 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Buruk
"Non, bibi temenin makan ya?"
Prima hanya melirik bi Karti sekilas, matanya kembali menatap sepiring nasi yang sedari tadi hanya ia aduk aduk saja. Bi Karti duduk disampingnya, walaupun Prima tak menyahut.
"Non marah ya?"
Alih-alih menjawab pertanyaan bi Karti, Prima menggeser piringnya sedikit menjauh. Ia hanya mau menunjukan pada bi Karti bahwa ia memang serius kesal.
"Non, tadi pak Yusuf sudah telepon om Samuel yang ikut nemenin papa Non Prima di luar negri sana, om Samuel bilang kalau papa Non masih ada di sana. Jadi, yang Non lihat tadi sama pak Yusuf, memang bukan papa Non."
Prima menghentikan gerakan tangannya yang bolak balik memutar di atas piringnya. Ia belum mau menoleh, tapi bi Karti yakin Prima menyimak apa yang ia katakan.
"Kalau Non tidak percaya, Non bisa minta pak Yusuf telponin om Samuel atau on Burhan."
"Tapi bi, yang Prima lihat tadi beneran papa."
"Non, bibi tau non pasti kangen ya sama papa? Tapi kalau non seperti ini, kasihan nanti papa kerjanya jadi ndak tenang. Mama non Prima juga nanti jadi sedih. Non ndak mau kan kalau mama jadi sedih?"
Prima menggelengkan kepalanya. Ia mulai berfikir, mungkin memang ini karena ia merindukan ayahnya. Lagipula, yang ia lihat saat pulang sekolah itu bisa jadi memang bukan Tuan Pramudya. Tidak mungkin jika ayahnya pulang tetapi tak langsung kembali ke rumah mereka.
"Kalau non ndak mau buat mama sedih, bibi mohon sama non, jangan ngambek lagi ya. Non juga ndak perlu cerita sama mama, nanti malah mama kepikiran. Mama non Prima akhir-akhir ini kan kerjaannya banyak. Non tau kan kalau mama mau buka kantor baru beberapa hari lagi? nanti kalau non Prima cerita sama mama, mama jadi tambah kepikiran."
"Ya udah deh Bi, Prima janji nggak akan ngomong sama mama."
"Anak pinter, ya sudah ayo makannya dihabiskan, Bibi temenin."
"Pinternya anak mama makan sendirian. Maaf ya, Mama tadi menyelesaikan pekerjaan jadi nggak sempat nemenin Prima makan."
"Mama..."
Mengenakan setelan blus warna hitam yang elegan Anita turun dari tangga menenteng sebuah tas hendak bersiap untuk menghadiri meeting dengan klien.
"Mama mau ke mana?"
"Malam ini Mama ada rapat sebentar, kamu nanti belajar ditemanin Bi Asih atau Bi Ratna ya, mama mungkin pulangnya agak malam."
"Mama mau meeting di kantor baru ya Ma?"
"Iya sayang, nggak papa kan mama tinggal sebentar?"
"Iya mah, nggak papa mama hati-hati ya."
"Bi Karti nanti minta tolong kamar saya di beresin ya, tadi belum sempat saya beresin. Mama pergi dulu ya."
"Baik nyonya nanti saya bereskan."
Anita mencium kening putrinya dan bergegas pergi diantar oleh Pak Yusuf. Beberapa hari kedepan Anita akan meluncurkan perusahaan desain interior pertamanya. Impian Anita sejak ia masih muda yaitu memiliki perusahaan desain interiornya sendiri. Meskipun ini adalah perusahaan pertamanya, tetapi nama Anita dalam dunia desain sudah terkenal bahkan ia sudah memiliki klien pertama sebelum perusahaannya resmi dibuka.
"Bi Prima sudah selesai makan."
"Ya sudah, nanti Bibi bereskan. Non Prima belajar ya di kamar, nanti Bibi panggilkan Bi Ratna buat nemenin non Prima."
Prima mengangguk, ia lantas berlari ke kamarnya di lantai 2 sementara bu Karti membereskan piring bekas makan malamnya.
"Ratna, tolong tema temenin non Prima belajar ya. Nyonya Anita pergi ke kantor baru, Bibi mau membereskan kamar nyonya."
"Bi, apa non Prima percaya kalau Tuan Pram masih ada di Swiss?"
"iya Rat, untungnya non Prima mau percaya sama Bibi. Sudah sana temani non Prima belajar. Ingat, kalau non Prima tanya soal Tuan Pram, bilang saja kalau tadi Pak Yusuf sudah telepon sama Pak Samuel, dan sudah memastikan kalau tuan Pram masih ada di Swiss. Jangan sampai kamu cerita yang aneh-aneh sama Non Prima ya."
"Iya bi tenang aja."
Bi Karti bernafas lega, setidaknya non Prima dan nyonya Anita tidak perlu tahu bahwa sebetulnya Tuan Pram sudah berada di Indonesia. Bi Karti merasa khawatir, apa sebetulnya yang terjadi mengapa Tuan Pram sudah berada di Indonesia tetapi tidak segera pulang ke rumah.
Bi Karti merasa tidak bisa tinggal diam, i sudah berpesan kepada Pak Yusuf untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Bi Karti."
Asih muncul dari pintu dapur mengagetkan Bi Karti yang tengah melamun.
"Apa to Sih, kok kamu bikin kaget aja."
"Bibi itu lho ngalamun dari tadi. Pasti mikirin Tuan Pram ya."
"Iya Sih, Bibi bingung kenapa ya kok Tuan Pram tidak langsung pulang ke rumah. Pakai segala bohong sama Nyonya Anita perasaan Bibi kok nggak enak ya sih.
"Aku juga dari tadi mikirin itu bi. Asih takut tuan Pram kenapa-kenapa sama nyonya."
"Hus sudah jangan mikir aneh-aneh dulu. Barangkali Tuan Pram ada keperluan yang tidak bisa diceritakan sama nyonya. Sudah, kamu bereskan piring kamu cuci piring dulu ya. Bibi mau bersihin kamarnya Nyonya dulu.
Bi Karti meninggalkan Asih yang masih bertanya-tanya. Sama halnya seperti seisi rumah yang dibuat bingung dengan tingkah Tuan Pramudya yang tidak biasanya.
Kamar Nyonya Anita beraroma floral yang segar. Bi Karti membereskan kertas-kertas yang berserakan dengan hati-hati. Kertas-kertas itu dikumpulkan oleh bi Karti dan ia letakkan ke atas meja kerja Nyonya Anita di kamar itu.
"Loh ini bukannya hasil laboratorium Nyonya Anita ya."
Bi Karti melihat sebuah map coklat bertuliskan nama rumah sakit milik dokter Hadi menyembul di antara tumpukan-tumpukan kertas di atas meja Nyonya Anita.
Ada rasa yang bergemuruh di dalam dada Bi Karti. Tangan bi Karti seolah terdorong untuk mengambil amplop coklat itu. Setelah celingak celinguk memastikan tak ada yang melihat, Bi Karti membuka map berisi satu lembar hasil laporan laboratorium, dan ia terperanjat kaget hingga mundur beberapa langkah membaca isi laporan itu.
"Ini opo bener laporannya seperti ini. Ah, ndak mungkin."
Bi Karti bicara sendiri seolah tak percaya dengan apa yang ia baca. Buru-buru bi Karti turun ke lantai 1 menemui Asih yang sedang mencuci piring dan perabotan masak bekas makan malam hari ini.
"Skh Asih, sini cepat."
"Apa Bi, ada apa?"
"Sini ayo baca ini, kok Bibi rasanya ndak percaya, jangan-jangan Bibi salah baca. Ayo cepat kamu baca."
"Baca apa to, bi? Bibi itu bawa apa?"
Asih masih memegangi piring penuh busa di tangannya.
"Udah to sinio kamu baca ini dulu."
Asih mengelap tangannya yang basah dan segera menghampiri bu Karti yang duduk terbengong menatap sebuah kertas di dalam map coklat.
"Ini laporan hasil laboratorium nyonya, ayo kamu baca."
Asih menatap Bi Karti ragu, perasaannya tidak ena melihat bi Karti yang heboh membawa sebuah map sambil berlari. Dengan tangan gemetar ia membuka map itu dan membaca laporan yang dibawa oleh Pi Karti.
Asih menganga, matanya nanar, jantungnya terpompa cepat.
"Bi Karti, Nyonya, Nyonya terkena kanker otak?"
Bi Karti dan Asih saling menatap dalam diam, bagaikan disambar petir. Kertas laporan itu Asih letakkan di atas meja dapur. Sementara dirinya dan bi Karti terduduk lemas, seluruh tubuhnya bagaikan tak bertulang.
***