Seorang wanita muda bernama Lydia dipaksa menikah dengan mafia kejam dan misterius, Luis Figo, setelah kakaknya menolak perjodohan itu. Semua orang mengira Lydia hanyalah gadis lemah lembut, penurut, dan polos, sehingga cocok dijadikan tumbal. Namun di balik wajah manis dan tutur katanya yang halus, Lydia menyimpan sisi gelap: ia adalah seorang ahli bela diri, peretas jenius, dan terbiasa memainkan senjata.
Di hari pernikahan, Luis Figo hanya menuntaskan akad lalu meninggalkan istrinya di sebuah rumah mewah, penuh pengawal dan pelayan. Tidak ada kasih sayang, hanya dinginnya status. Salah satu pelayan cantik yang terobsesi dengan Luis mulai menindas Lydia, menganggap sang nyonya hanyalah penghalang.
Namun, dunia tidak tahu siapa sebenarnya Lydia. Ia bisa menjadi wanita penurut di siang hari, tapi di malam hari menjelma sosok yang menakutkan. Saat rahasia itu perlahan terbongkar, hubungan antara Lydia dan luis yang bertopeng pun mulai berubah. Siapa sebenarnya pria di balik topeng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Rumah besar keluarga Figo tak lagi sama sejak malam itu.
Pagi menyapa dengan udara yang biasanya penuh kegaduhan pelayan, kini sunyi. Semua orang bekerja dalam diam, seolah satu suara keras saja bisa memanggil murka tuannya.
Luis Figo duduk di meja makan panjang, secangkir kopi hitam di tangannya. Di ujung meja, Lydia sedang menikmati sarapannya dengan tenang, seakan tidak ada badai yang baru saja lewat.
Figo memperhatikannya diam-diam. Cara Lydia mengangkat sendok, caranya menatap makanan tanpa terburu-buru, bahkan senyum samar yang terkadang muncul di bibirnya—semua terasa asing namun anehnya menenangkan.
“Kenapa dia bisa setenang itu?” batin Figo.
Padahal ia baru saja hampir menjadi korban pengkhianatan dari orang dalam, sesuatu yang seharusnya membuat Lydia ketakutan. Tapi tidak. Wanita itu justru yang menemukan bukti, yang membongkar Sofia, yang menyelamatkan namanya.
Figo mengetukkan jarinya pelan ke cangkir. “Wanita ini… berbeda.”
Lydia menyadari tatapan suaminya. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap balik, tanpa ragu. “Apa kopi itu terlalu pahit?” tanyanya datar.
Figo sedikit terkejut. Ia jarang ditanya soal hal-hal kecil. Biasanya orang-orang hanya menunduk, menunggu perintah.
“Tidak,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu, berhenti menatapku seperti sedang menilai musuh.”
Ucapan Lydia membuat udara di meja itu sedikit menegang. Beberapa pelayan yang tengah menuang air hampir menjatuhkan gelas mereka.
Namun Figo malah tersenyum tipis—sesuatu yang jarang terlihat. “Kau berani bicara begitu pada suamimu?”
“Kalau aku tidak berani, siapa lagi yang akan melakukannya?” Lydia menaruh sendoknya. “Orang-orang di sekitarmu terlalu takut untuk bicara jujur.”
Figo terdiam. Kata-kata itu menusuk tepat di tempat yang paling ia tahu benar.
---
Siang harinya, Figo memanggil Rafael ke ruang kerjanya. “Bagaimana dengan Sofia?” tanyanya.
Rafael menunduk. “Dia sudah dikurung di tempat aman, Bos. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Dia mencoba menghubungi orang luar. Ada pesan yang hampir lolos sebelum kami cegat.”
Mata Figo menyipit. “Berikan padaku.”
Rafael menyerahkan selembar kertas—salinan pesan singkat yang Sofia coba kirim. “Masih ada jalan. Singkirkan Lydia. Aku akan bayar lebih.”
Rahang Figo mengeras. “Dia tidak tahu kapan harus berhenti.”
Sebelum amarahnya meledak, pintu terbuka. Lydia masuk, membawa setumpuk berkas.
“Maaf mengganggu,” ucapnya datar. “Tapi sebaiknya Anda membaca ini.”
Ia meletakkan berkas di meja. Rafael melirik Figo, lalu mundur memberi ruang.
“Ini laporan transaksi terakhir milik Sofia. Aku memintanya dari salah satu akuntanmu yang… tampaknya masih setia padamu.”
Figo membuka lembar demi lembar. Matanya gelap. “Dia mencuri dariku.”
“Lebih dari itu,” sambung Lydia. “Dia juga menyalurkan sebagian dana pada kelompok rivalmu di selatan. Artinya, mereka membiayai senjata dari uangmu sendiri.”
Figo menggebrak meja. “Perempuan gila itu!”
Lydia menatapnya tanpa gentar. “Marah tidak akan mengubah apa pun. Kau perlu memastikan semua celah ditutup. Kalau Sofia bisa melakukan ini, berarti ada orang lain yang berani juga.”
Untuk pertama kalinya, Figo merasa seperti anak murid yang sedang ditegur gurunya. Dan anehnya, ia mendengarkan.
---
Malam menjelang. Rumah besar itu kembali hening.
Lydia berdiri di balkon kamarnya, menatap langit penuh bintang. Angin malam mengibaskan rambut panjangnya.
Ia tahu, Sofia belum selesai. Orang seperti Sofia tidak akan diam begitu saja. Namun Lydia tidak takut. Justru, semakin jelas baginya bahwa keberadaannya di sisi Figo bukan sekadar sebagai “pengganti” ia adalah penentu arah.
Suara langkah berat terdengar mendekat. Luis Figo muncul di balkon, berdiri di sampingnya. Tangannya masih memegang segelas whiskey.
“Kenapa kau di sini?” tanyanya.
“Udara lebih segar,” jawab Lydia singkat.
Mereka berdua diam beberapa saat. Hanya suara jangkrik yang terdengar.
“Kau tahu,” Figo akhirnya bicara, “sepanjang hidupku aku tidak pernah benar-benar percaya pada siapa pun. Semua orang punya harga, semua bisa berkhianat. Tapi…” ia melirik Lydia, “…kau berbeda.”
Lydia tidak menoleh. “Jangan menaruh kepercayaan penuh padaku. Itu berbahaya.”
Figo mengangkat alis. “Berbahaya?”
“Karena kalau suatu hari aku pun berkhianat, kau akan jatuh lebih dalam.”
Nada Lydia tenang, tapi kalimatnya menusuk.
Figo tertawa kecil, suara yang lebih mirip gumaman. “Kau benar-benar berani bicara begitu pada orang sepertiku.”
“Karena kau butuh seseorang yang berani,” balas Lydia akhirnya menoleh. Matanya menatap langsung ke mata Figo, tanpa takut.
Untuk sesaat, Luis Figo tidak melihat istri pengganti. Ia melihat seorang ratu yang berdiri setara dengannya.
---
Di sisi lain kota, Sofia meronta di dalam kurungan gelap. Tangannya diborgol, tubuhnya lelah, tapi matanya masih menyala dengan kebencian.
“Aku tidak akan kalah…” bisiknya. “Lydia, aku akan kembali. Dan saat itu tiba, kau akan menyesal pernah merebut tempatku.”
Ia sudah kalah satu babak, tapi Sofia belum menyerah. Api itu masih membakar, menunggu kesempatan.
---
Kembali di rumah besar, malam semakin larut.
Lydia hendak masuk ke kamarnya ketika tangan Figo tiba-tiba menahan lengannya. Ia menoleh, sedikit terkejut.
Figo menatapnya lama, dalam, seolah mencari sesuatu di balik wajah tenang istrinya.
“Aku tidak tahu kenapa…” ucapnya perlahan, “…tapi sejak malam itu, aku merasa rumah ini berbeda karena kau.”
Lydia hanya diam.
“Aku… tidak terbiasa mengucapkan terima kasih.” Figo menghela napas panjang. “Tapi jika tidak ada kau, mungkin aku sudah hancur.”
Lydia menunduk sedikit, lalu tersenyum samar. “Kalau begitu, jangan sia-siakan kesempatan kedua yang kau dapatkan.”
Figo terdiam, lalu melepaskan tangannya. Ia berbalik pergi, tapi sebelum benar-benar meninggalkan Lydia, ia berkata pelan—nyaris seperti bisikan:
“Kau bukan sekadar istriku, Lydia. Kau… lebih dari itu.”
Pintu menutup, meninggalkan Lydia dalam diam. Senyum tipis muncul di bibirnya.
Ia tahu, langkah besar baru saja dimulai.
---
Bersambung…
tp kl bnrn,aku orng prtma yg bkln kabooorrrr.....😁😁😁
bingung eike 🤔🤔🤔😁
lope2 sekebon buat author /Determined//Determined//Kiss//Kiss//Rose//Rose/
Smngtttt...😘😘😘