NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:588
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Percaya dan Luka

Pagi ini di kampus terasa sedikit berbeda—bukan karena langit lebih kelabu atau angin musim gugur bertiup lebih kencang, tapi karena ada sesuatu di dadaku yang belum menemukan tempat untuk diam.

Aku berjalan melewati deretan pohon maple di halaman kampus, dedaunannya mulai gugur, jatuh perlahan seperti waktu yang menolak berhenti. Di ujung sana, aku melihat Nick. Ia berdiri bersama dua teman satu jurusannya, menertawakan sesuatu yang tak bisa kudengar dari sini.

Biasanya, begitu mata kami bertemu, senyumnya akan langsung hadir—hangat, penuh, seperti matahari yang menembus kabut. Tapi pagi ini, entah kenapa, senyum itu datang terlambat. Atau mungkin aku yang terlalu sibuk membaca kemungkinan-kemungkinan yang tak kuketahui jawabannya.

"Hai, Nora!" sapanya saat kami berpapasan.

Suaranya tetap sama—tenang, dalam, sedikit serak yang selalu kurindukan. Tapi di telingaku, ada gema lain yang membuat sapaan itu terdengar… jauh.

"Hai!" jawabku, mencoba tersenyum meski bibirku terasa berat.

Sejenak kami berjalan beriringan menuju arah yang sama. Obrolan singkat tentang cuaca, tentang kelas pagi ini—dangkal, rapuh, seperti cangkang kosong yang tak berani dipecahkan.

Aku tahu aku harus bicara. Tapi belum. Bukan di lorong yang penuh langkah kaki dan suara pintu yang dibuka-tutup. Bukan di bawah tatapan orang lain.

Aku hanya bisa memandangnya sekilas, mencoba mengingat seperti apa rasanya memeluknya tanpa ada jarak yang menghantui.

Kami akhirnya berhenti di salah satu bangku kayu di taman kecil belakang gedung perpustakaan—tempat yang jarang dilewati orang pada jam kuliah seperti ini. Angin musim gugur bertiup pelan, menggerakkan rambutku dan membuat ujung jemari terasa dingin.

Nick duduk di sampingku, tubuhnya sedikit condong, seperti berusaha mencari cara memulai pembicaraan. Aku menggenggam kedua tanganku di pangkuan, mencoba menata kata-kata.

"Nick!", seruku. Suaraku hampir tenggelam oleh bisik angin di sekitar kami.

Ia menoleh, menatapku penuh perhatian. Tatapan itu biasanya membuatku merasa aman, tapi sekarang malah membuat jantungku terhimpit.

"Tadi malam…" Aku menelan ludah. "Bagaimana pekerjaanmu?", tanyaku, memulai pembicaraan.

"Ehm, ya. Semalam aku harus bekerja hingga larut malam, karena bar lebih ramai daripada biasanya.", katanya, menatapku dalam. "Maaf, karena tidak bisa pulang lebih celat dan menemuimu seperti yang sebelumnya sudah kurencanakan, Nora."

Aku terdiam. Sebab, bukan itu yang ingin kudengar. Aku menunggu Nick untuk jujur tentang apa yang sudah terjadi semalam—antara dirinya dan Alice.

"Tidak ada yang ingin kamu bicarakan tentang semalam, Nick?"

"Semalam? Memangnya ada apa, Nora?", tanyanya, seakan tak mengerti tentang apa maksud dari ucapanku. Atau ia hanya berpura-pura tidak mengerti, agar bisa menutupi semua yang terjadi semalam.

Aku menimbang-nimbang. Haruskah aku yang memulainya–agar Nick mau bicara?

"Nick, seseorang mengirim pesan padaku semalam.", ucapku, sengaja tidak membawa nama Lexi dalam pembicaraan ini, seperti permintaannya. "Dia bilang dia melihatmu...bersama Alice. Di mobilnya."

Alis Nick terangkat sedikit. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatapku lebih lama.

"Dia bilang kamu memberinya sebotol air minum. Dan… dia juga bilang Alice memelukmu." Suaraku bergetar di akhir kalimat, meski aku berusaha sekuat mungkin terdengar tenang.

Nick menarik napas, pandangannya jatuh ke tanah sebelum kembali ke mataku. "Itu… bukan seperti yang kamu pikirkan, Nora."

Hatiku mencelos mendengar kalimat itu—karena biasanya, itulah awal dari penjelasan yang ingin kudengar sekaligus kutakuti.

Nick mengusap tengkuknya, seakan mencari kata-kata yang tepat.

"Alice datang ke bar tadi malam—", ia mulai, suaranya tenang tapi serius. "Dia baru saja mengalami hari yang buruk, Nora. Kedua orang tuanya bercerai, dan itu membuatnya sangat terpuruk. Alice minum terlalu banyak, hingga cukup mabuk semalam. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain mengantarnya pulang. Aku tidak mungkin membiarkan seorang perempuan mabuk sendirian di dalam ataupun di luar bar. Lalu, aku membawanya ke minimarket, untuk membelikannya sebotol air minum agar meredakan sedikit efek mabuk yang dirasakannya, dan… ya, dia memelukku. Tapi, kurasa itu hanya karena dia ingin mengatakan terima kasih."

Aku mengerjapkan mata, mencoba mencerna penjelasannya. Sebagian diriku ingin percaya begitu saja—karena ini Nick, dan aku tahu dia bukan tipe yang bermain-main di belakangku. Tapi ada bagian kecil di hatiku yang tetap nyeri membayangkan momen itu.

"Kenapa kamu tidak menceritakannya langsung padaku?" tanyaku pelan, mencoba menahan suara yang hampir pecah.

Nick menatapku lebih dalam, sorot matanya seperti menembus pertahananku. "Karena aku tidak ingin kamu khawatir untuk sesuatu yang sebetulnya tidak penting, Nora. Aku pikir… itu hanya hal kecil, dan aku tidak ingin membuatmu berpikir macam-macam."

Aku menghela napas, menunduk sebentar. Angin dingin menyusup di antara helai rambutku, membuat pipiku terasa semakin panas.

"Aku mempercayaimu, Nick… tapi aku tidak bisa berbohong, rasanya tetap… sakit."

Ia mendekat sedikit, jemarinya menyentuh pelan punggung tanganku—hangatnya kontras dengan udara sore yang mulai menusuk. "Aku benar-benar minta maaf Nora. Sungguh, aku tidak berniat sedikitpun untuk menyakitimu. Aku dan Alice... sungguh tidak ada apapun di antara kami. Aku hanya membantunya, sebagai teman satu jurusan. Itu saja."

Tatapannya membuat dadaku sesak—bukan karena marah, tapi karena aku merasa begitu ingin memeluknya sekarang. Tapi aku juga tahu, luka kecil ini butuh waktu untuk mereda.

Ponselku berdering, menampilkan panggilan masuk dari Nina. Aku melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tanganku, ternyata sebentar lagi kelas sudah akan dimulai.

"Sepertinya aku harus pergi sekarang. Kelas pertama akan segera dimulai.", kataku, datar.

Nick menarik napas seolah ingin menahan waktu, tapi akhirnya hanya berkata pelan, "Baiklah, aku akan menemuimu saat jam istirahat, nanti."

"Ehm, maaf kurasa tidak bisa. Aku sudah berjanji pada Nina untuk menemaninya meminjam buku di perpustakaan kampus.", sahutku.

Nick terdiam sejenak, lalu kembali menanggapi perkataanku. "Ehm, kalau begitu aku akan menemuimu sepulang kuliah nanti. Bagaimana?"

Aku mengangguk. Jemarinya sempat menekan punggung tanganku sekali lagi sebelum ia benar-benar melepaskan. Langkahku menjauh, tapi aku tetap bisa merasakan tatapannya di punggungku—hangat, sekaligus berat.

Di sepanjang lorong menuju kelas, pikiranku masih penuh riak-riak yang tidak mau reda. Aku percaya padanya… setidaknya aku ingin percaya. Tapi bayangan Alice yang memeluknya terus menempel di benak, seperti noda tipis yang sulit hilang.

Begitu aku masuk kelas, Nina langsung melambai dari bangku dekat jendela. Aku duduk di sebelahnya, mencoba tersenyum.

"Jadi?", bisiknya begitu aku menaruh tas. "Nick sudah menjelaskan soal semalam?"

Aku menghela napas panjang. "Sudah. Nick bilang… dia hanya mengantar Alice pulang, karena dia terlalu mabuk dan terpuruk semalam. Dan, Alice memang memeluknya saat Nick memberinya sebotol air minum untuk meredakan efek mabuknya. Katanya... itu hanya bentuk ucapan terima kasih."

Nina mengangkat alis. Hanya menatapku, tanpa berkomentar.

Aku menatap meja sebentar, jemariku mengusap permukaan kayu yang dingin. "Aku… ingin percaya. Karena Nick memang hanya pria yang baik, tapi… rasanya tetap sakit, Nina. Ada bagian diriku yang masih tidak bisa menerimanya."

Nina menepuk bahuku pelan, tatapannya penuh pengertian. "Aku tahu, Nora. Aku mengerti. Kamu merasa hatimu sakit, karena kamu menyayanginya.", katamya, lalu memelukku. "Mungkin yang kamu butuhkan saat ini hanyalah waktu, Nora. Tidak apa-apa jika kamu ingin menangis. Kamu tidak sendiri, ada aku."

Aku tersenyum tipis, meski perasaan itu masih seperti awan kelabu yang menggantung.

Kelas terakhir hari ini berakhir dengan suara gesekan kursi dan lembar kertas yang tergesa dikemas ke dalam tas. Aku melangkah keluar bersama arus mahasiswa lain, tapi begitu pintu terbuka, aku melihatnya.

Nick.

Berdiri di bawah naungan pohon flamboyan di depan gedung perkuliahan, dengan tangan yang dimasukkan ke saku jaket dan tatapan yang langsung tertuju padaku.

"Hai, Nora!", sapanya saat aku mendekat. Senyumnya mencoba menembus lapisan awan yang menggantung di hatiku.

"Hai!" sahutku pelan.

Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Udara sore mulai dingin, tapi dalam mobilnya ada kehangatan samar dari aroma kopi yang menempel di jok.

"Aku pikir, mungkin kita bisa pergi jalan-jalan sebentar.", ujarnya sambil menghidupkan mesin. "Mungkin ke danau atau tempat lain… hanya kita berdua."

Aku mengangguk, sedikit ragu. Ada bagian diriku yang ingin menghabiskan waktu dengannya, dan ada bagian lain yang masih ingin menjauh.

Belum sempat ia menginjak pedal gas, ponselnya bergetar di dashboard. Nama 'Alice' menyala di layar.

Aku menunduk, mencoba berpura-pura tidak melihat, tapi Nick langsung mengangkatnya.

"Halo?"

Suaranya berubah serius. "Apa? Kamu di mana sekarang?"

Hening beberapa detik, lalu ia menjawab cepat, "Baiklah, tunggu! Aku segera ke sana."

Ia menutup telepon, menoleh padaku. "Maaf, Nora… itu Alice. Mobilnya mogok di pinggir jalan sekitar kampus. Dia meminta bantuanku."

Darahku berdesir—hangat dan dingin bersamaan. Aku menatapnya lama. "Jadi, kamu akan ke sana sekarang?"

"Ya… hanya sebentar. Aku hanya ingin membantunya. Setelah itu, kita—"

Aku tidak menunggu ia menyelesaikan kalimatnya. Sabuk pengamanku sudah kulepaskan.

"Nora… tunggu!", panggilnya.

Aku membuka pintu dan keluar dari mobil, langkahku cepat di atas aspal yang sudah mulai memantulkan cahaya lampu jalan.

"Nora!" Suaranya terdengar di belakang, diikuti derap kakinya yang mendekat.

Aku tidak menoleh. Tidak ingin menatap wajahnya, karena aku tahu, jika aku melihat matanya, mungkin aku akan goyah.

Udara sore menusuk paru-paruku saat aku melangkah semakin cepat menuju asrama.

Kali ini, aku membiarkannya tertinggal.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!