Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerelaan
Mario menatap pada cermin yang ada di dinding restoran saat melihat seseorang mengarahkan senjata padanya. Disaat yang sama Valeri menyodorkan makanan padanya. Tak ada waktu untuk lari, Mario menepis sendok di tangan Valeri lalu menjatuhkan tubuhnya dan Valeri menghindari tembakan tersebut.
Dor!
Dor!
Mario menoleh dengan cepat meraih senjata di sakunya, untuk menembak orang yang berlari setelah gagal menembaknya.
Dor! Namun saat ini suasana ricuh dari pengunjung restoran membuat Mario kesulitan.
"Sial!"
Beberapa pengawal mulai berlari mengejar pelaku penembakan, beberapa lagi mengamankan Mario dan Valeri yang masih terdiam dengan wajah terkejut.
Bukan hanya Valeri, restoran juga nampak ricuh sebab insiden tembakan tersebut.
"Kau baik- baik saja?" Mario mengusap pipi Valeri.
"A- apa yang terjadi?" Valeri bertanya dengan gemetar.
"Tidak ada. Pulang dengan pengawal, ada sesuatu yang harus aku selesaikan." Mario hendak pergi.
"Apa? Kamu akan kemana?" Valeri menahan Mario. Genggaman tangannya di ujung jas Mario bahkan sangat erat.
"Aku harus mengejarnya."
Valeri menggeleng, wajahnya nampak ketakutan. "Tidak boleh, Mario. Aku takut. Bagaimana kalau dia menyakitimu."
"Jangan keras kepala Valeri!" Valeri tertegun saat Mario membentaknya.
"Mario!" Valeri meronta, namun pengawal menyeretnya segera pergi meninggalkan restoran tersebut.
....
Valeri menunggu dengan gelisah. Dia duduk di sofa, lalu berpindah ke tepi ranjang, atau pergi ke balkon untuk melihat apakah mobil Mario sudah datang. Namun hingga waktu menunjukan pukul 11 malam Mario belum juga kembali.
Valeri yang kelelahan akhirnya tak sengaja tertidur di sofa.
Pagi hari tiba, dan Valeri yang tersadar jika dia tertidur di sofa segera bangun. Melihat suasana masih hening dan tak ada tanda- tanda kedatangan Mario, Valeri segera keluar dari kamar.
Valeri mengedarkan pandangannya namun dia masih tidak menemukan Mario, hingga tiba di lantai satu dan melihat Hilda yang tengah mengawasi para pelayan bekerja, hingga Valeri memutuskan untuk bertanya pada wanita paruh baya itu.
"Hilda, apa Mario memberi kabar?" tanyanya dengan tak sabar.
Hilda mengeryit. "Tidak, Nona."
Valeri menunduk murung. "Biasanya kau selalu tahu. Dia juga tidak memberitahuku."
"Maafkan saya, Nona. Tuan belum memberitahu saya."
"Baiklah." Valeri berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun dia kembali menoleh saat Hilda kembali memanggilnya.
"Apa anda khawatir?" tanya Hilda dengan tersenyum kecil.
"Ya, aku mengkhawatirkannya." Valeri berucap jujur.
"Tenang saja, Nona. Tuan akan baik- baik saja."
Valeri mengangguk. "Hilda, sebenarnya, apa pekerjaan Mario? kenapa dia bahkan memiliki senjata?"
"Bisnis Tuan, adalah jual beli barang. Selain itu Tuan juga memiliki beberapa mall dan hotel. Hanya saja banyak orang yang iri dengan kesuksesannya, dan mencoba melenyapkan Tuan. Hingga Tuan melakukan penjagaan bahkan memperkerjakan pengawal."
"Semenyeramkan itu?" Pantas saja Mario memperkerjakan banyak penjaga dan pengawal. Valeri kira Mario berlebihan, tapi ternyata pria itu memang selalu dalam bahaya.
"Tapi, yakinlah Nona, Tuan akan baik- baik saja." Hilda mencoba meyakinkan Valeri.
Valeri mengangguk meski begitu, hatinya tetap tak bisa tenang, sebab bagaimana pun Mario pergi untuk mengejar penjahat yang hendak menembaknya kemarin.
"Baiklah, aku kembali dulu." Hilda mengangguk dan membiarkan Valeri pergi.
Hingga hari menjelang malam Mario tidak juga kembali. Valeri bahkan tak selera makan hingga Hilda harus membujuknya.
"Makanlah, Nona. Saya khawatir anda jatuh sakit."
Valeri menggeleng. "Aku akan makan kalau Mario sudah pulang," ucapnya dengan keras kepala.
"Nona, jika anda sakit Tuan Mario akan memarahi saya." Valeri justru menangis.
"Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"
"Nona-"
"Aku hanya akan makan kalau Mario sudah pulang."
Hilda menghela nafasnya lalu membawa kembali makanan yang dia bawa.
Setelah Hilda pergi, Valeri kembali terdiam dengan sesekali mengusap air matanya.
Menunggu seharian bahkan sampai malam Valeri tertidur di sofa seperti sebelumnya. Hingga saat terdengar pintu terbuka Valeri segera terbangun. "Kenapa tidur disofa?"
"Mario." Melihat itu benar-benar Mario, Valeri berdiri dan berjalan cepat ke arah pria itu, lalu memeluknya.
"Syukurlah kamu pulang." Valeri memeluk Mario dengan erat.
"Kamu mengkhawatirkan aku?" Valeri mengangguk tanpa ragu.
"Aku takut terjadi sesuatu padamu." Valeri melepas pelukannya. "Kamu baik- baik saja?" dia meneliti seluruh tubuh Mario.
Mario menarik sudut bibirnya. "Aku baik- baik saja."
Valeri menghela nafasnya lega. "Aku khawatir, saat terakhir kali kamu mengejar penjahat. Aku sangat takut."
"Kamu pikir apa?"
Valeri menggeleng. "Aku tidak mau membayangkannya."
"Tidak akan ada yang lolos dariku, Sayang." Mario berjalan ke arah sofa. "Kemari." Mario mengulurkan tangannya.
Valeri segera mendekat, dan seperti biasa dia mendudukkan dirinya di pangkuan Mario.
"Sekarang waktunya kamu menyenangkan aku," ucapnya dengan berbisik di telinga Valeri, kaki Valeri yang awalnya menyamping dia tarik agar gadis itu mengarah padanya.
Valeri bergidik saat merasakan hembusan nafas Mario di telinganya lalu turun ke leher dan menggigitnya disana.
"Kau merindukanku?" Mendengar itu Valeri memerah lalu mengangguk.
Tangan Mario merambat ke pipi lalu membuatnya mendongak untuk mencium bibirnya. "Kalau begitu ayo tunjukkan."
"A-apa?"
"Lakukan sesuatu yang membuatku yakin kamu merindukanku."
Valeri menatap Mario yang kini bersandar di sandaran sofa lalu membentangkan tangannya. Mata tajamnya terus menatapnya seolah menunggu apa yang akan dia lakukan.
Valeri menelan ludahnya kasar, lalu merambatkan tangannya ke bahu Mario lalu memiringkan wajahnya untuk meraih bibir tebal pria itu.
Mario menyeringai saat gerakan Valeri terasa kaku, namun dia biarkan saja Valeri melakukan apa yang dia mau.
Bibir mungilnya bergerak mencium dan melumat bibirnya, yang entah kenapa meski kaku bisa membuat Mario mulai merasakan tubuhnya memanas.
Tangan Mario mulai merambat dan menelusuri pinggangnya lalu merapatkan tubuhnya untuk memperdalam ciuman Valeri.
Valeri sepertinya mulai terbiasa dan menikmati apa yang dia lakukan, hinga dia menurunkan ciumannya ke rahang Mario lalu turun ke leher dan beberapa saat bermain disana. Valeri tersenyum, seperti ada rasa bahagia saat dia mendengar desisan yang keluar dari bibir Mario. Hingga dia ingin membuat Mario terus mengeluarkan suara sekssinya itu.
Tangan Valeri jatuh pada kancing kemeja pria itu dan melepasnya satu persatu dengan bibir yang tak diam dan terus bermain di leher Mario.
Tangan Valeri sedikit bergetar saat menyentuh dada bidang yang kekar itu, Valeri bahkan menarik diri demi bisa melihat bentuk itu.
"Apa yang akan terjadi, kalau aku menciumnya?" Valeri menyentuh bagian kecil mencuat dari dada Mario.
"Kalau penasaran, lakukanlah." tangan Mario masih berada di pinggang Valeri dan memberi usapan disana.
Valeri menggigit bibirnya saat melihat wajah Mario masih tenang. Padahal Valeri sudah merasa dirinya basah hanya dengan pemandangan ini.
Valeri menunduk untuk melakukan niatnya, lalu membelai bentuk kecil itu dengan lidahnya dan sesekali memberi hisapan.
Ah.
Mario mendongak saat bibir basah Valeri menyentuh areola-nya, tubuhnya menegang dengan rasa nikmat yang menjalari intinya yang sejak tadi tegak berdiri.
Ah.
Valeri merasa puas saat apa yang dia lakukan membuat Mario mendesah keras, hingga tangannya mulai merambat dan membuka resleting pria itu.
Mario yang merasakan gerakan Valeri menahan tangannya.
Merasakan gerakannya di hentikan Valeri mendongak dan melihat mata tajam Mario.
"Ingatlah ini. Yang kamu lakukan saat ini adalah atas kerelaanmu sendiri." suara Mario nampak berat dari sebelumnya, hingga Valeri tak berpikir berlebihan dan melanjutkan kegiatannya saat Mario melepaskan tangannya dan menariknya untuk melabuhkan ciuman di bibirnya.