamnya sendiri sambil melangkah ke dapur. Ia tahu betul, Andrew bukan pria sembarangan. Ada aura wibawa sekaligus misteri yang mengelilinginya.

 Pria seperti itu pasti menyimpan banyak rahasia—dan Nindya tidak ingin kembali terjebak dalam lingkaran penuh kepura-puraan seperti yang pernah ia alami bersama Armand.

Di meja makan, secangkir kopi hitam menunggu. Nindya menatap uapnya yang berputar, seolah mencari jawaban. Ia masih ingat jelas saat Andrew menyebut makan malam mereka "istimewa." Kata itu sederhana, tapi dampaknya dalam.

Bukan sekadar ucapan basa-basi—ia bisa merasakan kesungguhan dalam tatapan Andrew.

Hatinya berdebat apakah itu tulus, atau hanya bagian dari pesona seorang pria yang sudah terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau?

Ponselnya bergetar, memecah lamunannya. Sebuah pesan dari Andrew muncul:

“Good morning, Nindya. Sudah siap untuk hari ini? Jangan lupa kita ada laporan yang harus ditinjau sore nanti.”

"Kalau ada waktu saya mengundang kalian makan malam."

Nindya terdiam. Pesan itu sederhana, tapi terasa seperti undangan untuk melangkah lebih jauh. Ia membaca ulang, lalu meletakkan ponsel tanpa membalas. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia takut.

Ketika ia menyiapkan sarapan, pikiran itu kembali berputar. Sejak kapan Andrew menjadi bagian dari rutinitas harinya? Sejak kapan ia menunggu pesan darinya? Semua terjadi begitu cepat.

Nindya sadar, ia tidak bisa membiarkan dirinya terbawa arus. Ia punya Yudith yang harus dijaga. Ia punya luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Dan ia tahu, Andrew bukan pria tanpa masa lalu.

Namun di sisi lain, ada sesuatu dalam diri Andrew yang berbeda dari Armand. Jika Armand dulu selalu menuntut, Andrew justru memberi ruang.

Jika Armand membungkam, Andrew mendengarkan. Dan itu, tanpa ia sadari, membuat hatinya perlahan membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.

Sore harinya, saat ia duduk di meja kerjanya, Nindya melirik ponsel yang masih menyimpan pesan Andrew. Jari-jarinya ragu, tapi akhirnya ia mengetik balasan singkat:

“Baik, Pak. Sampai nanti.”

Ia tidak menyinggung soal makan malam. Ia tidak ingin memberi harapan lebih. Namun entah mengapa, saat menekan tombol kirim, ada rasa hangat menyelinap di dadanya.

Malam nanti mungkin akan membawa jawaban—apakah ia bisa tetap menjaga jarak, atau justru semakin hanyut dalam arus yang mulai menariknya perlahan.

Ruang rapat sore itu sepi ketika Nindya masuk. Hanya ada Andrew, duduk santai di kursinya, lengan terlipat, matanya fokus pada layar laptop. Lampu putih membuat garis wajahnya semakin tegas, memberi kesan pria yang tak pernah benar-benar lelah meski jadwalnya padat.

“Silakan duduk, Nindya,” katanya tanpa mengangkat kepala.

Nindya menaruh map di atas meja, mencoba menjaga gerakannya tetap tenang. Ia menarik kursi, lalu duduk dengan postur tegak. Meski sudah beberapa kali bekerja bersamanya, aura Andrew tetap membuatnya waspada.

Mereka mulai meninjau laporan, satu demi satu. Suara Andrew datar, sesekali memberi komentar singkat. Nindya mengikutinya dengan teliti, mencatat poin penting. Suasana terasa formal, sesuai konteks pekerjaan.

Namun, saat jeda singkat, Andrew menutup laptopnya. Suara klik itu terdengar lebih keras daripada seharusnya. Nindya menoleh, sedikit terkejut ketika tatapan Andrew kini langsung menembus matanya.

“Laporan ini tidak terlalu rumit. Sejujurnya, saya sudah meninjau sebagian besar datanya sejak pagi,” ujarnya.

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!