NovelToon NovelToon
Bintang Untuk Angkasa

Bintang Untuk Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Balas dendam pengganti
Popularitas:983
Nilai: 5
Nama Author: Intro_12

Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.

Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.

Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duka dalam Rumah

Lima bulan telah berlalu, dan Talita paham betul ada yang tidak beres dengan dirinya. Sungguhpun ia sudah mencoba berbagai cara untuk menolak keberadaan entitas yang kini menetap di rahimnya itu, mulai dari mengonsumsi nanas, obat penunda kehamilan, hingga ramuan jamu-jamuan pahit, semuanya sia-sia. Janin itu bertahan. Ia bukan sekadar bertahan, tapi tumbuh, memaksa Talita perlahan merasakan denyut naluri keibuan yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Ada bagian dari dirinya yang mulai goyah… yang ingin menjaga, melindungi, dan membiarkan kehidupan kecil itu tetap ada.

“Hah…” Talita menghembuskan napas berat, menatap kosong ke layar laptop yang sejak tadi tak ia hiraukan. Jemari tipisnya bergerak pelan, mengusap perutnya yang kini sedikit buncit. Pikirannya berkecamuk, sampai kapan ia bisa menyembunyikan semuanya?

Tiba-tiba, suara teriakan memecah keheningan.

“Whaaa!”

Mbak Dasri menyerobot masuk tanpa mengetuk, wajahnya sumringah. Tanpa sungkan, ia mencondongkan tubuh, melihat jelas layar laptop Talita. Font besar bertuliskan 'Congratulation' terpampang di sana.

“Congratulation, artinya selamat kan, Non?” tanya Mbak Dasri dengan nada penasaran.

“Iya,” jawab Talita singkat, suaranya hambar.

“Whaaa! Selamat ya, Non! Nanti jadi dokter!” teriaknya lagi sambil memeluk Talita erat.

Tak lama kemudian, seperti yang Talita duga, Mbak Dasri keluar dari kamar. Talita tahu ke mana langkah itu akan menuju, ke ruang kerja Papa, untuk mengabarkan berita ini.

Di dalam hati, Talita menyesali semuanya. Jika saja ia tidak hamil, ia akan terbang ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, untuk menempuh pendidikan di fakultas kedokteran Harvard. Ia akan mengambil spesialis dermatologi dan venereologi, menjadi residen, lalu pulang dengan gelar yang membuat perusahaan ayahnya makin bersinar. Semua itu ia perjuangkan mati-matian, melewati malam-malam belajar untuk lulus tes tulis yang terkenal sulit. Tapi kini? Semua itu tinggal mimpi yang diremukkan kenyataan.

Talita nyaris menangis kalau saja suara Papa tidak tiba-tiba terdengar.

“Sayang…”

Hendra, pria paruh baya itu, mendekapnya hangat. Meluruhkan sedih Talita.

“Selamat ya, kamu lulus. Papa bangga,” katanya.

Di ujung ranjang mereka berbincang. Hendra dengan penuh antusia berbicara tentang rencan-rencana kehidupan kuliah Talita di sana. Tentang makanan yang akan ia makan, apartemen yang sudah diincar, jaket musim dingin yang harus tebal, hingga sepatu boots untuk berjalan di salju. Ia bertutur dengan raut penuh senang, sekaligus bangga. Namun lain dengan itu,Talita justru tak bisa menahan raut sedihnya, raut memerah dan bibir merapat menahan tangis. Sebab dadanya penuh sesak ingin berteriak tangis. Karena ia tahu, semua yang Papanya katakan itu tak mungkin terjadi.

Hendra, menyentuh pipi merah Talita yang basah air mata. “Jangan nangis, nanti Papa tiap bulan jenguk kamu ke sana. Kamu jangan takut,” ucapnya, menyangka Talita menangis karena takut akan menjejak petualangan barunya di negeri orang.

^^^^^

3 hari lagi Talita akan terbang ke Boston, Mbak Dasri berdendang lirih mengemas pakaian dan peralatan yang akan Talita bawa. Seraya sesekali memberi centang pada daftar list yang Hendra berikan, pertanda bahwa barang itu telah siap dan masuk koper.

Tangan Mbak Dasri berhenti pada sebuah kotak mungil, ia mengusap pandangannya beberapa kali, tak yakin dengan apa yang ia lihat. Test pack.

Mbak Dasri memperhatikan beberapa batang test pack itu, yang kesemuanya bergaris 2. Raut berbinar ceria nya kini berubah muram. Setetes air mata menjatuhi pipinya. Kini Mbk Dasri paham kenapa Nona Talita sering mual, tak tahan bau parfum ruangan, sering lemas, dan semakin berisi.

“Tuaaan!” Teriak parau Mbk Dasri keras, kakinya yang lemas tak mampu beranjak untuk berkabar sopan pada Tuannya.

Tak lama, Hendra datang dengan langkah lebar. “Ada apa?” tanyanya curiga.

Talita yang mendengar teriakan itu, buru-buru muncul, menyambar test pack dari tangan Mbak Dasri, menyembunyikannya di belakang tubuh.

“Berikan pada Papa,” ucap Hendra dengan suara tenang tapi tegas.

Talita menggeleng keras, dengan raut penuh takut, mundur hingga punggungnya menempel di dinding. Namun tatapan Papa terlalu kuat. Perlahan, ia menyerahkan benda itu.

^^^^^

Hari itu, kamar bergaya klasik dengan bedcover super size yang biasanya terasa hening, dipenuhi isak tangis. Hendra duduk di tepi ranjangnya, menatap sendu test pack yang tergeletak di lantai. Matanya beralih ke foto istrinya yang sudah tiada. Dalam hati ia berucap maaf pada sang istri, karena gagal menjaga putri mereka. Ia menenggelamkan wajahnya yang basah tangis di kedua tangannya. Seraya berucap maaf yang berlantun bagai dzikir penyesalan.

Sementara itu, Talita mengunci diri di kamar, meringkuk di balik selimut, menangis tanpa henti.

Sore menjelang, rumah masih diliputi duka. Mbak Dasri menyerah untuk membuka kamar Talita, ia beralih ke kamar Hendra. Mbak Dasri memberanikan diri mengintip kamar Tuannya, yang rupanya terbaring lelap di atas kasurnya. Sang Tuan belum makan sejak pagi tadi, ia khawatir. Ia mencoba membangunkan Tuannya dengan ucapan lirih, namun tak ada sahutan. Rasa panik mulai merayap.

 “Tuan Hendra?” suaranya gemetar. Tak ada respon.

Kini ia benar-benar panik. Ia mengguncang tubuh itu lebih keras, memanggil dengan suara nyaring.

“Tuan Hendraaa!” teriakannya menggema sampai ke kamar Talita

Talita terperanjat. Jantungnya berdegup kencang. Ia berlari keluar kamar, menyusuri lorong dengan langkah terburu-buru.

Saat tiba, ia melihat Papa terbaring kaku. Wajahnya pucat, napasnya berat, dan sudut bibirnya sedikit menurun. Talita tersentak, ini bukan sekadar pingsan. Ia teringat potongan informasi dari buku-buku kedokteran yang pernah ia baca. Salah satu sisi wajah Papa terlihat turun, matanya tampak sayu, dan tangannya lemas terkulai.

“Papa…” bisiknya, suaranya nyaris pecah.

Mbak Dasri sudah menangis di sisi ranjang, mencoba mengguncang tubuh Hendra yang sama sekali tak merespon. Talita gemetar, tapi instingnya mengambil alih. Ia menepuk pelan pipi Papa, memanggilnya, sambil memastikan napas dan denyut nadinya. Masih ada, tapi lemah.

Dengan ponselnya Talita memanggil supir pribadi. “Ke kamar Papa! Sekarang!” seru Talita pada seorang di seberang telefon. Panik bercampur adrenalin memaksa pikirannya fokus. Ia tahu waktu mereka tak banyak. Stroke, kata itu melintas cepat di kepalanya.

1
Asih S Yekti
lanjut , cerotanya bagus aku suka
Asih S Yekti
penulis baru tp bagus kok g banyak tipo penyusunan bahasanya juga bagus
Intro: Trimakasiih.. /Smile/
total 1 replies
Ceyra Heelshire
kasian banget /Whimper/
Intro
Hai, ini karya pertama ku..
makasih sudah mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!