Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Tentang Keluarga Melati
"Kamu nggak salah main-main sama dia? Apa kamu nggak tau gosip tentang keluarga mereka? Kenapa mereka kaya raya? Mereka itu pesugihan! Ayah ibunya sampai tewas mengenaskan, gosipnya termakan pesugihan itu sendiri!" kata Prass yang akhirnya bercerita panjang lebar.
Bukannya takut, tapi Seno terkekeh mendengar cerita itu, dia menganggap kalau ketua gengnya itu percaya dengan cerita takhayul.
Melihat Seno yang terkekeh tentu saja membuat mereka semua saling tatap satu sama lain. Geng yang meresahkan sekolah itu mulai membubarkan diri, tak ingin ikut terseret dalam masalah yang sepertinya akan timbul, mereka tidak ingin menjadi tumbal pesugihan dari keluarga Melati.
"Alah, payah kalian. Katanya geng, tapi cemen! Apalagi Prass, nggak pantas jadi ketua, kau!" kata Seno yang terdengar meremehkan mereka semua.
Sekarang, hanya tersisa dia sendiri di belakang sekolah yang terlihat tak terurus dan lembab itu. Saat itu, bulu kuduknya mulai meremang, dia pun bangun dari jongkok, lalu pergi dari sana.
Merasa ada yang mengawasi membuat Seno menoleh dan dia tak melihat apapun di belakang sana selain ranting pohon-pohon yang bergoyang karena tertiup angin.
Bel sekolah pun kembali berbunyi, semua murid segera berlarian ke kelas. Di kelas, Ratih mendapatkan pertanyaan dari guru, kenapa Melati tidak masuk sekolah hari ini.
"Nggak tau, Pak. Padahal tadi pagi dia ada di sekolah, mungkin dia nggak enak badan, terus pulang," jawabnya.
"Orang kok sakit terus!" gumam pak guru yang kembali fokus pada bukunya.
"Emangnya ada yang mau sakit terus, apa?" tanya Ratih dalam hati.
Dan sepulang sekolah, Ratih bingung, dia harus menjenguk siapa, Melati atau Arini? Dan pilihannya jatuh pada Arini, dia ikut bersama teman-temannya yang lain untuk mengucapkan belasungkawanya.
Setelah semua pergi, Ratih masih setia menemani Arini di kamarnya, duduk di ranjang bernuansa putih. "Ibu aku ngelarang aku deket-deket sama Melati, Rat," ucapnya dengan wajah yang terus menunduk.
"Kenapa? Apa karena cerita pesugihan itu? Tapi, itu kan nggak terbukti, kita juga temenan sama dia udah lama, nggak ada tuh kejadian apa-apa sama kita."
"Kemarin, pulang dari rumah Melati, aku cerita sama bapakku kalau Melati dan adiknya butuh orang pinter buat mutusin kutukan keluarganya. Bapakku bilang dia akan kenalin kyai itu, tapi sebelum menemui kyai, malah bapakku yang kecelakaan," tangis Arini, dia memainkan jari-jemarinya, lalu mengusap matanya yang basah.
"Aku rasa, kita nggak bisa bantu Melati lagi, aku masih sayang sama nyawaku, kasihan ibuku, dia sakit gara-gara aku nggak nurut. Seandainya aku nurut buat nggak berteman sama dia, mungkin bapakku masih ada di sini, sama kami!" Arini semakin terisak, kehilangan sosok ayah yang pahlawan baginya adalah bagian tersulit dalam hidupnya.
Ratih hanya bisa diam, tak mungkin dia akan membela Melati di depan Arini yang tengah berduka. Walau di hatinya masih ada sedikit ragu kalau kecelakaan yang menimpa ayah sahabatnya adakah karena Melati.
****
Di rumah Melati, gadis itu akhirnya keluar dari kamar mandi, handuk masih melilit tubuh kurusnya. Dia duduk di tepi ranjang seraya menyisir rambutnya yang basah.
Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyum keputusasaan. "Menyedihkan, pincang dan jadi korban pemerkosaan!" ucapnya.
Lalu, Melati menurunkan tangannya, dia menatap ke cermin meja riasnya. "Apa kau sudah puas? Kutukan demi kutukan sudah kami dapatkan, lalu apa ada lagi yang kamu inginkan?"
Angin menyambut pertanyaannya itu membuat ruangan yang terasa dingin semakin dingin lagi.
Melati berdecak, lalu menatap ujung sisinya yang runcing itu, sepertinya Melati sudah menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Melati segera memakai pakaiannya, dia keluar dari kamarnya dengan membawa roknya yang memiliki noda darah perawannya. Selama berjalan menyusuri ruang demi ruang, Melati melihat dinding rumahnya yang tiba-tiba menghitam, rambut menjulur panjang keluar dari plafon.
Cukup menyeramkan, tapi Melati tak menghiraukan, dia terus berjalan seolah tak melihat semua keanehan itu semua.
Sampai lah Melati di halaman belakang, dia membakar rok abu-abunya itu, tak ingin ada satupun orang di dunia ini yang mengetahui aibnya.
"Lho, kenapa dibakar, Non?" tanya si mbok yang tiba-tiba berdiri di belakang Melati.
"Nggak papa, mbok. Udah kekecilan, mau ganti rok baru," jawab Melati seraya tersenyum tipis.
Sekarang, si mbok berdiri di sisinya, dia ingin menceritakan sesuatu pada Melati. "Non, ada yang ingin mbok sampaikan," ujarnya.
"Apa, Mbok?" tanya Melati, dia menoleh untuk menatap si mbok.
"Non Muning, dia semakin aneh, tadi pagi, dia berdiri di sumur belakang, kaya mau loncat gitu, untung mbok lihat dan segera narik Non Muning biar nggak deket-deket sama sumur tua itu."
"Sepertinya, seseorang dari masalalu ibu dan bapak sangat sakit hati sampai arwahnya nggak bisa pergi dengan tenang, dia ingin aku dan Muning menderita, mati perlahan."
Mbok hanya terdiam, dia menelan ludah, bagaimana mungkin tidak sakit kalau sudah diperlakukan dengan sangat tidak adil.
"Mbok," panggil Melati, kali ini dia menatap lekat pada si mbok.
"Iya, Non. Ada apa?" Si mbok akhirnya mengangkat kepala, menatap Melati yang ingin bertanya sekali lagi.
"Apa mbok udah cerita semua sama aku? Tanpa ditutup-tutupi?"
Si mbok belum menjawab. Dia hanya menggenggam ujung kebayanya erat-erat. Matanya mulai bergetar, ingin menceritakan semua tapi terikat dengan janji pada almarhum juragan
“Mbok?” Melati menegaskan lagi, kali ini lebih lembut.
Si mbok menghela napas. Tapi sebelum kata keluar, terdengar suara denting dari dalam rumah. Seperti suara sendok jatuh, padahal tak ada yang sedang makan.
Mereka menoleh bersamaan, lalu berjalan menuju ke dapur, di sana ada Kemuning yang sedang duduk di kursi meja makan, dia menyuapi sosok yang tak terlihat di kursi sebelahnya.
Melihat itu membuat Melati teringat dengan hinaan Seno tadi yang mengatai kalau adiknya idiot. Melati sedih, dia menangis dan luka yang dia rasakan benar-benar bertubi-tubi.
"Non, kita harus cepat obati Non Muning, mbok takut sesuatu yang buruk akan terjadi sama Non Muning." Si mbok menggenggam tangan Melati yang terasa sangat dingin.
Melati mengangguk, dia pun menanyakan apakah mbok sudah menemukan orang pintar itu? Dan si mbok menjawab dengan menggeleng.
"Nanti, Mbok akan bantu carikan," jawab si mbok.
Sekarang, Melati dan si mbok masuk ke rumah, dia menghampiri Kemuning yang terlihat asik sendiri.
Melihat kakaknya datang, Kemuning pun segera menarik piringnya, dia trauma takut Melati akan menyingkirkan makanannya lagi. Tapi, jelas terlihat di piring itu tidak ada makanan apapun.
"Dek, kamu lagi main apa? Lagi masak-masakan?" tanya Melati dengan lembut, menatap lekat mata adiknya yang sepertinya ketakutan.
"Muning," panggil Melati lagi dan Kemuning menjawab dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir.
"Ssssttt!"
"Kenapa?" tanya Melati keheranan, dia menoleh, menatap si mbok dengan raut wajah yang mulai pucat pasi.
"Muning nggak boleh bicara sama mbak, kata si mas, mbak galak!" jawab Kemuning dengan khasnya yang begitu polos.
Lalu, dengan perlahan Melati mengulurkan tangannya, mengusap lembut rambut adiknya. "Mbak minta maaf karena sempat galak, ya. Sekarang, kita baca dongeng mau, nggak?"
Mata Kemuning berubah berbinar, dia mengangguk dengan cepat tanda setuju. Sekarang, Muning bangun dari duduk, Melati menggandeng tangan adiknya.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti, Melati menoleh dan Kemuning sedang menatapnya sedih. "Kenapa?" tanya Melati, gadis remaja itu juga melihat tangan Kemuning yang di belakang itu terangkat ke udara, seperti ada yang menahannya dari belakang.
Melati mulai frustasi, dia pun melepaskan tangan kecil itu. "Baiklah, baiklah kalau itu yang kamu mau!"
Tunggu! Apa maksud dari ucapan Melati barusan? Eits, jangan risau, jawabannya ada di bab selanjutnya, ya.