Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
Siang itu, saat Ara sedang menjemur pakaian di halaman belakang, sebuah foto kecil terjatuh dari saku bajunya. Itu adalah foto keluarga. Ada ibu, dan ayahnya, tersenyum bahagia di sebuah taman bunga.
Air mata Arabella tumpah ruah. Ia memungut foto itu, mengusapnya perlahan, seolah bisa merasakan kehangatan sentuhan mereka.
"Ibu... Ayah..." bisiknya, suaranya pecah. "Ara rindu sekali. Kenapa kalian pergi begitu cepat? Kenapa Ara ditinggalkan sendiri?"
Angin berdesir pelan, seolah ikut merasakan kesedihannya. Daun-daun kering berguguran, seperti air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipinya. Di bawah terik matahari, Arabella merasa begitu kecil, begitu rapuh, dan begitu sendiri.
Dunia terasa begitu luas, namun tak ada satu pun tempat yang bisa ia sebut rumah, tak ada satu pun pelukan yang bisa memberinya kehangatan.
Hanya ada kesendirian, kesedihan, dan beban yang tak berkesudahan. Ia hanya ingin semua ini berakhir. Ia hanya ingin kembali ke pelukan orang tuanya, jauh dari dunia yang kejam ini.
"Syukurlah hari ini panas."
Dengan susah payah, gadis itu menggantungkan satu per satu pakaian basah di tali jemuran.
Tiba-tiba sebuah kaki menghadang jalannya.
Arabella tidak sempat menghindar. Ia tersandung, kehilangan keseimbangan, dan jatuh terjerembap ke tanah. Tongkatnya terlepas dari genggamannya, tubuhnya yang lemah menghantam tanah dengan keras.
Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di kakinya yang cacat.
Dari atas, Gisel, sepupunya, menatapnya dengan seringai mengejek. Gisel memang selalu begitu, senang melihat Arabella menderita.
Gisel iri dengan perhatian yang dulu pernah didapatkan Arabella dari orang tuanya, iri dengan barang-barang bagus yang dulu pernah dimilikinya.
Sekarang, ketika Arabella sudah tidak punya apa-apa, Gisel merasa berhak untuk merendahkannya.
"Makanya, kalau jalan itu pakai mata! Dasar cacat! Bisanya cuma nyusahin orang saja!" Gisel memaki, suaranya lantang dan penuh cemoohan. Ia sengaja menekankan kata ‘cacat’, seolah itu adalah sebuah kesalahan yang tak termaafkan.
Air mata Arabella kembali menetes. Bukan hanya karena sakit fisik, tetapi karena sakit hati yang teramat dalam.
Kata-kata Gisel menghujam hatinya seperti pisau, mengoyak luka lama yang belum sempat mengering. Ia berusaha bangkit, namun kakinya terasa lemas dan berdenyut nyeri.
"Kenapa? Mau ngadu sama Ayah? Percuma saja! Ayah juga sudah muak sama kamu! Di rumah ini, kamu itu cuma sampah, Ara! Sampah yang tidak berguna!" Gisel terus mencerca, menikmati setiap tetes air mata yang keluar dari mata Arabella. Ia merasa berkuasa, merasa lebih baik dari sepupunya yang malang itu.
Arabella hanya bisa terisak, tidak mampu membalas kata-kata Gisel. Ia tahu, apa yang dikatakan sepupunya itu benar. Ia memang tidak berguna, ia memang hanya menjadi beban bagi semua orang. Bahkan untuk sekadar berdiri pun ia tidak mampu.
Dengan susah payah, ia merangkak meraih tongkatnya. Gisel menendang tongkat itu menjauh, semakin membuat Arabella putus asa.
"Mau apa kamu? Mau melawan? Jangan mimpi! Kamu itu lemah, Arabella! Lemah dan tidak berdaya!"
Arabella menunduk, membiarkan air matanya membasahi tanah. Ia merasa seperti binatang yang terluka, tidak punya tempat untuk berlindung, tidak punya siapa pun untuk membela. Ia hanya ingin menghilang, lenyap dari dunia ini, agar tidak ada lagi yang bisa menyakitinya.
Gisel tertawa puas melihat penderitaan Arabella. Ia berbalik, meninggalkan sepupunya yang terkapar di tanah.
"Rasakan itu! Biar tahu diri!" teriaknya sebelum masuk ke dalam rumah.
Arabella terisak semakin keras. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil.
Di bawah terik matahari, Arabella meratapi nasibnya yang malang. Ia bertanya-tanya, apa salahnya hingga ia harus mengalami semua ini?
Kenapa Tuhan begitu tidak adil padanya? Kenapa ia harus kehilangan orang tuanya, kehilangan salah satu kakinya dan kehilangan semua kebahagiaannya?
Ia hanya ingin dicintai, ia hanya ingin diterima, ia hanya ingin hidup bahagia. Namun, sepertinya itu semua hanyalah mimpi belaka. Mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
***
Disisi lain, tepatnya di kediaman Nicholas...
"Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu membencinya!" Edward membentak, suaranya menggema di ruang keluarga yang mewah itu.
"Apa salah Julia? Apa karena dia bukan berasal dari keluarga kaya seperti kita?" lanjut Edward.
Nicholas, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, berdiri di hadapan putranya dengan rahang mengeras.
"Ini bukan soal kekayaan, Edward! Ini soal karakter! Gadis itu tidak baik untukmu. Dia hanya menginginkan hartamu!"
"Itu tidak benar! Kalian tidak mengenalnya! Sarah mencintaiku apa adanya!" Edward membela, hatinya sakit mendengar tuduhan yang dilontarkan ayahnya.
"Cinta? Omong kosong! Daddy sudah menyelidiki latar belakangnya. Dia mendekatimu hanya karena tahu kamu salah satu pewaris Frederick Corporation! Daddy bahkan punya bukti dia menerima sejumlah uang untuk menjauhi mu!" Nicholas menunjuk putranya dengan jari telunjuknya.
Edward terkejut. "Apa maksud Daddy? Daddy menyuap Julia untuk meninggalkanku?"
"Itu demi kebaikanmu, Edward! Daddy tidak akan membiarkanmu menghancurkan masa depanmu dengan wanita seperti itu!"
"Daddy benar-benar keterlaluan! Ini hidupku! Kenapa Daddy selalu ikut campur?!" Edward berteriak, emosinya sudah mencapai puncak. "Aku benci kalian yang selalu ingin mengaturku!"
"Edward, jangan bicara seperti itu pada orang tuamu!" Snowy wanita anggun dengan wajah khawatir, mencoba menenangkan putranya. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Dengan menghancurkan kebahagiaanku? Aku tidak butuh kebaikan kalian! Aku bisa hidup tanpa kalian!" Edward meraih sebuah koper besar yang sudah tergeletak di dekat pintu.
Nicholas pun murka. "Kamu mau kemana? Jangan bertingkah bodoh, Edward! Kamu tidak akan bisa bertahan di luar sana!"
"Aku punya perusahaan sendiri! Aku akan mengelolanya dengan caraku! Tanpa campur tangan daddy!" Edward membanting pintu hingga bergetar.
"Edward! Jangan lakukan ini!" Snowy berteriak, air mata mulai membasahi pipinya. Ia mencoba mendekati putranya, namun Nicholas menahannya.
"Biarkan dia pergi! Dia akan menyesalinya nanti." Nicholas memegangi dadanya yang terasa sakit.
.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul