Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. APA INI HUKUMAN?
Setelah pengajian selesai. Ustadzah Dian kemudian mengenalkan Fiona dengan beberapa temannya.
Mulanya Fiona merasa malu. Namun, ustadzah Dian selalu berada di sisinya hingga membuatnya benar-benar merasa nyaman.
Saat ustadzah Dian sedang berbicara dengan beberapa wanita, Fiona memilih beranjak dari sana. Ia pergi ke taman dan duduk di tepi kolam ikan hias, kemudian ia beri makan yang tersedia di tepi kolam.
Fiona tampak termenung. Bayangan Teddy bersanding di pelaminan dengan wanita lain masih melekat jelas dari ingatannya.
"Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini hukuman atas tindakanku? Dulu, dia yang selalu mengejar ku, tapi aku selalu berusaha menjauhinya. Dan di saat aku ingin membalas perasaannya, Engkau malah menjauhkan dia dariku. Jika semua ini sudah menjadi kehendak-Mu, maka aku mohon, hilangkan lah perasaan yang sudah telanjur tumbuh di hatiku," gumamnya dalam hati.
"Assalamualaikum."
Sapaan salam seseorang membuat Fiona terhenyak dari lamunannya. Ia segera menoleh, yang kemudian langsung berdiri begitu melihat ternyata Damar, anak pemilik rumah yang datang menyapanya.
"Waalaikumsalam," balasnya.
"Maaf, kalau boleh tahu, kamu siapanya Ustadzah Dian, ya? Soalnya saya gak pernah lihat kamu," tanya lelaki itu yang penasaran sejak tadi. Ia kenal betul dengan keluarga ustadzah Dian, terutama anak-anaknya.
"Bukan siapa-siapa. Tapi Ustadzah Dian adalah orang yang sangat berjasa bagi saya. Beliau sudah banyak membimbing saya dari apa yang tidak saya ketahui. Dan Alhamdulillah, beliau sangat baik pada saya."
Damar tersenyum. Dari apa yang disampaikan gadis itu, ia menyimpulkan bahwa dia adalah salah satu santri di pondok ustadzah Dian. "Sudah lama kenal Ustadzah Dian?" tanyanya lagi.
"Baru beberapa bulan," jawab Fiona.
Lelaki itu mengangguk paham. "Oh ya, kenapa sendirian di sini, gak ikut gabung sama yang lainnya?" Ia melirik ke arah rombongan para wanita. Dimana terlihat sang mama tampak sedang berbincang-bincang dengan ustadzah Dian dan beberapa wanita seusia lainnya.
Disaat yang bersamaan, wanita paruh baya itu juga menatap ke arah putranya. Terbit senyum tipis di bibirnya melihat putranya sedang bersama gadis yang datang bersama ustadzah Dian.
"Gak apa-apa, pengen di sini aja," kata Fiona.
"Ya sudah, kalau begitu saya tinggal dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ketika Damar beranjak pergi, sang mama segera menyusul. Wanita itu menarik lengan putranya dan membawanya menjauh dari keramaian.
"Ya ampun, Mama. Apa-apaan sih, main tarik-tarik aja!" kesal lelaki itu.
"Kalian tadi lagi ngobrolin apa?" tanya wanita itu tanpa menghiraukan raut kesal putranya.
Damar mengerutkan keningnya. Tidak paham dengan pertanyaan sang mama.
"Ya ampun, Damar. Tadi Mama lihat kamu nyamperin perempuan itu di Taman. Mama lihat kalian ngobrol, ngobrolin apa?" tanya wanita itu lagi dengan nada sedikit geram.
"Oh, santrinya Ustadzah Dian maksud Mama?"
"Iya, kalian lagi ngobrolin apa tadi?" tanya wanita itu tak sabar. Sebab apa yang dilihatnya tadi merupakan suatu momen yang langka. Ia tidak pernah melihat putranya bersama wanita apalagi mengobrol seperti tadi.
"Gak ngobrol apa-apa. Tadi aku cuma tanya dia siapanya Ustadzah Dian," jawab Damar.
"Kalian kenalan?"
"Enggak, tadi aku cuma tanya itu aja."
"Ya ampun, Damar. Gak bisa apa, basa-basi dikit. Nanya dia kerja apa kek, rumah dimana. Masa nyamperin dia cuma nahan siapanya Ustadzah Dian. Gak gentle banget sih kamu jadi laki." Wanita itu mendelik kesal pada putranya.
Damar mengulum senyum. Bisa-bisanya tadi ia lupa menanyakan siapa nama wanita itu. Tidak mungkin ia menghampirinya lagi hanya untuk menanyakan nama. "Mama tahu siapa namanya?" tanyanya kemudian.
"Bahkan namanya, kamu juga tadi gak tanya?" tanya sang mama.
Damar hanya bisa tersenyum sambil mengusap tengkuknya.
Wanita itu geleng-geleng kepala menatap putranya dengan mata yang sedikit melotot. "Namanya Fiona!" ujarnya ketus lalu pergi.
"Gimana mau punya menantu kalau anaknya aja begini," gerutunya.
Damar terkekeh mendengarnya. Setelah sang mama tak terlihat lag, ia bersandar di dinding sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Fiona, nama yang cantik," gumamnya. Tanpa sadar ia tersenyum. Kalau boleh jujur, ia terpanah saat pertama kali bersitatap dengan gadis itu. Mata indahnya seakan memiliki sihir yang membuatnya ingin terus menatapnya. Untuk yang pertama kali, ia memiliki kekaguman terhadap lawan jenis.
*****
"Gak mampir dulu?" tanya ustadzah Dian seraya melepas seat belt.
"Udah sore. Saya langsung pulang ya, Ustadzah. Insya Allah, besok pagi saya kesini bantu-bantu ngajar ngaji santri baru," ujar Fiona.
"Masya Allah, terima kasih, Fio."
"Justru saya yang harusnya berterima kasih. Saya diterima dengan baik di pondok ini, dan ustadzah sudah banyak membimbing saya."
Ustadzah Dian tersenyum. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan, ya."
Fiona mengangguk. Setelah ustadzah Dian turun dari mobilnya, ia pun bergegas pergi. Melajukan mobilnya dan kecepatan sedang sembari sesekali melirik spion di sampingnya. Ia ingat, dulu mobil Teddy sering mengikutinya. Saat ia berhenti, lelaki itu langsung turun menghampirinya. Namun, ia abaikan dan langsung pergi begitu saja.
Andai waktu dapat diulang, ia tidak akan secuek itu pada Teddy. Mungkin lelaki itu telah lelah mengejarnya yang tiada kepastian, hingga menyetujui perjodohan itu dan akhirnya menikahi wanita pilihan orang tuanya.
"Astagfirullah." Ia beristighfar sembari mengusap dada. Tak seharusnya ia memikirkan lelaki itu lagi. Sekarang Teddy telah menjadi milik wanita lain, dan ia tidak pantas untuk memikirkan maupun menyesali yang telah terjadi.
Ia menambahkan kecepatan mobilnya. Sesampainya di rumah, ia langsung menemui kedua orang tuanya yang sedang bersantai di gazebo.
"Assalamualaikum, Pa, Ma," ucapnya lalu mencium punggung tangan mama dan papanya.
"Waalaikumsalam, baru pulang, Nak?" tanya mama Kiara.
"Iya, Ma," jawab Fiona seraya duduk. Ia menatap kedua orang tuanya. "Ada yang mau aku bicarakan."
"Apa?"
"Aku berencana untuk tinggal di pondok. Apa Mama dan Papa tidak keberatan?" tanya Fiona.
Sepasang suami-istri itu saling melempar tatapan.
"Papa gak keberatan. Justru itu adalah sesuatu yang baik. Kamu bisa memperdalam pengetahuan kamu tentang Agama. Tapi, Nak, kamu juga harus memikirkan masa depan kamu. Usia kamu sudah sangat matang untuk menikah. Sampai kapan kamu akan seperti ini terus," ujar papa Denis.
Fiona terdiam sejenak. Apa yang dikatakan papanya benar, sampai kapan ia akan terus seperti ini. Adiknya saja sekarang telah memiliki dua anak.
"Jika suatu hari nanti, datang sebuah niatan baik kepada Papa dan Mama untukku. Jika itu baik menurut Papa, Insya Allah aku akan siap menerima," ucapnya kemudian. Sudah seharusnya ia berpikir dewasa. Ia sudah tidak memiliki harapan pada orang yang telah ia kecewakan. Tak ada salahnya, ia mencoba menjalin hubungan dengan pilihan orang tuanya. Mana tahu itu adalah yang terbaik untuknya.
Sepasang suami-istri itu tersenyum menatap putri sulungnya. Akhirnya, mereka mendengar juga apa yang mereka dambakan sejak lama.
untuk Agnes jgn jadi jahat, kena kamu yg mau fio menikah SM suamimu
tambah lagi up nya thor