Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan di tikungan
Kepala Gue masih ngerasa pusing banget. Wangi parfum menyengat Darly menempel di hidung Gue. Rasanya kayak habis diceburin ke kolam pewangi mobil. Sejak tadi, kepala Gue penuh dengan suara sok bijak ala brosur bank yang keluar dari mulutnya.
Gue butuh udara segar. Lebih baik Gue kabur. Tanpa membawa apapun, yang penting Gue happy daripada hati yang kayak habis di peras blender.
Di komplek ini terlihat sepi walaupun ada beberapa orang yang duduk di teras depan rumah masing-masing. Tapi rasanya di belakang Gue kayak ada suara motor berderit menggema dari ujung jalan.
Braaak-braak-braak!
Gue reflek liat ke belakang, dan hampir kejedot tiang listrik sangking kagetnya.
Yang lewat itu... motor bebek tua dengan cat pudar yang udah susah dibedain antara abu-abu atau sekedar debu. Joknya bolong, ditutup sarung kotak. Dan pengendaranya? Lelaki jangkung, kurus, pakek jaket jeans belel. Helmnya? Pink pudar, jelas bukan ukuran kepala dia.
Motor itu mengerem mendadak pas liat Gue mau nyeberang. Kreeeek! Suara remnya bikin bulu kuduk Gue merinding, kayak denger kapur digores ke papan tulis.
"Eh, eh, maaf! Hampir nyenggol ya?" lelaki itu membuka kaca helm, senyumnya lebar banget, kayak nggak sadar kalau motor dia nyaris bubar jalan.
Gue nyaris mundur setengah langkah. "Motor lo... masih bisa jalan?"
Dia ngakak, motornya langsung batuk-batuk protes. "Ya buktinya Gue masih bisa nyamperin lo. Kalau lo bilang nggak bisa jalan, Berarti lo lagi halu."
Gue hampir nggak bisa tahan ketawa. Serius nih orang?
"Nama Gue Adrian," katanya sambil nyodorin tangan. Tangannya agak kotor bekas oli. Gue menatap sebentar, lalu melirik tangan Gue sendiri yang baru di kasih lotion mahal sama Mama.
"Hmm... nggak usah deh. Takut lotion gue kalah dengan oli lo."
Adrian malah ketawa makin keras. "Wah, berarti lotion lo harus upgrade ke level bengkel."
Gue akhirnya nyengir juga. Entah kenapa, walaupun tampangnya berantakan, ada sesuatu dari dia yang bikin gue ngerasa lebih lega dibanding sejam duduk dengan Darly.
Entah kenapa kami jadinya jalan bareng. Dia dorong motornya pelan sambil cerita, katanya motor itu warisan tiga generasi tukang ojek. Gue nggak tau bohong atau bener, tapi cara dia cerita tuh kocak banget, kayak stand up comedy jalanan.
"Lo kuliah di mana?" Gue akhirnya nanya.
"Eh..." dia garut kepala. "Kuliah di jalan raya."
"Serius?"
"Serius. Tiap hari ini Gue belajar mengalah sama angkot, cara ngegas pas lampu kuning, cara rem mendadak biar nggak nyium pantat truk. Itu ilmu berharga, loh."
Gue ngakak sampai perut sakit. Sialan, lelaki ini beneran bisa bikin orang lupa masalah.
Di tengah jalan, kami mampir di warung kecil. Adrian langsung pesenin es teh buat gue tanpa nanya dulu.
"Lo, minum ini aja, aman. Nggak ada saham, nggak ada bunga. Cuma daun teh."
Gue nyaris nyemburin minuman. Otak Gue otomatis ke Darly lagi. Bayangin aja, lelaki itu kalau pesan teh bisa kayak presentasi laporan keuangan.
"Lo kerja apa?" akhirnya Gue penasaran.
Adrian meneguk tehnya, lama, kayak sengaja bikin Gue penasaran. "Kerja, macam-macam. Kadang tukang parkir, kadang juru ketik, kadang service kipas angin. Intinya Gue fleksibel. Multi talenta."
"Serius amat..." Gue geleng. "Nggak capek?"
Dia nyengir. "Capek sih. Tapi kalau nggak capek, hidup jadi hambar. Lagi pula, Gue suka liat wajah orang seneng pas kipas anginnya nyala lagi. Itu priceless, bos!"
Gue bengong. Terus ketawa lagi. Lelaki begini baru pertama kali Gue temuin.
"Lo biasanya nongkrong di sini tiap sore?" Gue akhirnya nanya lagi sambil nyeruput es teh. Warung ini sederhana banget, cuma bangku panjang kayu, meja penuh dengan noda kopi, dan kalender iklan pupuk tahun kemarin.
Adrian nyandarin sikunya ke meja. "Kadang. Kalau dompet Gue lagi setuju sama isi hati, Gue mampir beli es teh. Kalau enggak, ya cukup ngeliatin aja orang lain minum."
Gue nyengir. "Sad banget hidup lo."
Dia malah ketawa. "Enggak sad kok. Gue anggap itu latihan iman. Lo tau kan, ngeliatin sesuatu tanpa harus punya."
"Lo ngomongnya kayak ustaz gagal audisi." Gue pura-pura serius.
Adrian ngakak lagi, sampe hampir keselek gorengan tempe. "Gagal audisi! Gila, baru kali ini Gue dibilang gitu. Eh, tapi kalau ada audisi ustaz stand up comedy, Gue daftar deh."
Gue tepuk jidat. "Lo yakin? Bisa-bisa ceramah lo isinya tentang oli motor sama knalpot bocor."
Dia keliatan pura-pura mikir, jari telunjuk ngetuk meja. "Hmm... menarik juga. Judulnya, jalan menuju surga lewat bengkel pinggir jalan."
Gue nggak tahan, ketawa sampe mata Gue berair.
Adrian tiba-tiba ngeluarin sesuatu dari kantong jaket belelnya. Ternyata... sebungkus permen karet yang udah setengah kempes.
"Lo mau? Ini limited edition, tinggal satu doang," katanya sambil sodorin.
Gue angkat alis. "Lo yakin itu masih aman? Bungkusnya aja kayak abis nyemplung got."
"Justru itu yang bikin kuat daya tahannya. Anti mainstream." dia mengedip.
Akhirnya Gue ambil juga. Gue kunyah, ternyata... aneh banget rasanya. Antara mint sama rasa plastik. "Rasanya kok kayak... bau lemari dapur." Gue spontan ngomong.
Adrian langsung ngakak terbahak-bahak. "Wah, lidah lo peka banget! Itu varian baru, namanya fresh kitchen."
"Lo nggak serius kan?"
Dia hanya mengangguk aja sambil ketawa-ketawa.
Langit makin gelap. Waktu udah kelewatan. "Eh, Gue harus balik. Mama bisa panik kalau Gue kelamaan di luar."
Adrian berdiri, tepuk-tepuk celana jeansnya yang belel. "Oke, mari kita pulang. Naik mobil sport Gue."
"Mobil sport?" Gue refleks liat kanan-kiri, berharap ada mobil parkir. Tapi yang ada cuma motor bebek bututnya itu.
Adrian naik duluan, tepuk jok bolongnya. "Nih, mobil sport level rakyat. Spoiler ada, cuma bentuknya bekas kardus mie instan diikat di belakang."
Gue hanya bisa menggeleng aja. Mau nolak Gue naik apaan, akhirnya Gue naik juga atas bujukan dia.
Perjalanan pulang bener-bener gila. Setiap kali motor belok, Adrian pura-pura jadi komentator balapan.
"Dan sekarang kita masuk tikungan tajam! Wuuuusshh!"
"Lo bisa fokus nggak? Jangan kayak komentator F1!"
"Tenang, penumpang cantik, semua sudah terjamin oleh... doa orang tua."
Gue otomatis megang erat pegangan di belakang jok, deg-degan campur ngakak.
Pas lampu merah, ada anak kecil jualan tisu. Adrian langsung beli, tapi bukan di pakek buat ngelap keringat atau kaca spion. Melainkan di kasih ke Gue.
"Ini tisu buat jaga-jaga sampai rumah."
"Sial! Lo ngejek Gue?"
Dia malahan ketawa ngakak aja. Sampai di depan pagar rumah, Adrian berhentiin motor yang ngajak ribut sepanjang jalan itu. Gue turun, dan dia senyum lebar.
"Oke, Nona lotion, selamat sampai tujuan. Semoga malam lo jauh dari kata kurang menyenangkan."
Gue langsung melotot. Adrian nyengir penuh misteri, matanya berkilat. "Gue cuma nebak aja kok."
Dia langsung tancap gas, ninggalin Gue yang masih di depan pagar. Laki-laki yang benar-benar aneh.