Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Kursi yang Menyimpan Bayangan
Aku duduk pelan di baris kelima dari belakang.
Kursi ini... dingin. Seperti menyimpan sisa waktu yang berhenti terlalu cepat.
Tanganku bergerak pelan ke sandaran kepala, menyentuh ukiran samar itu: W.A.
Wina Agustina.
Aku tak pernah mengukir namaku di mana pun. Tapi seseorang pernah mengukirnya... di sini.
Aku menatap jendela di sampingku. Di luar sana, matahari sore mengambang di ujung langit. Suaranya diam. Anginnya tipis. Tapi semuanya terasa... penuh.
Tanpa suara, tanpa gerakan yang bisa ditangkap siapa pun Ale duduk di sebelahku.
Wajahnya seperti dulu. Jaket kampus navy itu masih membungkus tubuhnya dengan nyaman, rambutnya sedikit berantakan seperti biasa. Ia duduk menyamping, menatapku.
Kau tidak melihatku, Wina. Tapi kau merasakanku.
Aku ingin bicara. Ingin menyentuh bahumu dan bilang bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi waktu telah membuatku terpisah dari caramu memahami dunia.
Dan meski begitu... kamu datang.
Kamu datang mencariku, bahkan ketika kamu tidak tahu kenapa kamu harus peduli.
Ale mengangkat tangannya perlahan, seolah ingin menyentuh udara di sekeliling wajah Wina. Hanya sehelai jarak antara mereka. Tapi itu jarak yang tak bisa dilompati oleh tubuh.
Hanya oleh hati.
Wina menutup matanya. Air matanya jatuh pelan, diam-diam. Bukan karena sedih. Tapi karena ia tahu, dalam diam itulah... ada kehadiran yang tidak bisa dijelaskan.
“Aku harap kamu tahu, aku nggak gila,” bisikku nyaris tak terdengar. “Aku cuma... percaya.”
Ale tersenyum tipis. Mata sayunya menyimpan sesuatu yang hanya bisa diungkapkan oleh orang-orang yang telah lama tidak punya suara.
Di bawah sana, Nayla dan Pak Subandi sedang berbincang pelan, tidak menyadari apa pun. Nayla sesekali menoleh ke atas, tampak gelisah—entah karena suasana atau karena sinyal tak terlihat dari sahabatnya sendiri.
Wina membuka mata perlahan, lalu menyentuhkan telapak tangannya ke ukiran W.A. itu.
“Apa kamu... ingin aku temukan?” gumamnya. “Atau kamu ingin aku melepas?”
Ale tidak menjawab. Tapi angin di dalam bus itu tiba-tiba berembus pelan. Bukan dari ventilasi. Tapi seperti dari ruang di antara waktu, udara yang menyentuh perasaan, bukan kulit.
Dan Wina tahu.
Ia tahu seseorang di sampingnya sedang duduk diam. Mungkin tak bisa lagi tinggal lama. Mungkin hanya menunggu saat yang tepat... untuk benar-benar pergi.
Tapi belum sekarang.
Masih ada sesuatu.
Masih ada yang belum selesai.
Wina menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak lambat... tapi stabil. Hangat. Terisi.
Untuk sesaat, dunia menjadi tenang. Sunyi. Tapi bukan kosong.
Sunyi yang penuh.
Bab ini menjadi titik kontemplatif, momen hening di mana Wina dan Ale "bertemu" tanpa kata-kata. Ini adalah semacam interlude emosional yang mengikat keduanya semakin dalam, meski masih dipisahkan oleh dunia.
Cuplikan bab selanjutnya;
Berikut Bab 12 dari novel Bayangmu di Hari Pertama, bab penuh gejolak emosi, cinta yang tak bisa bersatu karena batas alam, dan serpihan kebenaran kelam yang mulai terungkap. Di sini, cinta Wina dan Ale menemukan nadinya, tapi dibayangi oleh kenyataan pahit: Zara mungkin bukan hanya sosok menjengkelkan, tapi penyebab dari kecelakaan yang merenggut nyawa Ale.
Sejak hari itu di dalam bus, rasanya segalanya berubah. Bukan hanya perasaanku… tapi seluruh caraku memandang waktu.
Setiap langkahku di kampus ini terasa seperti menapak di dua dunia: satu yang bisa disentuh, dan satu lagi yang hanya bisa dirasakan lewat dada yang hangat dan nyeri dalam waktu yang sama.
Ale tak muncul setiap hari. Tapi saat ia hadir, aku tahu.
Kadang hanya lewat aroma halus yang familiar di tangga asrama. Kadang lewat suara bisikan samar saat aku menatap langit senja dari balkon kamar.
Dan di antara itu semua, aku tahu satu hal pasti:
Aku jatuh cinta padanya.
Bukan cinta impulsif, bukan yang penuh drama. Tapi cinta yang tumbuh perlahan, lewat tatapannya yang lembut, keheningan yang menguatkan, dan cara dia meski dari dunia yang berbeda selalu datang saat aku paling membutuhkannya.
Tapi justru karena itu, rasa ini juga menakutkan.
Sebab… bukankah mencintai seseorang yang tak lagi hidup adalah bentuk kehilangan yang tak bisa diakhiri?
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup