Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2_Sean Mahendra
Pagi berikutnya, Namira sedang bersiap-siap untuk rapat daring pertamanya hari itu. Bunyi hairdriyer berdenging cukup nyaring. Ia melihat wajahnya di cermin. Mengagumkan….
Ia tersenyum tipis, seolah bangga dengan penampilannya yang begitu mempesona. Wanita karier, mandiri, cerdas dan mendapatkan pujian yang berlimpah. Hidupnya sempurna… sangat sempurna menurutnya. Namira mulai memoles wajah dengan riasan sederhana namun menampilkan aura kecantikan yang luar biasa. Tak dapat dipungkiri, bahwa memiliki kecantikan merupakan jaminan hidup di masa depan. Semacam privilege tanpa aturan tertulis.
Kini, Namira mulai memilah pakaian yang akan menunjang penampilannya. Mengenakan pakaian yang pantas tentu akan menunjang penampilan supaya semakin gemilang. Lagi-lagi senyumnya kembali mengembang, saat ia selesai berdandan. Menatap dirinya di depan cermin. Satu kata--- sempurna….
Ritual pagi seperti biasanya. Menyecap kopi Americano panas less sugar favoritnya. Jemari tangan lentiknya sibuk mengutak-atik Ipad berlogo separuh apel miliknya. Mengecek beberapa dokumen dan data yang akan ia presentasikan nanti. Sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Nina…
Sahabat dekatnya mengirimkan sebuah video dengan pesan kurir ekspres idaman disertai emoji love. Namira mengernyitkan kening, lantas memutar video yang dikirimkan sahabatnya itu. Sebuah berita sedang menggemparkan jagad dunia maya.
Sosok kurir pemberani, penyelamat nyawa seorang lansia yang hampir terbakar di dalam rumah.
Berita yang sedang viral saat itu tersebar di dunia maya. Namira menyipitkan mata, tatkala menyaksikan cuplikan video yang diambil dari beberapa kamera amatir. Tiga hari yang lalu, terjadi kebakaran di sebuah perumahan yang ditinggali salah seorang lansia. Tidak ada warga yang berani menyelamatkan, tim damkar juga masih terjebak kemacetan Kota Metropolitan.
Namun tak disangka seorang pemuda yang bekerja sebagai kurir, berani menerobos api dan menyelamatkan Sang lansia. Ia di elu-elukan dan beritanya viral dimana-mana. Mata Namira menyipit, saat menatap sosok kurir yang ada dalam video. Sosok yang sepertinya tidak asing dalam pikirannya. Sampai terdengar bel intercom berbunyi.
Ia menoleh ke arah jam dinding, 08.03…
Bukan jadwal antar sarapan, bukan juga jadwal belanja mingguan. Diiringi langkah cepat dan sedikit curiga, ia berjalan menuju arah pintu keluar. Memegang handle pintu lantas membukanya dengan cepat.
Di baliknya lagi-lagi berdiri Sean Mahendra. Mengenakan topi hitam dan jaket logistik yang masih sama, ekspresinya tetap tenang. Kali ini ia membawa paket yang cukup besar di tangannya.
“Selamat pagi, Bu Namira. Maaf mengganggu lagi,” katanya sambil sedikit menunduk.
Namira mengangkat alis.
“Jangan bilang Anda salah kirim lagi,” nada suaranya penuh sarkasme.
Sean menunjukkan alat pemindainya.
“Justru kali ini, paketnya benar. Atas nama Bu Namira Maxzella. Dari Jakarta Selatan, pengirim: PT Artamex.”
Namira menyipitkan mata. Menatap pemuda dihadapannya.
“Luar biasa. Setelah salah kirim kemarin, sekarang Anda muncul lagi dengan gaya ‘saya-santai-tapi-profesional’. Apa ini bagian dari permintaan maaf berantai?”
Sean hanya tersenyum, tak terpancing. Tetap tenang dengan sikap santun.
“Saya hanya mengantarkan sesuai sistem, Bu. Kalau boleh tahu, Ibu ingin saya letakkan di mana paketnya?”
Namira menyandarkan diri di pintu, menyilangkan tangan.
“Letakkan di meja kantor CEO saya. Tapi saya lupa, Anda mungkin berpikir kantor CEO itu bisa dicapai dengan naik motor.”
Sean tetap tenang, meski matanya sedikit menyipit.
“Saya tahu tempat saya, Bu. Justru karena itu, saya pastikan paket sampai ke tangan yang benar. Mau orang biasa, mau CEO, prosedurnya sama.”
“Ah, egaliter sekali,” ejek Namira.
“Sayang hidup nyata tidak seromantis brosur motivasi.”
Sean tidak menjawab seketika. Ia hanya meletakkan paket dengan hati-hati di lantai dekat pintu.
“Saya mengerti, Bu. Dunia tidak adil. Tapi kalau saya membenci semua orang kaya hanya karena saya belum kaya, saya tidak akan fokus bekerja.”
Namira mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar jawaban yang tak terduga.
“Tunggu. Apa itu maksud tersirat bahwa saya arogan karena kaya?”
Sean menatapnya tenang. Masih dengan sikap santun.
“Tidak, Bu. Saya hanya menjawab pernyataan Ibu dengan kenyataan saya. Saya tidak menilai Ibu. Tapi saya paham kenapa Ibu menilai saya.”
“Luar biasa. Anda ternyata bukan hanya kurir, tapi juga filsuf jalanan.”
Sean tertawa kecil.
“Saya hanya orang biasa yang kadang berpikir sebelum bicara. Maaf kalau itu terdengar aneh.”
Namira menatapnya lama. Separuh dari dirinya ingin menutup pintu dan mengakhiri percakapan. Separuh lainnya... penasaran.
“Baiklah, Sean Mahendra. Sekarang Anda sudah antar paket saya dengan benar. Anda merasa sudah menebus kesalahan kemarin?”
“Bukan soal tebus-menebus, Bu. Bekerja itu bukan urusan membayar utang moral. Saya hanya menyelesaikan apa yang jadi tugas saya.”
Lagi dan lagi, Sean menjawab dengan tenang. Bak manusia yang seolah tak memiliki emosi.
Namira menyeringai tipis, “dan Anda pikir itu cukup?”
Sean tersenyum.
“Tidak akan pernah cukup untuk sebagian orang. Tapi bagi saya, cukup itu saat saya tahu saya sudah melakukan bagian saya dengan benar.”
Hening sejenak. Namira menarik napas, mencoba membentuk kalimat berikutnya yang lebih tajam. Tapi anehnya, tak ada yang keluar. Seperti sedang berdebat dengan tembok beraksen sopan.
“Apa Anda selalu tenang begini?” tanya Namira akhirnya, setengah kesal.
“Tidak, Bu,” jawab Sean.
“Tapi saya belajar bahwa emosi yang tak dikendalikan, cuma akan membuat hidup makin berat. Saya angkat paket, bukan amarah.”
Namira mendengus pelan. Tangannya masih terlipat di dada. Gayanya sama, bak putri Raja yang arogan.
“Kalau semua orang sebijak Anda, dunia akan terlalu membosankan.”
Sean menunduk sedikit, kali ini benar-benar menahan tawa.
“Kalau semua orang sejujur Ibu, mungkin dunia akan lebih jujur… meski sedikit lebih tajam.”
Untuk pertama kalinya sejak kemarin, sudut bibir Namira terangkat, meskipun hanya sepersekian detik.
Ia menunjuk paket di lantai.
“Angkat lagi. Bawa ke meja dapur. Anggap ini bagian dari rehabilitasi citra.”
Sean mengangguk patuh, mengambil paket itu dan membawanya masuk sejauh ambang pintu.
“Saya akan pastikan tidak salah alamat lagi, Bu Namira.”
“Bagus . Karena saya tidak akan bersikap semanis ini dua kali.”
Sean tersenyum sambil mundur.
“Percayalah, Bu. Tadi pun tidak manis, hanya sedikit... mengandung gula.”
Namira nyaris tertawa, tapi ia menahan diri.
“Pergilah sebelum saya ubah pikiran dan kirim komplain ke kantor pusat.”
Sean memberi hormat ringan.
“Baik, Bu. Sampai jumpa... mungkin.”
Pintu tertutup.
Untuk kedua kalinya, keheningan itu diisi gema ucapan Sean yang lagi-lagi menempel di kepala:
Saya angkat paket, bukan amarah.
Kedua kalinya juga, itu membuat Namira... kesal.
Kesal karena pria itu tak merasa perlu membela diri keras-keras, dan tetap menang. Kesal karena ia mulai merasa, ia sedang kalah dalam duel yang tak ia rencanakan. Kesal karena untuk pertama kalinya, ia merasa... penasaran.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.