Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Darah Di lantai...
"Semua sudut sudah disisir, Jenderal. Gak ada lagi yang bergerak."
Suara berat dan serak itu mengoyak keheningan malam yang basah oleh darah. Di balik tirai sutra merah berbordir naga emas, Swan Xin menahan napasnya. Tangan mungilnya yang baru berumur sepuluh tahun mencengkeram kain tebal itu begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Lantai marmer yang biasanya hangat kini terasa menusuk dingin menembus gaun tidurnya.
"Kau yakin?" Suara kedua terdengar, lebih dingin, lebih tajam, seperti bilah es yang menggores tulang. Suara yang sangat ia kenal. Suara Paman Zen.
"Seratus persen yakin, Jenderal Zen. Jenderal Besar Xin sudah..." prajurit itu tidak melanjutkan kalimatnya.
' Gedebuk' diikuti oleh suara logam yang disarungkan kembali ke tempatnya. "Keluarganya juga."
Swan menggigit bibirnya begitu keras hingga ia bisa merasakan rasa anyir darahnya sendiri. Bau besi dan tembaga dari genangan di luar persembunyiannya begitu pekat, membuat perutnya mual. Ayah. Ayahnya baru saja…
"Bagus," kata Jenderal Zen. Nada suaranya datar, tanpa emosi, seolah baru saja melaporkan panen gandum, bukan pembantaian sebuah keluarga. "Pengkhianat seperti Jenderal Xin pantas mendapatkan ini. Hukuman dari Langit, titah dari Kaisar. Pastikan semua dokumen di ruang kerjanya dibakar. Jangan ada satu pun warisan militernya yang tersisa."
"Siap, Jenderal!"
Derak langkah kaki berlapis baja menggema di aula utama, menjauh dari tempatnya bersembunyi. Swan sedikit mengendurkan cengkeramannya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia ingin menjerit, ingin menangis, ingin berlari ke tubuh Ayahnya. Tapi kakinya seolah terpaku di lantai.
"Tunggu," perintah Jenderal Zen tiba-tiba. Langkah kaki itu berhenti. Hening. Hanya suara tetes-tetes cairan yang jatuh ke lantai yang terdengar. *Cletak… cletak…* "Aku dengar dia punya seorang putri."
Jantung Swan serasa berhenti berdetak.
"Benar, Jenderal," sahut prajurit lain. "Swan Xin. Umurnya sekitar sepuluh, mungkin sebelas. Kami sudah periksa kamarnya. Kosong. Mungkin dia sedang tidak ada di kediaman."
"Mungkin?" Jenderal Zen mendengus. "Di dunia ini, kata 'mungkin' bisa membunuhmu. Cari anak itu. Setiap lemari, setiap kolong, setiap sudut. Gak boleh ada satu pun keturunan pengkhianat yang dibiarkan hidup untuk menuntut balas. Kalian ngerti?"
"Mengerti, Jenderal!"
Kepala Swan berputar. Balas dendam. Ya, ia akan balas dendam. Tapi bagaimana? Ia hanya anak kecil. Matanya panas, tapi tak ada air mata yang keluar. Hanya ada kebencian membara yang anehnya terasa dingin. Ia memberanikan diri mengintip sedikit dari celah tirai.
Di tengah aula yang diterangi cahaya bulan pucat, ayahnya terbaring telungkup di atas lambang naga kediaman mereka. Darah mengalir dari punggungnya, membasahi jubah jenderalnya, membentuk danau kecil yang berkilauan mengerikan. Dan di sana, berdiri Jenderal Zen. Wajahnya yang biasa tersenyum hangat saat mengunjunginya kini terlihat seperti topeng batu. Pedangnya masih meneteskan darah segar. Darah ayahnya.
"Aaaaaaaa…!"
Jeritan melengking merobek udara. Bukan dari Swan. Itu suara Ibunya. Dari arah sayap timur.
Jenderal Zen menoleh tajam. "Bodoh! Kenapa wanita itu masih bisa bersuara? Urus dia!"
"Tapi, Jenderal, dia sudah kami..."
"Urus!" bentak Zen, suaranya kini penuh amarah. "Dan cari anak perempuannya! Cepat! Sebelum fajar menyingsing!"
Pintu-pintu mulai didobrak. Suara perabotan yang dibanting, guci keramik yang pecah, dan kain sutra yang dirobek-robek memenuhi kediaman yang tadinya damai. Swan kembali menyusut di balik tirai, menarik lututnya ke dada, berusaha membuat dirinya sekecil mungkin.
"Di mana anak sialan itu?" geram seorang prajurit di dekatnya.
"Gak tau. Mungkin udah kabur lewat jalur belakang."
"Jenderal Zen bakal marah besar kalo kita gagal nemuin dia." Pria itu mendesah. "Cek lagi semua tirai. Kadang tikus suka bersembunyi di tempat kayak gitu."
Kaki berlapis besi itu mendekat. Semakin dekat. Swan bisa melihat bayangannya yang panjang dan bengkok di lantai marmer. Ia menahan napas, memejamkan mata, berdoa kepada dewa-dewa yang sepertinya sudah meninggalkannya malam ini. Ia bisa mencium bau keringat dan darah dari prajurit itu.
"Ini cuma tirai biasa," gumam prajurit itu setelah berhenti sejenak. Bayangannya menjauh. "Gak ada apa-apa di sini."
Swan merasakan sedikit kelegaan yang langsung lenyap saat suara Jenderal Zen kembali terdengar, kali ini tepat di depan tirai persembunyiannya.
"Aku sendiri yang akan periksa aula ini lagi." Jenderal Zen berkata pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Jenderal Xin orang yang cerdik. Dia pasti punya tempat persembunyian rahasia."
Mata Swan melebar ketakutan. Ia bisa merasakan kehadiran Jenderal Zen yang begitu dekat. Sangat dekat. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, lebih berat. Dari celah di bawah tirai, ia bisa melihat ujung sepatu bot kulit Zen yang berlumuran darah. Sepatu itu berhenti. Tepat di hadapannya.
"Semua sudah diperiksa, Jenderal," lapor seorang perwira. "Nihil. Anaknya benar-benar gak ada."
"Mustahil," desis Zen. Suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. "Dia ada di sini. Aku bisa merasakannya."
Tangan berjubah kulit perlahan terangkat, bergerak menuju tirai tempat Swan bersembunyi. Dunia Swan menyempit, hanya fokus pada tangan itu. Inilah akhirnya. Ia akan menyusul Ayah dan Ibunya. Kemarahan dingin yang tadi berkobar kini padam, digantikan oleh keputusasaan total. Tangan itu hampir menyentuh kain merah.
Tiba-tiba, sebuah tangan lain muncul dari kegelapan di belakangnya, membekap mulutnya dengan cekatan. Tangan itu dingin, kuat, dan berbau darah yang bukan miliknya. Swan tersentak, mencoba berteriak, namun bekapan itu terlalu kuat. Kepanikan yang luar biasa menjalari seluruh tubuhnya.
Ia mendongak, matanya bertemu dengan sepasang mata lain dalam bayang-bayang pekat di belakang tirai. Mata itu tajam, tenang di tengah kekacauan, dan memandangnya dengan intensitas yang aneh. Itu mata seorang Prajurit Bayangan. Tangan berdarah itu sedikit mengendur, lalu jari telunjuknya terangkat pelan ke bibir prajurit itu, sebuah isyarat yang jelas dan mutlak: jangan bersuara.
trmkash thor good job👍❤