📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan di ruang rapat, Rasa bersalah, dan pelanggan norma yang masih aman.
Ruang rapat lantai 19 terasa seperti bilik komando: lampu panel dingin, dinding berlapis panel akustik, dan tiga monitor besar yang menampilkan peta operasi, timeline insiden, serta tampilan cetak biru Hummer yang terpotong-potong seperti bukti forensik. Jam digital di dinding menunjuk 07:45. Meja panjang berwarna grafit memantulkan garis-garis cahaya, kursi-kursi tersusun rapi — suasana menuntut disiplin, tidak memberi celah untuk gaduh.
Solerom mengambil posisi di baris paling belakang, kursi sudut kanan. Itu tempatnya selalu: pengamatan luas, jalan keluar cepat. Di sampingnya, Prakai duduk tegak—jas rapi, dasi tertarik rapi, ekspresi wajah nyaris batu. Prakai tidak menoleh; ia menatap layar utama dengan sikap seorang pria yang menimbang kemungkinan-kemungkinan buruk. Solerom merasakan detak jantungnya sedikit melejit setiap kali Prakai menggeser kursi; tangan pria itu sesaat menyentuh buku catatan, lalu menariknya lagi. Di dalam kepala Solerom ada satu kata yang tak mau diam: rahasia semalam. Ia berusaha mengendalikannya—napas pelan, menunduk, memainkan ujung pulpen—tetap pada tugas. Rapat ini mendesak; pribadi harus diletakkan jauh di dalam laci terkunci.
Di ujung meja, Marckno membuka pertemuan dengan cara yang praktis dan dingin. “Rapat terbatas. Semua perangkat pribadi sudah dikumpulkan. Mode tertutup. Agenda: eksfiltrasi cetak biru Hummer, dampak produksi, opsi mitigasi, rencana taktis.” Ia menekan remote; layar menampilkan kata-kata besar: “SITREP — CETAK BIRU Hummer TERKOMPROMI.”
Elesa, Direktur Teknis, mengambil alih dan memaparkan kronologi dengan intonasi militer: “02:13 — anomali keluar dari subnet CAD produksi. Vector: paket terenkapsulasi yang meniru lalu lintas VoIP. Dalam 6 menit, 1,9 GB data ter-ekstrak; sebagian besar berisi desain varian taktis Hummer, modul suspensi adaptif, dan BOM kritikal. Bukti forensik menunjukkan vektor awal berasal dari plug-in yang dikirim oleh pemasok luar negeri. Hash awal cocok—kemungkinan supply-chain compromise.”
Monitor memperbesar potongan cetak biru yang tadinya rahasia — kini terlihat seperti peta ranjau: potongan rangka, titik sambungan, penomoran baut sensitif. Marckno menunduk, suaranya seperti komando: “Produksi varian militer dibatalkan efektif hari ini. Semua lini yang terkait segera diberhentikan. Kerugian finansial awal terestimasi besar — tidak hanya kehilangan IP, tapi kontrak internasional bisa terancam.”
Seorang perwakilan SupplySec menguraikan dampak kerja sama luar negeri. “Kita sudah terikat kontrak pasokan di tiga negara: elektronik di Shenzhen, komposit di Graz, komponen presisi di Nagoya. Kebocoran ini merusak leverage negosiasi — pemasok bisa menuntut penyesuaian biaya atau memaksa klausul lock-in. Selain itu, ada risiko pihak ketiga memproduksi replika kasar di pasar gelap, yang dapat membahayakan operasi yang sedang berjalan.”
Marckno mengangkat tangan: “Keamanan nasional bukan semata-mata soal uang; reputasi kita, serta kelangsungan program, dipertaruhkan. Ini bukan insiden kecil. Kelompok yang mencuri cetak biru tampak terorganisir—jumlah mereka besar, TTP agresif. Kita harus bersiap untuk ancaman kinetik.” Suasana jadi kaku; napas udara dingin menyelinap di antara kursi-kursi.
Kareen, kepala Blue Team, masuk ke detail teknis seperti komandan lapangan membaca laporan intel. “Forensik menunjukkan TTP ‘Mantis-Grey’: living-off-the-land, enkapsulasi pada protokol real-time, pivot via relay di Batam dan beberapa exit node Eropa. Mereka bukan sekadar peretas; mereka punya jaringan logistik. Interval beacon mereka — 3, 5, 13 menit — memberi kita pola. Mereka berkelompok besar; tidak dapat diasumsikan sebagai solo wolf. Ancaman fisik terhadap fasilitas-riset ada kemungkinan nyata.”
Marckno memandang cepat ke seluruh ruangan, lalu memerintahkan: “Kita bentuk dua lini aksi: defensif untuk containment, ofensif untuk penyergapan. Semua pasukan harus siaga. Unit lapangan akan dilibatkan untuk kontra-operasi — bukan hanya tim siber. Kita tidak boleh menunggu sampai mereka beralih dari digital ke kinetik. Kita harus bergerak.”
Marckno menyentuh tombol, slide berubah: “Opsi A: Lockdown total produksi dan jaringan—cut all non-essential external channels, divert critical updates via air-gapped courier. Opsi B: Deception & Decoy — sebarkan varian bench-marked palsu ber-watermark internal untuk menurunkan nilai intel. Opsi C: Offensive Interdiction — koordinasi patroli & penyergapan bersama unit taktis, target relay dan tempat penyimpanan fisik yang teridentifikasi.”
Seorang komandan pasukan taktis menegaskan kesiapan: “Kita akan stand-by 24 jam. Bila intel mendeteksi perpindahan material ke titik kumpul, kita luncurkan operasi penyergapan. Tim kita siap dengan aturan engagement yang dibatasi: sergap cepat, pengamanan barang bukti, dan pencegahan eskalasi sipil. Harus ada sinergi penuh dengan bagian intel siber — tanpa data real-time, operasi lapangan akan buta.”
Marckno menuliskan perintah singkat: “Produksi varian militer dibatalkan. Semua lini terkait dimatikan sampai pemberitahuan lanjutan. SupplySec koordinasi dengan pemasok luar negeri — limited disclosure. Legal & Comms siapkan pernyataan terkontrol. Ops & Intel setting unit siaga. Blue Team: jejak PLUG-IN, buat daftar host yang dikarantina, siapkan decoy.”
Solerom, di kursi belakang, merasakan seluruh tubuhnya tegang—bukan karena bahaya teknis tetapi karena kursi di sebelahnya menumpahkan aura yang sulit ditebak. Prakai menulis beberapa catatan pendek, bibirnya sedikit kencang ketika membaca slide yang memuat kata “penyergapan” dan “unit taktis.” Setiap kali kata “penyergapan” disebut, Solerom membayangkan medan: lampu sorot di malam basah, tim bergerak hening, dan kemungkinan darah. Bayangan itu memukulnya — bukan karena ngeri, melainkan karena kedekatan emosional yang salah tempat: Lina ada dalam persamaan pribadinya. Malu merayap di tengkuknya; ia menjarah dalam hati apakah Prakai akan tahu, membaca sesuatu pada cara ia duduk, atau mengendus kehadirannya seperti anjing pemburu.
Marckno melanjutkan: “Kita tidak hanya menumpulkan nilai intel curian; kita juga harus tangkap aktor utama. Jika mereka besar dan terorganisir, mereka mungkin menempatkan cache fisik atau bekerjasama dengan pabrik bayangan. Unit lapangan akan melakukan sweep berdasarkan intel jaringan—relay hotspot di Batam akan diprioritaskan. Kita bekerja berlapis: Blue Team memetakan jalur komunikasi; Intel HUMINT mencari titik pergerakan; Ops menyiapkan penyergapan.”
Elesa menambahkan garis teknis mitigasi: “Segera lakukan isolasi host, revoke semua API token terkait, reset SSO untuk engineer prioritas, dan lakukan cold-scan pada semua update dari pemasok. Untuk file yang bocor, kita siapkan watermarked decoy yang tampak bernilai tinggi tetapi mengandung cacat terukur—agar replika yang dibuat oleh musuh cepat gagal. Kita juga memprogram traceable anomalies dalam decoy untuk memancing dan menandai rantai distribusi.”
Di sela-sela pemaparan, Solerom merasakan telapak tangannya sedikit berkeringat. Di otaknya, ia terus mengulang: “Jangan terlihat grogi. Jangan biarkan mata bertemu.” Tetapi setiap kali Prakai menggulung catatan, Solerom meliuk sedikit, nafasnya tersendat, perutnya berdenyut. Sebuah detik terlalu lama — dan satu sinyal mata mungkin mengungkap semuanya. Ia menekankan tumit di lantai untuk menahan getaran.
Marckno beralih ke aturan main: “ROE — Rules of Engagement: tidak ada operasi ofensif tanpa persetujuan legal; semua interaksi publik oleh kantor pusat komunikasi; operasi lapangan mematuhi protokol hak asasi; siapa pun yang membocorkan informasi di internal akan diproses menurut kebijakan keamanan nasional. Kita bekerja seperti unit militer: chain of command jelas, komunikasi terpusat, dan eksekusi presisi.”
Kepala Komunikasi menekankan kebutuhan pengendalian: “Media harus di-handle; pernyataan awal netral: ‘sedang diselidiki’. Jangan sebut kata ‘militer’ atau ‘pembatalan produksi’ sampai pernyataan final. Informasi ke pemasok luar negeri: perlu dan terukur—jangan menyebar panik yang dapat dieksploitasi.”
Marckno menutup: “Tingkat ancaman tinggi. Kita harus bersiap untuk opsi kinetik—penyergapan dan operasi penangkapan. Semua unit dari cyber, intel, supply chain, ke lapangan — sinergi total. Kita akan mulai fase eksekusi dalam 12 jam jika indikator berpindah ke fase aktif. Semua komando: siaga.”
Ketika rapat berakhir, kursi-kursi bergeser serentak; suara langkah kaki berirama seperti peleton. Solerom menutup buku catatannya dengan tangan yang sedikit gemetar, menulis dua kata besar: “PENYERGAPAN SIAP.” Di sampingnya, Prakai berdiri tanpa menoleh, wajah tertutup profesionalisme. Solerom menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk berjalan keluar lorong yang sunyi—menuju tugasnya sendiri: mengecek jalur kurir, memverifikasi daftar vendor, mencari celah manusia yang bisa menjadi kunci penyelesaian operasi.
Di luar ruang rapat, dunia berputar seperti biasa—lalu lintas, tumpukan dokumen, pegawai yang melewati gerbang. Tetapi di bawah permukaan, permainan besar telah dimulai: cetak biru dicuri, produksi dibatalkan, pasukan siaga, dan rencana penyergapan yang menunggu sinyal untuk meledak. Solerom tahu satu hal dengan pasti: dalam perang intel seperti ini, kesalahan paling kecil — baik teknis maupun personal — dapat menentukan siapa yang menang dan siapa yang harus menanggung kerugian besar.