Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Dan Kebingungan
Adelia Roseline menatap bayangannya sendiri di cermin kamar, satu tangan mengelus perutnya yang masih datar.
Rasanya mustahil membayangkan bahwa di dalam tubuhnya sedang tumbuh kehidupan. Kehidupan yang tak direncanakan, dan muncul dari satu malam yang seharusnya ia lupakan—tapi tak bisa.
"Kamu harus bilang padanya, Del…" gumamnya sendiri, tapi mulutnya kaku, seperti tertolak oleh suara hatinya yang lain. "Tapi bagaimana kalau dia justru pergi?"
Ponselnya berbunyi. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya nyaris meloncat keluar.
Reyhan Jonathan.
Ia menatap layar itu lama. Tak diangkat. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena takut suara Reyhan akan melembutkan niatnya untuk menjauh.
Sejak pertemuan tak sengaja di kafe tiga hari lalu, Reyhan menjadi … intens. Dalam pesan, dalam perhatian, dalam tatapan.
"Boleh kita ketemu? Aku ingin ngobrol. Soal kita. Soal waktu itu."
Tapi 'waktu itu' sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar malam penuh luka. Itu sudah menjadi hidup baru.
Sementara itu, Reno mengetuk-ngetukkan jari ke meja di ruang kerjanya. Dari balik dinding kaca, ia memperhatikan Adelia yang sedang bicara dengan klien. Caranya tertawa, cara menunduk malu, cara memegang perut sesekali tanpa sadar.
Ada yang berubah dari Adelia. Dan Reno membencinya.
Bukan karena ia masih mencintai Adelia. Tapi karena Adelia kini terlihat lebih bahagia tanpa dirinya. Dan karena setiap kali ia mencoba mendekat, Reyhan juga selalu berada di sana—dengan ketenangan yang menyebalkan.
"Kenapa kalian jadi dekat, hah?" gumam Reno pelan, lalu mengernyit saat melihat Reyhan berjalan masuk ke ruangan Adelia dengan dua gelas kopi di tangan.
"Aku nggak tahu kamu suka kopi hitam tanpa gula," ujar Reyhan sambil menyodorkan gelas itu. "Tapi kamu terlihat seperti seseorang yang kuat pagi ini."
Adelia memaksakan senyum, menerima kopi itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Kamu selalu begini ke semua wanita?"
Reyhan tertawa pelan. "Hanya pada yang membuatku penasaran."
Adelia nyaris tersedak. Ia membalikkan tubuhnya, menyibukkan diri dengan berkas di meja. "Reyhan, kita tidak seharusnya seperti ini…"
"Kamu hamil, ya?"
Kalimat itu seperti tamparan.
Adelia membeku. Jari-jarinya mencengkeram map terlalu erat.
Reyhan berdiri dari kursinya, mendekat perlahan. "Aku tahu, Del. Kamu menyentuh perutmu seperti seseorang yang sedang … menjaga sesuatu."
"Bukan urusanmu."
"Tapi malam itu, kita…"
"Ya, dan kita seharusnya melupakannya. Kamu kakaknya Reno."
Reyhan tersenyum tipis. "Dan dia mantanmu. Jadi kita impas?"
Adelia mendongak menatapnya. "Ini bukan lelucon."
"Aku tidak menganggapnya lelucon. Justru itu sebabnya aku di sini."
Di luar ruangan, Reno masih mengamati dari balik celah pintu. Ia melihat kedekatan itu dan tak tahan lagi. Ketika pintu terbuka, dan Reyhan keluar lebih dulu, Reno menyapanya datar.
"Ngapain kamu sering ke sini, Rey?"
"Ngopi," jawab Reyhan enteng.
"Dengan mantan adikmu?"
Reyhan menatap Reno dengan pandangan dewasa yang tenang. "Bukan mantan adikku. Tapi mantan pacarmu, yang kau tinggalkan."
Reno terdiam sejenak, menahan emosi. "Kamu nggak tahu siapa dia sebenarnya."
Reyhan tersenyum. "Dan kamu nggak tahu siapa dia sekarang."
Malam itu, Adelia terbaring di tempat tidur. Di tangannya, ada pesan belum terkirim.
'Reyhan … aku hamil. Dan ini anakmu.'
Tangannya bergerak ke tombol kirim … lalu ragu. Dihapus. Draf baru diketik ulang.
'Aku butuh bicara denganmu. Tapi tolong, jangan bawa Reno ke dalam ini.' Ia kirim pesan itu.
Dan untuk pertama kalinya, Adelia menangis bukan karena luka, tapi karena takut … bahwa mungkin ia sedang jatuh cinta pada seseorang yang tak boleh ia miliki.
Pagi berikutnya, suara notifikasi dari ponsel membangunkannya.
'Reyhan: Kapan dan di mana? Aku akan datang, Del.'
Adelia menatap pesan itu lama, lalu menghela napas. Ia belum tahu bagaimana harus menyusun kalimat yang tidak akan membuat pria itu lari. Tapi ia tahu, Reyhan layak diberi tahu. Apapun hasilnya.
Ia membalas pelan, jarinya gemetar di atas layar sentuh.
'Cafe Lavenia jam 3 sore. Tolong sendiri saja.'
Adelia menghabiskan hari itu dengan berkeliling toko perlengkapan bayi, bukan untuk membeli, hanya untuk menatap. Di antara deretan baju mungil berwarna pastel dan mainan gantung, hatinya terasa seperti gelembung sabun—penuh harap, tapi bisa pecah kapan saja.
Dan jam 3 sore, tepat seperti yang dijanjikan, Reyhan datang.
Ia tampak sedikit gugup, tapi tetap rapi dan tenang seperti biasa. Duduk di depannya, memesan teh tanpa gula, lalu menatap Adelia dalam.
"Ada sesuatu yang penting, ya?"
Adelia mengangguk. Ia tidak langsung menjawab. Didekapnya cangkir cappuccino dengan kedua tangan.
"Kamu pasti merasa aneh ... kita baru bertemu sekali, lalu bertemu lagi di situasi seperti ini. Tapi malam itu ... Reyhan, aku..."
"Hamil?" Reyhan memotong dengan suara pelan. Tidak terdengar mengejutkan, lebih seperti ... memastikan.
Adelia terdiam. Pandangannya jatuh pada sendok kecil yang menggulung buih kopi di permukaan minuman.
"Kamu tidak marah? Atau ... menyesal?"
Reyhan menarik napas. "Mungkin aku kaget. Tapi aku tahu, sesuatu tentang malam itu berbeda. Aku tidak mabuk. Aku sadar sepenuhnya. Aku tahu itu bukan hal bodoh."
"Aku ... takut kamu berpikir aku menjebakmu. Atau berusaha balas dendam ke Reno."
"Kalau kamu mau balas dendam ke Reno, kamu bisa memajang fotoku di sosial mediamu dengan keterangan 'Lihat siapa yang lebih baik dari adikmu'. Tapi kamu nggak melakukannya. Kamu pergi."
Adelia tertawa kecil. Suara tangisnya masih tersisa, namun wajahnya sedikit mengendur.
"Aku masih bingung, Rey. Aku nggak tahu harus apa. Bahkan aku belum memutuskan mau teruskan atau—"
"Adelia. Lihat aku."
Adelia mendongak.
"Aku nggak tahu akan seperti apa hidup kita ke depan. Tapi aku tahu, aku nggak bisa pura-pura nggak peduli. Anak itu … bagian dariku juga. Dan kalau kamu mau, kita bisa hadapi ini sama-sama."
Suara Reyhan dalam dan stabil. Kalimat itu seperti selimut hangat di pagi yang dingin.
"Kamu yakin? Ini ... rumit. Reno mungkin akan—"
"Reno sudah membuat hidupmu berantakan. Kini saatnya kamu buat keputusan untuk dirimu sendiri. Bukan untuk dia."
Adelia menunduk lagi, kali ini tersenyum kecil. Lalu tiba-tiba...
"Aduh!"
Gelas di tangannya hampir terjatuh. Pelayan yang lewat tanpa sengaja menyenggol meja mereka.
"Maaf, Mbak! Saya nggak lihat."
Reyhan langsung sigap membantu membersihkan. Dalam waktu sekejap, tawa kecil pun pecah di meja mereka.
"Kamu selalu seserius ini kalau bicara, Rey?" tanya Adelia sambil menahan geli.
"Biasanya aku nggak bicara banyak. Tapi entah kenapa, sama kamu ... aku ingin terus mendengar kamu jawab."
Adelia menyandarkan dagunya di atas tangannya. Ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya. Bukan hanya bayi … tapi keberanian.
Sementara itu, Reno berjalan cepat di koridor kantor. Ia baru menerima pesan dari seseorang di HRD yang mengatakan bahwa Reyhan sering datang ke lantai tempat Adelia bekerja. Ia mencurigai sesuatu, dan rasa tidak tenangnya sudah sampai di ubun-ubun.
"Ada yang aneh," gumamnya. Ia lalu mengetik pesan untuk Karin—istrinya—namun menghapusnya lagi sebelum dikirim.
Karena bahkan pada istrinya pun, Reno tidak bisa jujur bahwa ia belum benar-benar melupakan Adelia.
Malam itu, Adelia berdiri di depan cermin kamarnya. Ia menatap dirinya sendiri lebih lama dari biasanya. Tangannya menyentuh perutnya lagi—lebih lembut kali ini.
Ponselnya berbunyi.
'Reyhan: Kalau kamu izinkan, aku ingin temani kamu ke dokter kandungan minggu depan.'
Adelia menatap pesan itu, lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian. Dan mungkin, cinta memang datang dari tempat yang paling tidak terduga.