NovelToon NovelToon
Duda Perjaka Dan Cegilnya

Duda Perjaka Dan Cegilnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Cinta setelah menikah
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana pernikahan

'BRUKKK!'

"ALETHA!" teriak Damian panik.

Tanpa pikir panjang, Damian bergegas berlari ke arah kamar mandi dan masuk. Ia menemukan Aletha terduduk di lantai dengan tangan mencengkeram pergelangan kakinya yang terlihat sedikit bengkak. Sementara itu, di pelipisnya muncul memar akibat benturan tadi.

"Aduh…" Aletha mengaduh pelan, wajahnya meringis kesakitan.

Damian segera berlutut di depannya. "Kamu kenapa? Kaki kamu sakit?" tanyanya cemas, matanya meneliti kondisi Aletha dengan panik.

Aletha mengangguk pelan, suaranya bergetar, "Aku terpeleset… Terus kepalaku kebentur… sakit banget..."

Seketika Damian meraih wajah Aletha, memperhatikan memar yang mulai membiru di pelipisnya. "Ya Tuhan, Aletha… Kamu beneran bikin aku stres," gumamnya sambil mengusap pelan area yang memar, khawatir menyakitinya lebih jauh.

"Kok gitu?" tanya Aletha dengan bibir cemberut.

"Emang gitu. Kamu bikin aku stress, sekarang ditambah kayak gini. Emang gak bisa banget kamu tuh dibiarin sendiri," jawab Damian seenaknya, kata-katanya berupa candaan yang ia tujukan untuk menghibur Aletha yang sedih.

"Damian, sialan," umpat Aletha.

Dalam hati Damian tersenyum setelah mendengar umpatan Aletha untuknya. Ia menatap Aletha, gadis itu terlihat sedikit berkaca-kaca, entah karena sakit setelah jatuh atau karena memang masih sedih.

"Jangan nangis," ucap Damian cepat, tangannya bergerak ke tengkuk Aletha untuk menyangganya. "Aku bawa kamu ke kamar, habis itu kita panggil tukang urut buat kaki kamu."

Tanpa menunggu persetujuan, Damian langsung membopong Aletha dalam gendongannya. Aletha terkesiap, tetapi tidak melawan. Rasa sakit di kakinya terlalu menyiksa untuk memberontak.

Tubuh kekar Damian membopong tubuhnya, Aletha merasakan tangan Damian berusaha menahan tubuhnya agar tak jatuh.

"Kamu berat juga, berapa kilo sekarang? Doyan makan sih!" kata Damian, mengejek dengan nada datar.

Aletha spontan melotot padanya dan mencubit perut Damian. "Jangan sembarangan ya, beratku cuma 55 kilo dan itu berat badan yang ideal buat tinggi 160cm!"

Damian terkekeh, "Masa' sih? Menurut aku berat banget, udah kayak bawa karung beras yang isinya satu kuintal!"

"Iiih, Damian!!!" Aletha langsung mencubit pipi Damian sekencang mungkin dan menariknya hingga wajah Damian dekat dengan wajahnya.

Aletha justru terbelalak saat wajah pria itu dekat dengan wajahnya, untuk pertama kalinya Aletha sedekat itu dengan Damian.

Saat itu, mata Damian justru tertuju pada bibir Aletha. Dengan dorongan naluri prianya, Damian semakin mendekatkan wajahnya dengan Aletha hingga bibir mereka semakin dekat hanya berjarak beberapa Senti saja.

Mata Aletha membulat, jantungnya berdebar tak karuan. Sebelum Damian benar-benar menempelkan bibirnya dengan Aletha, dengan cepat Aletha mendorong wajah Damian agar menjauh.

"Jangan nakal!"

Sontak, Damian panik merasa Aletha tahu apa yang akan ia lakukan. Dan tanpa sadar tangan Damian melepaskan tubuh Aletha yang ia bopong hingga terjatuh ke lantai.

'BRUKKK!'

"Akhhh... Damian sialan!!!" teriak Aletha murka sambil memegangi bokongnya.

"So-sorry..." kata Damian yang berjongkok dan membantu Aletha bangkit.

"Kamu jahat banget sih! Udah tahu aku sakit, malah dibanting. Ya tambah sakit!" Aletha mengomel.

"Aku kan nggak sengaja, tangan aku refleks melepaskan tubuh kamu, soalnya aku kaget," Damian membela diri.

"Kaget sih kaget, tapi gak usah jatuhin aku juga! Sakit tahu!"

Damian mendengus, "Iya, iya... maaf. Bawel!"

Aletha mendelik, Damian mengangkat tubuhnya dan mendudukkan Aletha di tempat tidur. Damian berjongkok di hadapan Aletha dan memeriksa kakinya dengan seksama.

"Kaki kamu agak biru, seperti bakal membengkak kalau gak segera di urut," kata Damian.

"Sakit banget... pelan-pelan."

"Iya, ini juga pelan."

Aletha menatap Damian yang begitu perhatian padanya, seulas senyum tergambar di bibir Aletha. Dulu, Damian tak pernah seperhatian ini padanya, dia sangat cuek dan paling suka mengejek Aletha.

Kini, Damian lebib perhatian dan tak sungkan untuk membelanya. Aletha pun mulai berpikir, tak apa menikah dengan Damian yang suka sesama jenis asalkan Damian memperlakukannya dengan baik, baginya itu cukup.

"Biar aku suruh si Mbak (pembantu) buat panggilin tukang urut, ini harus buru-buru di urut sebelum bengkak," ujar Damian.

Damian segera keluar kamar dan memanggil salah satu pembantunya. "Mbak, tolong panggilin tukang urut yang ada di dekat pertigaan. Katakan saja ini darurat dan segera bawa kemari."

Pembantu itu langsung mengangguk dan bergegas melaksanakan perintahnya. Sementara itu, Damian kembali ke sisi Aletha yang masih meringis kesakitan.

"Kalau gini caranya, kamu benar-benar harus dijagain 24 jam," ucap Damian setengah menggerutu, meskipun nada suaranya terdengar penuh perhatian. "Repot lagi aku."

Aletha berusaha tersenyum kecil meskipun ekspresinya masih kesakitan. "Jadi, kamu mau jagain aku terus?" tanyanya.

Damian mendengus, lalu dengan lembut menarik selimut untuk menutupi tubuh Aletha. "Ya, mau gimana lagi. Kamu kebanyakan bikin masalah. Kalau aku tinggalin kamu, nanti kamu bisa jatuh dari tangga atau kecemplung kolam renang."

Aletha terkekeh pelan, "Aku gak seceroboh itu, Damian."

"Gak ceroboh tapi nyusahin," timpal Damian.

Aletha tertawa kecil, tapi kembali mengaduh karena rasa sakit di kepalanya. Damian segera menahan bahunya. "Jangan banyak gerak dulu. Tukang urut sebentar lagi datang."

Aletha mengangguk pelan. Tatapannya melembut saat melihat betapa cemasnya Damian. Ia merasa benar-benar diperhatikan.

"Damian…" panggilnya lirih.

"Hmm?"

"Makasih, ya…"

Damian menatapnya sekilas sebelum berdecak pelan. "Jangan sok manis. Aku melakukan tugasku sebagai seorang pria sejati."

Aletha hanya tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan matanya, berusaha mengabaikan rasa sakit yang masih terasa di sekujur tubuhnya.

Di sisi lain, Damian masih setia duduk di dekatnya, memastikan Aletha tetap dalam keadaan baik-baik saja sampai tukang urut datang.

*****

[Malamnya]

"Bagaimana, Pa? Apa Papa dan Bang Erik dapat hasil yang baik setelah bertemu dengan Om Hartman?" tanya Damian dari sambungan telepon.

"Sudah. Papa dan Erik berhasil membungkam Hartman dan membuatnya menandatangani perjanjian hitam di atas putih. Dia berjanji tidak akan kasar lagi pada istrinya dan tidak akan menganggu Aletha, dia juga janji akan menjadi wali nikah Aletha," jawab Pak Pramono.

Damian menghela napas lega, "Syukurlah... Tapi, bagaimana bisa dia berjanji seperti itu?"

"Tentunya karena Papa memberikan ancaman yang lebih besar dari kemarin. Papa bilang kalau Papa akan membuat dia miskin jika masih melakukan hal-hal yang menyangkut alita dan tante Agnes. Dia ketakutan dan pasrah."

"Dia memang matre, kalau soal uang atau kekuasaan pasti mengalah."

"Benar, Hartman takut miskin tapi dia sendiri arogan dan egois. Papa juga heran, kenapa bisa punya adik seperti dia."

Damian terkekeh, "Mungkin dia gak sengaja lahir, Pa."

Pak Pramono terdengar tertawa pelan, "Bisa jadi. Oh iya, bagaimana dengan Aletha sekarang? Apa dia sudah jauh lebih baik?"

Pak Pramono terdengar mencemaskan Aletha.

"Aletha sudah jauh lebih baik, sekarang dia sedang istirahat. Tadi habis di urut karena kakinya terkilir di kamar mandi," Damian menjelaskan.

"Terkilir? Dia tidak terluka parah kan?"

"Nggak, dia gak apa-apa, cuma terkilir sedikit."

"Syukurlah."

"Jadi, kapan rencana pernikahan aku dan Aletha akan dilakukan?" tanya Damian.

"Secepatnya. Yang pasti kamu dan Aletha akan menikah dalam waktu dekat, maka dari itu kami dan dia harus mempersiapkan segalanya."

"Aku ingin pernikahan yang sederhana saja, Pa."

"Kenapa?"

"Entahlah... Aku merasa gak butuh pernikahan yang mewah seperti sebelumnya, aku cukup malu dengan statusku sebagai seorang duda. Aku lebih ingin menikah sederhana, cukup akad nikah, resepsi sederhana dan setelah itu kami menjalani rumah tangga kami," Damian menjelaskan keinginannya tentang pernikahan sederhana.

Setelah mengalami kegagalan di pernikahan pertama, Damian merasa tak menginginkan pernikahan mewah lagi. Baginya, pernikahan sederhana saja cukup, yang penting ia dan Aletha sah menikah.

Pak Pramono terdiam sejenak di ujung telepon, lalu menghela napas pelan. "Baiklah, kalau itu maumu. Papa dan Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Asalkan kamu dan Aletha bahagia, Papa tidak masalah dengan konsep pernikahannya."

Damian tersenyum tipis. "Terima kasih, Pa."

"Tapi tetap saja, acara ini harus dipersiapkan dengan baik. Aletha juga harus tahu dan setuju dengan ini semua. Dia masih perawan, dia mungkin menginginkan sebuah pesta yang meriah dan mewah. Maka dari itu kamu harus dapat persetujuan darinya sebelum memutuskan," lanjut Pak Pramono.

"Iya, aku akan bicara dengannya besok," jawab Damian.

Setelah berbincang sebentar lagi, Damian menutup telepon dan melirik ke arah Aletha yang masih tertidur di ranjang. Napas gadis itu teratur, tetapi wajahnya masih terlihat sedikit pucat. Damian menghela napas pelan dan mengusap wajahnya sendiri.

"Kenapa sih aku jadi kayak gini?" gumamnya pelan.

Damian bukan tipe pria yang mudah peduli pada orang lain. Tapi, ada sesuatu tentang Aletha yang membuatnya selalu ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Mungkin karena pernikahan mereka yang akan datang, atau mungkin karena rasa tanggung jawabnya sebagai pria. Atau… mungkin sesuatu yang lebih dari itu.

Ia mengacak rambutnya sendiri, frustasi dengan pikirannya.

Tiba-tiba, Aletha bergerak sedikit dalam tidurnya dan bergumam lirih, "Damian…"

Damian menegang. Ia menatap Aletha yang masih memejamkan mata, wajahnya terlihat begitu tenang.

"Dia menyebut namaku dalam tidurnya?"

Damian menghela napas dan memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Ia mengambil selimut dan memastikan Aletha tetap hangat sebelum berdiri.

"Selamat tidur, Aletha," bisiknya pelan sebelum berjalan keluar kamar.

*****

[Keesokan Harinya]

Aletha terbangun dengan rasa nyeri di kakinya yang mulai berkurang, tetapi masih ada sedikit rasa ngilu. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menyadari bahwa Damian duduk di kursi dekat jendela, menatap ponselnya dengan ekspresi serius.

"Damian…" panggilnya pelan.

Damian menoleh dan segera berdiri, mendekat ke ranjang. "Gimana? Kaki kamu masih sakit?"

Aletha mencoba menggerakkan kakinya dan meringis sedikit. "Udah agak mendingan, tapi masih agak nyeri."

"Baguslah kalau membaik." Damian menatapnya sejenak sebelum menarik napas panjang. "Ada yang mau aku bicarakan."

Aletha mengernyit. "Apa?"

Damian duduk di tepi ranjang, menatap Aletha serius. "Tentang pernikahan kita."

Aletha menegang. "Kamu… berubah pikiran?" tanyanya ragu.

Damian menggeleng. "Bukan itu. Aku cuma mau tahu, apa kamu setuju kalau pernikahan kita dibuat sederhana aja? Aku gak mau pesta besar-besaran seperti pernikahan pertamaku dulu. Aku cuma ingin akad nikah dan resepsi kecil bersama keluarga dekat."

Aletha terdiam, memikirkan permintaan itu. Ia sebenarnya tidak masalah dengan konsep pernikahan sederhana. Lagipula, ia tidak pernah membayangkan pernikahan mewah untuk dirinya.

"Kalau itu yang kamu inginkan, aku setuju," jawabnya akhirnya.

"Apa kamu gak keberatan?"

"Kenapa harus keberatan?"

"Ini pernikahan pertama kamu, dan mungkin kamu pernah membayangkan sebuah pernikahan dengan konsep kerajaan yang mewah seperti gadis kebanyakan. Kalau kamu gak setuju, kita bisa mengadakan acara pernikahan yang mewah."

Aletha menggeleng, "Aku gak pengen pernikahan seperti itu, sederhana jauh lebih baik. Aku juga maunya pernikahan sederhana aja, karena aku udah cukup senang bakal menikah sama kamu."

Damian menatapnya dalam, lalu mengangguk lega. "Baik. Aku akan kasih tahu Papa dan yang lainnya biar mereka gak bikin acara besar."

Aletha tersenyum kecil. "Jadi… kapan kita menikah?"

Damian terdiam sejenak sebelum berkata, "Secepatnya."

Aletha terkejut, tetapi ia melihat keseriusan di mata Damian. Hatinya mulai berdebar, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah total. Ia akan menikah dengan Damian—pria yang dulu selalu menyebalkan, tetapi kini mulai menunjukkan sisi yang berbeda.

Mampukah mereka menjalani pernikahan ini dengan baik?

Aletha hanya bisa berharap… semuanya akan berjalan lancar.

"Semoga saja aku dan dia benar-benar menikah. Bagiku, gak apa-apa meski hanya pernikahan untuk menutupi aib Damian, yang penting aku dan dia tetap menikah... Aku akan selalu berharap agar dia menyukaiku suatu hari nanti."

BERSAMBUNG...

1
amilia amel
duhhhh gedeg banget sama si Bella, masih merasa sok karena dia pikir Damian masih begitu mencintainya
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
amilia amel
nanti kalo ketemu Bella lagi kamu berubah pikiran lagi....
selesaikan dulu masa lalumu dam
amilia amel
tenangkan dirimu ale.... pergilah untuk mengobati hatimu dulu
amilia amel
sabar ya Aletha, kalo Bella pake cara licik untuk mendapatkan damian kembali
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu
amilia amel
duh sweet banget Damian, walaupun belum sepenuhnya mengakui perasaannya pada Aletha
amilia amel
pasti sebagai perempuan apalagi istri, sedih sekali dengan kalimat seperti itu apalagi yang mengucapkannya sang suami
amilia amel
awas ketagihan lho Dam....
amilia amel
gak sabar saat Aletha tau kalo Damian laki-laki normal
amilia amel
ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!