Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Satu Kakak, Dua Adik
"Sayang, Mama pamit ya! Jaga diri baik-baik selama di rumah," kata Serena saat melihat Sekar baru saja menuruni anak tangga.
Sekar mengucek kedua matanya yang masih setengah terbuka. Berjalan gontai menghampiri Serena di ruang tamu. "Harus banget sepagi ini ya Ma?"
Serena baru saja selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil. Dari pukul empat pagi Serena sudah memasak makanan kesukaan Sekar dan juga Satya, tempe mendoan. Dan menu lain sebagai tambahan, Serena juga membuat porsi tambahan untuk Rakha.
"Iya, kan Mama harus naik kereta sayang," balas Serena. Serena adalah wanita yang selalu menjaga waktu. Prinsipnya, jika bisa lebih awal maka akan lebih baik.
"Hati-hati di jalan Ma!"
"Iya, nanti kalo ada apa-apa kabarin Mama ya. Kalo mau pergi juga bilang Mama," peringat Serena untuk putri semata wayangnya. Ia mengecup singkat dahinya.
Sekar menggenggam telapak tangan Serena. "Iya Ma, Sekar bukan anak kecil lagi. Mama tenang aja ya, Sekar bisa jaga diri."
"Iya sayang, Mama percaya sama kamu. Apalagi ada Satya yang bisa Mama percaya buat jaga kamu."
"Aku bahkan gak butuh bang Satya Ma~" rengek Sekar. Ia merasa terlalu diremehkan oleh Serena.
Serena menarik kedua pipi Sekar dengan gemas. "Gak mungkin kamu bisa jauh dari Satya. Masang gas aja kamu minta tolong sama dia."
"Ma...."
Serena terkekeh. "Bercanda sayang, Mama percaya kamu bisa sendiri."
"Hati-hati ya Ma. Jangan lupa oleh-olehnya."
"Pasti dong, Mama gak bakal lupa."
"Bang Satya~" panggil Sekar dengan manja dari luar pintu rumah Satya. Hari ini ia pulang sekolah lebih awal omong-omong.
Satya yang baru saja mengambil dompet dan kunci motor dari atas meja ruang tamu menoleh. "Lo kenapa gak bilang dulu mau dateng?"
Sekar melangkah masuk dengan langkah ringan. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya. "Sengaja, biar kejutan."
"Yaudah lo diem aja di sini, gua mau jemput Rakha dulu," katanya sambil mengambil helm di dekat pintu.
"Ikut~" kata Sekar cepat, sambil bergelayut manja di lengan Satya.
Satya mendorong Sekar menjauh. "Gua mau jemput Rakha, bukan mau ke mall."
Sekar menyeringai tanpa dosa. "Kan pulangnya bisa mampir sekalian."
"Lo mau duduk dimana?"
Sekar menghela napas jengah. "Ya pake mobil dong bang Satya~" Ia menatap halaman rumah Satya, memang hanya ada satu motor hitam yang terparkir rapi. Sementara mobil yang mereka butuhkan berada di toko, sengaja tak Satya parkir di rumah agar lebih mudah mengantar pesanan.
"Gak mau. Lo tunggu aja di sini." Satya menunjuk lantai rumahnya dan menatap Sekar dengan tajam.
Tapi bukan Sekar jika ia menyerah begitu saja. Ia merentangkan kedua tangannya, menghalangi pintu rumah Satya dengan tubuhnya.
"Plisss...."
Satya memutar bola matanya malas, menghela napas panjang seolah stok kesabarannya tak pernah cukup untuk menghadapi Sekar. Seperti inilah rutinitas Satya setiap harinya. Harus menuruti permintaan Sekar. Sebenarnya bisa saja ia menolak, tapi entah mengapa, pada akhirnya ia mengalah. Dan berakhir menuruti keinginannya dengan gurat tipis di bibirnya.
Selalu seperti itu. Bagi Satya, memperlakukan Sekar dengan baik dan membuatnya bahagia adalah tugasnya. Sekar tak boleh kehilangan senyumnya. Apa lagi jika Satya yang membuatnya begitu.
Sekar duduk bersila di kursi penumpang, sesekali bersenandung kecil memecah hening. Di sebelahnya, Satya mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari telunjuk. Matanya awas, mencari keberadaan Rakha yang belum juga terlihat melewati gerbang sekolah. Padahal murid-murid lain sudah berhamburan keluar sejak tadi.
"Lama banget sih!" keluh Sekar mulai tak sabaran.
"Tau tuh, lagi di kamar mandi mungkin," tebak Satya asal.
"Coba lo telfon dong!"
"Bentar lagi juga keluar, lo bisa sabar gak sih!"
Dan tak lama setelah Satya mengatakannya, Rakha berlari kecil sambil menahan tas di punggungnya. Ia membuka pintu mobil dan menyandarkan punggungnya di jok belakang sambil menghembuskan napas panjang.
"Lo abis ngapain? Yang lain udah keluar duluan," tanya Satya tanpa menoleh. Ia mulai menyalakan mesin mobil dan memperhatikan kaca spion.
"Bagian piket dulu tadi," jawabnya singkat. Rambutnya yang bercampur peluh, ia sisir ke belakang dengan jemarinya.
Sekar mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang. "Rak, kita main ke mall dulu ya?"
Rakha mengangkat alis. "Boleh, mau beli apa?"
"Ya jalan aja, sekalian mampir," jawab Sekar sambil melirik Satya yang fokus dengan jalan lurus di depannya.
"Tapi gua gak bawa baju ganti Kak," kata Rakha lesu.
"Gua juga masih pake seragam," kata Sekar sambil tersenyum.
Setelah seharian menimba ilmu di sekolah, berkelahi dengan banyaknya pelajaran—ditambah ia baru saja selesai membersihkan kelas. Penampilannya jauh dari kata keren, dengan rambut lepek dan seragam yang sudah kusut.
"Pake baju sekolah aja, lagian gak akan ada yang negur juga." Satya berucap pelan.
Suasana di dalam mall cukup ramai, dipenuhi orang-orang yang mencari hiburan atau sekadar menghabiskan waktu. Lampu-lampu toko berkilauan, mengundang siapa saja untuk mampir. Ketiganya menyusuri koridor toko, melewati deretan toko baju, gerai camilan, dan toko mainan warna-warni. Sekar beberapa kali menunjuk barang-barang yang menarik perhatiannya—boneka lucu, kaus dengan desain unik, camilan kekinian—tapi hanya menunjuk, tanpa ada niat untuk membeli.
Satya melirik ke belakang, menyadari Rakha berjalan agak jauh dari mereka. Matanya sibuk menyapu toko-toko di kanan kiri, seperti sedang mencari sesuatu. "Lo mau cari apa?"
"Mau beli sepatu," jawab Rakha cepat.
Sekar spontan mendekat, merangkul pundak Rakha dengan semangat. "Ke lantai atas yuk! Gua juga mau beli sepatu baru," ujarnya ceria.
Satya melirik Sekar, heran. "Kenapa lo jadi ikut-ikutan juga!?"
"Suka-suka gua dong!"
"Lo kan baru beli sepatu bulan kemarin," ujar Satya mengingatkan. Barangkali Sekar lupa dengan sepatu barunya yang bahkan baru dipakai beberapa kali setelah dibeli.
"Kan itu sepatu sekolah, kalo sekarang gua mau cari sepatu main," balas Sekar.
Satya menggeleng pelan, senyum tipis terbit di wajahnya. "Banyak alesan!"
Ketiganya melangkah ke arah eskalator menuju lantai atas. Suasana di lantai atas sedikit lebih tenang, tapi deretan toko sepatu tetap ramai. Musik dari speaker toko bergema pelan, berpadu dengan suara langkah kaki pengunjung.
Rakha berjalan masuk ke dalam toko lebih dulu. Satya dan Sekar mengikutinya di belakang. Rakha langsung menuju rak sneakers, matanya berbinar melihat model-model terbaru yang dipajang rapi. Sementara itu, Sekar sibuk menjelajahi rak sepatu wanita. Matanya terpaku pada sepatu-sepatu yang elegan dan stylish, dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Satya berdiri tak jauh dari kasir, tangannya disilangkan di dada, memandangi kedua Adiknya. Ia menghela napas, lalu tersenyum. Menghampiri Rakha yang sedang bingung dengan pilihannya.
Di tangan kanannya, sepatu hitam dengan aksen biru gelap. Dan di tangan kirinya, sepatu putih polos dengan tali berwarna hitam.
"Yang ini lebih bagus," kata Satya memberikan pendapat. Ia menunjuk sepatu hitam di tangan Rakha.
Setelah berkeliling dan mencoba beberapa pasang sepatu, Rakha akhirnya menjatuhkan pilihan pada sneakers hitam dengan aksen biru gelap, mengikuti saran Satya. Sementara Sekar, tanpa ragu mengambil sepatu putih bertali merah yang katanya "lucu buat ootd". Mereka lalu mengantre di kasir, Rakha berdiri di depan, Satya di belakangnya. Sedangkan Sekar, sudah bayar lebih dulu.
"Biar gua yang bayar," tawar Satya pada adiknya.
Tapi Rakha menggeleng cepat. "Ayah udah kasih gua uang jajan Bang."
"Uang lo simpen aja, buat keperluan yang lain," balas Satya, memberikan kartunya.
Rakha menghela napas pelan, mengalah. Tersenyum kecil, tapi cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.
Sudah diberi tempat tinggal, sekarang dibelikan sepatu pula. Ternyata menjadi seorang Adik itu menyenangkan.
Keduanya keluar dari dalam toko bersamaan dengan kantong belanja. Sekar sejak tadi menunggu di depan. Berfoto untuk dipamerkan kepada teman-temannya.
"Bang, beli waffle yuk!" ajak Sekar.
Satya mengangguk pelan. Kebetulan, Satya belum terlalu ingin makan berat. "Boleh."
"Lo yang bayar kan?" tanya Sekar. Senyum liciknya muncul.
"Gak ada. Lo bayar sendiri," tolak Satya datar.
"Kita suit. Yang kalah harus mau bayarin."
"Ayok! Siapa takut!?"
Mereka bersiap. Keduanya saling menatap intens. Rakha hanya memperhatikan saja, tak mau ikut campur dengan pertarungan mereka.
"Satu... dua... tiga..."
Batu. Gunting.
"YES!" teriak Satya girang.
Sekar mendesah pelan. "ko gua yang kalah sih," keluhnya cemberut.
"Udah, ayok kita beli waffle!" ajak Satya semangat kali ini. Ia merangkul pundak Sekar akrab. Sementara di belakang, Rakha hanya bisa menggeleng melihat keduanya.
Mereka bertiga akhirnya duduk di kursi kecil di samping booth setelah memesan, masing-masing dengan waffle hangat di tangan. Rakha pelan-pelan mencicipi bagian pinggirnya, sementara Sekar sudah sibuk dengan topping meleleh di jari telunjuknya.
Satya tak langsung makan waffle miliknya. Ia memilih untuk membuat video dengan durasi pendek. Memperlihatkan bagaimana kedua adiknya makan dengan lahap dan belepotan. Sesekali Sekar akan berceloteh ringan tentang kekalahannya dan berkata akan mengalahkan Satya di waktu lain kepada Rakha. Kemudian mereka berbincang ringan tentang serial drama yang mereka lihat.
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉