di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 11
Setelah berkeliling cukup lama, perut Valerian mulai berbunyi pelan. Ia menatap ke arah deretan rumah makan yang berjejer di sepanjang jalan utama pasar. Aroma kaldu, daging panggang, dan roti hangat menyeruak dari dapur setiap kedai, menggoda inderanya.
“Alaric,” panggil Valerian sambil menatap papan kayu bertuliskan ‘Rumah Makan Silver Spoon’.
“Kita makan di sana.”
Alaric, yang memanggul karung bahan makanan, langsung menatap panik.
“Tapi… pangeran, uang kita sebaiknya disimpan untuk keperluan penting. Makan di rumah makan pasti mahal.”
Valerian menatap datar, lalu menarik ujung jubah Alaric.
“Aku bilang kita makan.”
Nada suaranya lembut tapi tak bisa dibantah. Alaric akhirnya menghela napas pasrah.
“Baiklah…”
Mereka masuk ke rumah makan yang cukup ramai itu. Ruangan dipenuhi aroma rempah dan suara obrolan para pelanggan. Pelayan segera menghampiri dan menuntun mereka ke meja di sudut dekat jendela.
Valerian duduk dengan elegan meski berpakaian sederhana. Ia membuka daftar menu dan menunjuk beberapa hidangan tanpa ragu.
“Dua sup ayam herbal, satu piring besar daging panggang madu, roti gandum hangat, dan teh herbal panas.”
Alaric langsung membelalakkan mata.
“Pangeran! Itu… terlalu banyak!”
“Tidak juga,” jawab Valerian santai sambil menyerahkan menu pada pelayan. “Aku belum makan siang, dan kau juga harus makan.”
“Tapi—”
“Alaric,” potong Valerian dengan nada lembut tapi tegas. “Jika kau terus menolak, aku akan menyuapimu di depan semua orang di sini.”
Pelayan yang berdiri di samping mereka hampir tersedak menahan tawa kecil. Pipi Alaric langsung memerah.
“B-baiklah, saya akan makan juga,” gumamnya malu-malu.
Beberapa saat kemudian, makanan mereka datang. Uap hangat naik dari mangkuk, aroma kaldu bercampur madu memenuhi udara. Valerian mengambil sendok dan mencicipinya — rasa gurihnya membuatnya menghela napas puas.
“Luar biasa… rasanya jauh lebih enak daripada makanan di istana utara.”
Alaric tersenyum kecil, melihat pangerannya tampak menikmati makanan seperti anak biasa.
“Saya senang Anda menyukainya, Pangeran.”
“Makanlah, Alaric. Kau juga harus punya tenaga untuk membantuku besok.”
Alaric akhirnya mulai makan, dan untuk pertama kalinya, wajahnya benar-benar rileks. Mereka makan dengan tenang, sesekali berbincang ringan — tentang ramuan baru, tentang tanaman di taman, bahkan tentang makanan favorit Alaric waktu kecil.
Sore itu, di antara hiruk pikuk pasar dan aroma makanan hangat, Valerian dan Alaric tampak seperti dua orang biasa — bukan pangeran terbuang dan pelayan setia, melainkan dua teman yang menikmati hidup sejenak di dunia yang keras.
“Kau tahu, Alaric,” ujar Valerian pelan sambil menatap keluar jendela, “mungkin dunia ini tidak seburuk yang kupikirkan.”
Mereka makan dengan tenang, menikmati setiap suapan yang terasa hangat di perut. Suara riuh di rumah makan tak lagi terdengar di telinga Valerian — ia hanya fokus pada rasa nyaman yang jarang ia rasakan. Setelah menghabiskan potongan terakhir daging panggang madu, Valerian bersandar di kursinya dengan ekspresi puas.
“Haa… akhirnya aku kenyang juga,” gumamnya sambil menepuk pelan perutnya.
Alaric hanya tersenyum melihatnya. Pangerannya yang biasanya tenang dan berwibawa kini terlihat seperti anak remaja biasa yang puas setelah makan besar.
“Saya tidak menyangka Anda bisa makan sebanyak itu, pangeran.”
“Tubuh ini masih lemah, jadi aku harus memulihkan energi. Lagipula, makan enak sesekali tidak masalah, bukan?”
Alaric tertawa kecil, lalu berdiri untuk membayar makanan. Namun, Valerian sudah lebih dulu meletakkan beberapa koin emas di meja.
“Sudah kubilang aku yang bayar. Kau hanya perlu menikmati makanannya.”
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan, mereka keluar dari rumah makan. Langit sudah mulai berwarna jingga, menandakan senja turun di atas pasar Astrein. Cahaya matahari yang lembut memantul di rambut perak Valerian, membuat beberapa orang yang lewat tak sengaja menatapnya lebih lama.
Valerian menarik tudung jubahnya kembali, menutupi rambutnya agar tak menarik perhatian lebih banyak.
“Ayo pulang, sebelum malam datang,” ujarnya pelan.
Alaric mengangguk, mengeluarkan gulungan kertas teleportasi dari dalam sakunya. Ia membuka gulungan itu di depan Valerian, membaca mantra kecil yang terukir di permukaannya.
Cahaya lembut segera menyelimuti tubuh mereka berdua. Udara di sekitar bergetar halus, dan dalam hitungan detik, pemandangan pasar yang ramai berubah menjadi halaman sunyi di istana utara.
Begitu cahaya teleportasi memudar, angin dingin dari utara menyambut mereka. Burung-burung malam mulai terdengar dari kejauhan.
Valerian menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah istana tua di hadapannya.
“Akhirnya sampai juga. Rasanya jauh lebih damai di sini,” ucapnya dengan nada lega.
“Benar, Pangeran,” jawab Alaric sambil membawa kantong bahan makanan. “Mungkin tempat ini sepi, tapi bagi saya… istana utara terasa seperti rumah.”
Valerian menatap Alaric sejenak sebelum tersenyum kecil.
“Kau benar.”
Mereka berjalan beriringan menuju pintu utama, cahaya oranye senja yang tersisa memantul di jubah hitam Valerian. Meski sederhana, langkah mereka tampak mantap — seperti dua orang yang perlahan membangun kehidupan baru di dunia yang sama sekali berbeda.
Sore itu, udara di istana utara terasa lembap namun tenang. Cahaya matahari yang menembus celah pepohonan menyinari taman yang kini mulai tampak lebih hidup berkat tangan Valerian. Di tengah taman itu, Valerian berdiri dengan satu tangan terangkat, bola energi hitam berputar pelan di telapak tangannya — stabil, terkendali, dan semakin kuat.
Aura kegelapan di sekitarnya bergetar lembut, cukup untuk membuat dedaunan bergoyang seolah takut mendekat.
“Kau sudah semakin mahir, Pangeran,” ujar Alaric kagum dari jarak beberapa langkah.
“Masih belum cukup,” jawab Valerian datar tanpa menoleh. “Kekuatan ini baru sebagian kecil dari yang bisa kulakukan.”
Ia menggerakkan jarinya, dan bola energi itu berubah menjadi bentuk seperti pedang tipis yang berputar cepat sebelum lenyap dalam kabut hitam. Valerian menghela napas, menatap langit sore yang mulai berwarna ungu.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari arah gerbang istana utara, terdengar suara langkah berat diikuti derap beberapa pengawal. Alaric refleks menatap ke arah sumber suara itu, sementara Valerian tetap diam, aura di tubuhnya menurun perlahan.
“Siapa yang datang tanpa izin ke tempat ini?” gumamnya lirih.
Tak lama, seorang pria berambut hitam pekat dengan pakaian kebesaran kerajaan muncul di halaman — postur tegak dan ekspresi penuh keangkuhan menandakan bahwa dia bukan orang biasa.
“Yang Mulia… Pangeran Kedua,” bisik Alaric dengan nada cemas, segera menundukkan kepala.
Valerian menoleh perlahan, menatap pria itu dengan mata emasnya yang tenang namun tajam. Tidak ada rasa kagum, hormat, atau ketakutan — hanya tatapan datar yang sulit diartikan.
Pangeran Kedua mendekat dengan langkah pelan namun penuh wibawa, senyum tipis tersungging di wajahnya.
“Jadi ini tempat pembuanganmu… Istana Utara.”
Nada suaranya terdengar seperti ejekan halus.
Valerian tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap lurus tanpa berkedip. Angin sore berhembus, membuat rambut peraknya bergerak ringan. Aura dingin dari tubuhnya membuat udara di sekitar terasa menekan.
“Ada urusan apa kau datang ke sini?” tanya Valerian datar. Suaranya lembut, tapi mengandung kekuatan yang sulit dijelaskan.
Pangeran Kedua tersenyum sinis.
“Oh, tidak banyak. Aku hanya ingin memastikan rumor itu benar… Bahwa ‘pangeran mati itu ternyata masih hidup.’”
Alaric menegang, tapi Valerian hanya menatap balik — mata emasnya memantulkan bayangan sang pangeran kedua.
“Sekarang kau sudah tahu jawabannya,” ujarnya tenang. “Jadi pergilah, sebelum aku kehilangan kesabaran.”
Nada suaranya begitu datar, tapi dinginnya menusuk. Bahkan para pengawal di belakang Pangeran Kedua tampak gelisah tanpa tahu kenapa.
Pangeran Kedua mendecak pelan, lalu berbalik sambil tertawa kecil.
“Masih sombong seperti dulu, ya, adikku. Hati-hati… dunia luar tidak sebaik kelihatannya.”
Valerian tidak membalas. Ia hanya berdiri di tempat, menatap punggung pria itu hingga menghilang dari pandangan. Setelah mereka pergi, suasana kembali sunyi — tapi Alaric bisa merasakan tekanan kuat yang menguar dari pangerannya.
Valerian menghela napas pelan, menatap tangan kanannya yang sempat memancarkan aura gelap.
“Aku tidak akan kalah darimu… atau dari siapa pun,” gumamnya lirih.
Malam itu, suasana di istana utara begitu tenang. Langit dipenuhi bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi satu-satunya cahaya di tempat terpencil itu. Angin malam berhembus lembut lewat jendela kamar, menggoyangkan tirai lusuh yang menutupi kaca.
Valerian duduk di meja sederhana di kamarnya, menatap kosong ke arah lilin yang menyala di depannya. Api kecil itu bergetar, seolah mengikuti napasnya yang perlahan. Beberapa saat kemudian, pintu kamar diketuk pelan.
“Masuk,” ucap Valerian datar tanpa mengalihkan pandangan.
Alaric masuk sambil membawa nampan berisi makanan hangat — sup sayuran dan roti lembut yang baru dipanggang.
“Pangeran, saya sudah menyiapkan makan malam,” katanya sambil meletakkan nampan di meja.
Valerian menatap makanan itu sejenak lalu menatap Alaric.
“Kau sudah makan?”
Alaric menggeleng pelan. “Belum, Pangeran. Saya akan makan setelah Anda selesai.”
Valerian menghela napas tipis, lalu menggeser satu piring ke arah Alaric.
“Duduk dan makan bersamaku. Aku tidak suka makan sendiri.”
Alaric tampak ragu, tapi akhirnya duduk setelah Valerian menatapnya tanpa ekspresi. Mereka makan dalam diam. Hanya suara lembut peralatan makan yang terdengar di ruangan itu. Setelah beberapa menit, Valerian meletakkan sendoknya dan menyandarkan tubuh ke kursi.
“Alaric.”
“Ya, Pangeran?”
“Tadi siang… Pangeran Kedua datang ke sini.”
Alaric menunduk. “Saya mendengar dari penjaga gerbang. Maaf karena saya tidak sempat memberitahu Anda lebih awal.”
Valerian menatap kosong ke arah lilin yang hampir padam.
“Kau tahu, dia bilang sesuatu yang menarik.”
“Apa itu, Pangeran?”
“Katanya… dunia luar tidak sebaik kelihatannya.”
Suara Valerian terdengar datar, tapi di balik nada tenangnya terselip sesuatu — tekad yang perlahan tumbuh.
Ia berdiri, berjalan pelan ke arah jendela dan menatap langit malam.
“Dia benar tentang satu hal, Alaric. Dunia luar memang kejam. Tapi kali ini, aku yang akan memperlihatkan pada mereka betapa kejamnya seorang pangeran yang mereka buang.”
Alaric menatap punggung pangerannya, sedikit terkejut dengan nada suara yang ia dengar.
Valerian menatap pantulan wajahnya di kaca jendela — rambut perak yang berkilau di bawah cahaya bulan dan mata emas yang menyala seperti bara api.
“Aku akan masuk ke istana pusat,” ujarnya tenang. “Aku ingin mereka semua tahu bahwa ‘pangeran yang sudah mati’… masih hidup.”
“Pangeran… apakah itu tidak berbahaya?” tanya Alaric dengan cemas.
Valerian menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Tentu berbahaya. Tapi bukankah itu menarik? Lagipula…”
Ia berjalan mendekat, menepuk bahu Alaric pelan.
“Aku harus mewujudkan ucapan kakakku tadi — dunia luar tidak sebaik kelihatannya. Jadi biarkan aku menunjukkan pada mereka seperti apa dunia yang diciptakan oleh pangeran bayangan.”
Suara angin malam meniup lilin di meja hingga padam. Ruangan menjadi gelap, hanya menyisakan siluet Valerian dengan aura kegelapan samar di sekelilingnya.