aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
Jantungku berdegup begitu kencang, napasku terengah-engah, tapi aku tahu aku tak boleh diam.
Tak ingin hancur sendiri dalam kesunyian yang menyiksa, aku memilih berlari keluar dari kontrakan itu.
Suaraku meledak—keras dan tajam—menggema di gang sempit yang basah oleh hujan.
“Dia berzina! Suamiku berzina dengan Wulan, janda itu!” teriakku dengan suara yang nyaris pecah.
Suara teriakku seperti petir yang menyambar malam.
Suamiku dan Wulan terpaku, wajah mereka berubah panik.
Suamiku berusaha menggapai tanganku, tapi aku sudah terlambat.
Air mata membanjir di pipiku, aku terus berlari menjauh, meninggalkan dua sosok yang kini menjadi penyebab luka dalam hidupku.
Karena suaraku begitu keras dan nyaring, satu per satu pintu kontrakan mulai terbuka.
Warga keluar, mengintip dari balik tirai dan pagar.
Beberapa ibu-ibu langsung berdiri di depan rumah mereka, menatapku dengan kaget dan bingung.
“Astaghfirullah... itu Bu Rukayah, ya?”
“Ya Allah, itu suaminya Bu Rukayah sama Wulan?”
“Ya ampun, beneran selingkuh?”
Aku terus berteriak, meski suaraku mulai bergetar karena emosi dan tangis.
“Lihat sendiri! Suamiku ada di dalam kontrakan ini dengan Wulan! Pakaiannya sudah terbuka! Mereka berzina!”
Seorang ibu setengah baya maju ke arahku, mencoba menenangkanku.
“Bu Rukayah… tenang dulu, Bu, jangan emosi—”
Aku menggeleng keras. “Kenapa harus tenang?! Aku istri sahnya! Aku yang hidup susah dari nol sama dia! Dan sekarang aku disisihkan demi janda itu?!”
Wulan yang tadi masih di dalam kontrakan, kini muncul sambil membetulkan pakaiannya yang kusut. Matanya melirik ke sekitar, mulai merasa takut.
“Jangan bikin malu orang!” bentak Wulan dengan suara tinggi menatapku tajam, benar-benar perempuan hina!
“Memangnya kamu nggak malu tidur sama suami orang?!” bentakku balas, suaraku tajam menusuk.
Suamiku menyusul, wajahnya penuh keringat dan kepanikan.
“Rukayah… cukup! Jangan bikin ribut!” katanya sambil mendekatiku.
Seorang bapak-bapak bersuara dari samping.
“Lho, Pak, yang bikin ribut siapa? Bapak yang selingkuh kok malah istri sahnya yang disalahin?” ucap sesorang. Yang lain ikut menimpali.
“Dasar laki-laki nggak tahu diri.”
“Sama Bu Rukayah aja masih kurang?”
“Udah tua juga, masih aja main belakang.”
Wajah suamiku menegang. Ia menunduk, seperti ingin menghilang dari pandangan.
Tapi sudah terlambat.
Aibnya sudah tersebar, dan hari itu, tak hanya aku yang menyaksikan pengkhianatannya.
Karena suamiku dan Wulan sudah terpergok dalam keadaan tak senonoh, warga tak tinggal diam.
Beberapa bapak segera menggiring mereka keluar dari kontrakan itu, meski Wulan berusaha menutupi wajahnya dengan kerudung seadanya.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” kata Pak RT tegas. “Sudah mencemarkan nama baik lingkungan. Keduanya harus dibawa ke balai desa!”
Warga mengangguk.
Aku masih berdiri di pinggir gang, tubuhku gemetar, tapi ada kepuasan kecil di hatiku melihat mereka tak bisa lagi sembunyi.
Suamiku menunduk dalam-dalam, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri.
Wulan hanya bisa mengikut sambil membungkam.
Tak ada lagi senyum sinis seperti tadi. Yang ada hanya ketakutan—karena mereka tahu, aib sudah terlanjur jadi tontonan.
Di sepanjang jalan menuju balai desa, warga mulai berbisik-bisik.
“Padahal Bu Rukayah yang menemani suaminya hidup susah…”
“Dan sekarang dibalas begini?”
“Kok bisa tega, ya…”
Aku berjalan pelan di belakang mereka, menahan air mata yang terus mengalir tanpa suara.
Bukan karena aku menyesal telah memergoki.
Tapi karena aku sadar, hari itu aku kehilangan bukan hanya suami—tapi juga harga kepercayaanku selama ini.
Di balai desa, para perangkat sudah berkumpul.
Pak Lurah memandang tajam ke arah suamiku dan Wulan.
“Bapak dan Ibu… kami sudah dengar semuanya. Saksi pun banyak. Kalau ini benar, maka ini masuk kategori perzinaan. Dan kami akan laporkan ke pihak berwajib kalau tidak ada penyelesaian.”
Wulan buru-buru menjawab, “Kami saling mencintai, Pak Lurah. Kami akan menikah…”
Aku tertawa kecil, getir.
“Mencintai? Setelah puluhan tahun aku dampingi dia dari nol, dan sekarang kau rebut begitu saja dengan dalih cinta?”
Pak Lurah menengahi.
“Bu Rukayah, kalau Ibu ingin menempuh jalur hukum atau membawa ini ke pengadilan agama, kami siap bantu.”
Mendengar Pak Lurah menyebut kemungkinan dibawa ke jalur hukum, suamiku yang usianya hampir 50 tahun itu langsung pucat.
Wajahnya, yang tadi masih berusaha tenang, kini terlihat panik. Tangannya gemetar saat mencoba meraihku.
“Rukayah… maafkan aku… Aku khilaf. Aku janji, aku nggak akan ngulangin ini lagi…”
Aku memalingkan wajah. Ucapan maaf itu terasa begitu murahan.
Ia menunduk lebih dalam, seperti anak sekolah yang tertangkap berbuat curang.
“Aku cuma main-main, Yah… Sama Wulan itu nggak ada rasa, cuma… cuma sesaat aja. Aku bodoh. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Nggak mau kehilangan keluarga kita…”
Wulan mendesis pelan, tapi tak berani bicara. Ia sadar posisinya sedang diguncang.
Aku hanya menatap suamiku dalam diam.
Ingin rasanya menampar wajahnya, bukan dengan tangan, tapi dengan semua luka yang selama ini kupendam dalam dada.
“Main-main?” tanyaku dengan suara lirih namun tajam. “Kau sebut tidur dengan perempuan lain itu cuma main-main? Kau hancurkan pernikahan kita… demi permainan?”
Suasana di balai desa mendadak hening.
Semua mata tertuju padaku.
“Waktu aku mendampingimu saat kamu belum punya apa-apa, Pak. Saat kamu hanya laki-laki miskin kecil yang berteduh di gubuk reyot—apakah itu juga cuma main-main bagiku?”
Suamiku menggigit bibirnya. Ia tahu, tak ada lagi kata yang bisa menyelamatkan harga dirinya di hadapanku.
“Kamu ingat waktu dulu kita masih tinggal di rumah bambu, Pak?” suaraku serak, tapi tajam. “Waktu kamu hanya kerja serabutan makan saja kadang cuma nasi garam. Kamu lupa? Bahkan keluarga besarmu saja tidak peduli dengan keadaan kita saat masih miskin dulu!"
Ia tertunduk makin dalam, tak sanggup membalas tatapanku.
“Waktu itu, mana keluargamu?” aku lanjut. “Satu pun nggak ada yang datang bantu. Saudaramu yang sekarang sering datang minta uang, dulu bahkan pura-pura nggak kenal sama kita.”
Beberapa warga mengangguk pelan, ada yang mulai berbisik.
Aku menggeleng pelan, menatap suamiku dengan getir.
“Tapi aku tetap ada. Aku yang setia mendampingi. Aku juga bantu kamu jualan gorengan sambil gendong anak. Aku yang cuci kaki tanganmu waktu kau jatuh sakit. Tapi sekarang... kamu balas aku dengan pengkhianatan ini?”
Ia mencoba berbicara, suaranya parau.
“Yah… aku salah… Aku khilaf… Wulan cuma pelarian, aku—”
“Jangan sebut nama dia di depanku!” potongku tegas.
“Kalau memang pelarian, kenapa sampai berbulan-bulan? Kenapa sampai diam-diam kamu tidur di kontrakan yang kotor dan sempit ini?”
Wulan mulai terisak, tapi tak ada simpati untuknya di ruangan itu.
“Waktu susah, aku istrimu. Tapi begitu ka?u punya uang, tanah 10 hektar, toko material… aku cuma istri tua yang dilupakan. Aku bukan istrimu lagi di matamu. Hanya beban.”
Wajah suamiku memucat. Tangannya mengepal.
Pak Lurah bersuara, pelan namun berwibawa.
“Kalau memang Bu Rukayah yang setia dari awal, harusnya dia yang paling dihormati. Bukan dikhinati.”
Aku menoleh ke Pak Lurah, lalu kembali pada suamiku.
“Ka?u mau aku maafkan? Pulang? Lalu aku berpura-pura semua ini tak pernah terjadi, hanya karena ka?u takut dipermalukan?”
Air mataku mengalir, tapi kali ini bukan karena lemah.
Tapi karena kecewa yang terlalu dalam.
“Kamu pikir aku tidak bisa pergi? Aku bisa. Tapi aku tetap di rumah... hanya karena satu hal: anak kita. Dia belum lulus kuliah. Aku tak mau dia tumbuh melihat ayahnya dipenjara atau dicaci. Itu saja alasan aku bertahan.”