NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:472
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11: Pertemuan yang menyakitkan

Setelah melewati kebersamaan di taman itu, Stevan masih teringat wajah sendu Fanda. Ia merasa semakin ingin memiliki wanita itu.

Setibanya di rumah ia duduk di teras rumah, dia kembali mengingat cerita Dewi tentang seorang pria bernama Andre. Ia berencana menemuinya besok, sekalian melihat-lihat kantor cabang yang diberikan kepada Dewi oleh ayahnya. Meskipun kantor itu sudah dipegang oleh Dewi, ayahnya tetap sering datang memantau langsung, walaupun tidak terlalu sering. Sedangkan Stevan diberikan kepercayaan mengurus kantor pusat.

Keesokan harinya Saat waktu istirahat siang, Stevan berkunjung ke kantor cabang. Saat berjalan menuju lobi, ia mendapati pemandangan yang membuat langkahnya berhenti. Seorang pria sederhana dengan kemeja biru sedang berbicara dengan Dewi di kantin kantor.

“Kak Andre, pulang kantor kita nonton yuk.”

“Saya belum gajian, Mbak,” jawab Andre pelan.

“Nggak apa-apa, nanti saya yang bayar. Kalau sudah gajian, gantian Kak Andre yang bayarin.”

Stevan cukup lama memperhatikan dari kejauhan. Ia lalu melangkah mendekat.

“Dewi,” panggil Stevan sambil tersenyum.

“Eh, Kak Stevan!” seru Dewi senang.

Andre merasa nama itu tidak asing, tapi ia tidak ingat bahwa pernah melihatnya di berita online tentang Fanda dan Stevan.

“Kenalin, ini Mas Andre, teman kantorku yang sering bantu aku,” kata Dewi.

Stevan mengulurkan tangan.

“Senang bertemu denganmu, Andre.”

Andre menjabat dengan sopan.

“Saya juga, Pak Stevan.”

“Kita bisa ngobrol sebentar? Saya ingin mengenal pria yang membuat adik saya sering tersenyum,” ujar Stevan.

Andre agak kaget, tapi mengangguk. “Tentu saja, Pak.”

Mereka duduk di kantin kantor. Dewi pamit sebentar ke toilet, meninggalkan mereka berdua.

Stevan membuka percakapan dengan santai.

“Dewi anak yang ceria, tapi jarang sekali aku lihat dia begitu bersemangat.”

Andre hanya menunduk dan tersenyum malu.

“Boleh aku bicara jujur?” tanya Stevan.

“Silakan,” jawab Andre.

“Bukan semua orang bisa membuat adikku bersemangat dan jadi wanita yang ceria. Tampaknya dia menyukaimu. Apakah kamu mencintainya juga?”

Andre terdiam sejenak. Pertanyaan itu terasa dalam.

“Aku… hanya pria biasa, Pak. Aku tidak punya apa-apa. Aku tidak berani menyukai orang dari kalangan atas.”

Stevan menatapnya.

“Kenapa kamu takut?”

“Karena aku dulu juga punya pacar dari kalangan atas,” ucap Andre pelan.

Belum sempat Andre menyelesaikan kalimatnya, Dewi datang dan memotong pembicaraan.

“Kalian ngobrol apa sih? Kayaknya serius banget.”

“Wanita nggak usah ikut campur dengan pembahasan antar pria,” jawab Stevan.

“Ihh, Kakak…” protes Dewi.

Akhirnya Stevan tidak melanjutkan pertanyaan tentang masa lalu Andre. Saat ingin melanjutkan percakapan, tiba-tiba ponsel Stevan berdering.

“Halo, Fanda, ada apa?” katanya.

“Fanda!!!... Apakah itu Fanda?” tanya Andre dalam hati, kaget.

Setelah selesai menelpon, Stevan berpamitan dengan adiknya dan Andre.

“Siapa tadi, Kakak? Calon kakak ipar?” tanya Dewi menggoda.

Stevan hanya tersenyum, tidak menjawab.

“Aku pergi dulu ya, Dewi, Andre.”

“Hati-hati, Kak,” jawab Dewi.

Di dalam hati, Andre masih bertanya-tanya. Apakah tadi itu Fanda? Kalau memang iya, dia bersyukur karena Fanda sudah bisa melupakannya, walau di hatinya nama itu masih tersimpan.

Malam tiba. Andre duduk di kamar kosnya. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan yang sama. Ia menghela napas berat.

“Apa aku tidak bisa melupakannya?” gumamnya.

Ponselnya bergetar, pesan dari Dewi masuk.

“Terima kasih sudah nemenin aku nonton di bioskop.”

Andre tersenyum kecil lalu membalas singkat.

“Sama-sama, Dewi. Setelah gajian, aku yang gantian ajak kamu nonton.”

Namun setelah itu, ia kembali termenung, mengingat saat-saat bersama Fanda.

Di sisi lain kota, Fanda duduk di balkon apartemennya. Angin malam menerpa rambutnya, tapi matanya kosong menatap jalanan. Ia teringat sore di taman bersama Stevan, lelaki yang selalu hadir memberi ketenangan. Namun dalam sunyi, bayangan lain muncul.

“Andre…” bisiknya lirih. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

“Di mana kamu sekarang? Kenapa aku merasa hampir bertemu denganmu, tapi selalu terlewat?”

Ponselnya berbunyi, pesan dari Stevan. “Fanda, semoga kamu tidur nyenyak malam ini.”

Fanda menatap pesan itu lama. Hatinya berdesir, tapi bukan dengan cara yang sama seperti dulu ketika ia bersama Andre.

“Stevan baik, tulus… tapi kenapa aku masih menunggu seseorang yang tidak pasti,” gumamnya pelan.

Hari itu kantor cabang sedang sibuk. Dewi baru saja menutup laptop ketika matanya melirik Andre yang sedang berjalan keluar dari pintu kantor. Ada rasa di hatinya setiap kali melihat pria sederhana itu. Senyumnya pun muncul tanpa bisa ditahan.

“Kak Andre!” panggil Dewi sambil menghampirinya.

Andre mengangkat kepala. “Iya, Mbak Dewi?”

“Besok malam ayahku ulang tahun. Aku ingin kamu datang.”

Andre terbelalak.

“Ulang tahun ayahmu? Maksudmu…”

Dewi mengangguk .

“Iya, tentu saja. Semua keluarga hadir. Aku ingin kamu ada di sana.”

Andre menghela napas panjang.

“Mbak Dewi, aku ini siapa? Aku takut dianggap orang asing yang tidak pantas.”

Dewi menatapnya lembut.

“Kamu selalu bilang begitu. Aku yang mengundangmu, bukan mereka. Aku butuh kamu hadir. Jangan menolak ya, Kak.”

Ada nada memohon di suara Dewi yang membuat Andre sulit menolak. Ia akhirnya tersenyum kecil.

“Baiklah, aku akan datang. Tapi jangan salahkan aku kalau ayahmu keberatan.”

Dewi langsung tersenyum lebar.

“Terima kasih, Kak!”

Di tempat lain, suasana berbeda sedang terjadi. Fanda duduk di ruang kerja pribadinya di kantornya. Ia memandangi layar laptop. Tiba-tiba, ketukan pintu terdengar. Stevan masuk dengan senyum khasnya.

“Fanda, ada waktu kah untukku?”

“Tentu saja, Stev,” jawab Fanda tersenyum tipis.

Stevan duduk di hadapannya.

“Besok malam ayahku berulang tahun, dan aku ingin kamu menemaniku. Mau, kan?”

Fanda terdiam. Ia tahu acara itu akan besar, keluarga dan kolega hadir. Hatinya bimbang, tapi ia tak ingin menolak.

“Baiklah, aku akan datang.”

Mata Stevan berbinar.

“Terima kasih, Fanda. Aku ingin kamu datang karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan.”

Fanda menatapnya penasaran, tapi tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk. “Baik, aku akan datang.”

Malam sebelum acara, Andre duduk di kamar kosnya. Ia menatap kemeja biru yang digantung di lemari, satu-satunya yang terbaik yang ia miliki.

“Apakah aku pantas datang ke rumah sebesar itu?” gumamnya.

Sementara Fanda berdiri di depan cermin apartemennya. Gaun elegan tergantung di tubuhnya, tapi wajahnya justru muram.

“Kenapa aku masih berharap melihatmu, Andre?” bisiknya lirih. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan.

Hari acara tiba. Rumah besar milik ayah Dewi dipenuhi cahaya lampu dan tamu undangan. Mobil-mobil mewah berjejer di halaman, Dewi sibuk menyambut tamu di pintu bersama ibunya. Saat ia melihat Andre datang dengan kemeja biru sederhana, hatinya terasa senang. Ia langsung berlari kecil menghampirinya.

“Kak Andre! Kamu datang! Aku senang sekali.”

Andre tersenyum kaku.

“Iya, kan aku janji.”

Beberapa tamu menoleh, ada yang berbisik-bisik melihat pria sederhana hadir di pesta glamor itu. Andre merasakan tatapan itu, tapi Dewi menggenggam lengannya erat.

“Jangan pedulikan mereka. Kamu bersamaku.ayo kita masuk”

Andre mengangguk.

Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah. Dari dalam turun Stevan dengan setelan rapi, lalu menyusul Fanda dengan gaun anggun berwarna maroon. Kehadirannya membuat banyak mata berdecak kagum. Ibu dan ayahnya menyambut mereka dengan hangat.

“Apakah ini calon menantu kita, Nak?” tanya ibunya. Fanda hanya tersenyum ramah.

“Halo, Om, Tante.”

Saat mereka masuk ke ruangan, Stevan memuji kecantikannya.

“Kamu terlihat menakjubkan malam ini, Fanda.”

Fanda tersenyum.

“Terima kasih, Stevan.”

Mereka melangkah masuk, disambut hangat oleh keluarga besar. Di dalam ruangan, Andre sedang berbicara canggung dengan Dewi ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok itu. Seorang wanita yang tak mungkin ia lupakan.

“Fanda…” bisiknya pelan.

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!