NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Prelude - Remuk

Suara hujan di luar jendela hanya terdengar samar, tapi cukup untuk menutupi suara detak jantung Livia yang berlari cepat.

Sebuah ponsel masih terbuka di meja, layarnya menampilkan pesan-pesan yang baru saja ia temukan.

Nama perempuan lain di sana, lengkap dengan kata-kata yang dulu juga pernah ia dengar dari bibir pria itu.

Pintu terbuka keras. Lelaki itu masuk, menatapnya dengan ekspresi jengah.

“Apa lagi sekarang?” suaranya datar, nyaris sinis.

Livia menggenggam ponsel itu erat, mencoba menahan suaranya agar tidak bergetar.

“Seharusnya aku tanya itu padamu,” katanya pelan. “Siapa dia?”

Ia mendengus, melempar pandang seolah bosan. “Kamu mulai lagi. Setiap kali kamu tak punya hal lain untuk diperkarakan, kamu selalu cari alasan untuk curiga.”

Livia menatapnya lama. “Aku tidak curiga. Aku lihat fakta dan bukti jelas.”

Nadanya dingin, tapi matanya bergetar.

Dimas tertawa pendek. “Kamu pikir hidupku cuma berputar di sekitarmu? Kamu pikir aku harus jelaskan setiap nama yang muncul di ponselku?”

Kata-katanya tajam, seperti serpihan kaca.

Livia terdiam, menatap lantai. “Aku hanya ingin kamu jujur, sekali saja. Karena kalau kamu mencintai aku… kamu tidak akan membuatku merasa begini.”

Ia melangkah mendekat, tapi bukan untuk memeluk. Aura dingin di antara mereka berubah jadi jurang. Dimas mencengkeram dagu Livia kencang, hingga membuat wajah Livia memerah.

“Cinta?” suaranya meninggi. “Kamu terlalu banyak menuntut atas sesuatu yang bahkan tidak kamu pahami.”

Dimas menghempaskan Livia, hingga tubuh gadis itu tersungkur di lantai yang dingin.

Hujan di luar jendela menetes pelan, seperti ikut menyaksikan dua orang yang kehabisan cara untuk saling mencintai.

“Jadi kamu pikir aku laki-laki brengsek? coba lihat dirimu sendiri, selama ini kamu selalu menolak untuk aku sentuh, padahal kita sepasang kekasih. Kamu berlagak sok suci!!”

Suara laki-laki itu menggema, tajam dan penuh amarah.

Livia mencoba bangkit, wajahnya pucat, matanya basah, ia meneteskan air mata.

“Aku cuma minta kamu berhenti berteriak, jika kamu memang tak salah.” katanya pelan. “Kita bisa bicara tanpa saling melukai.”

“Melukai?” Ia tertawa sinis. “Kamu yang membuatku begini, Liv. Kamu yang selalu menuduh, kamu yang tak pernah percaya.”

Livia menarik napas panjang. “Aku percaya… Tapi itu dulu, dan sekarang kamu yang mengajari aku untuk berhenti percaya.”

PLAK !!!

Suara tamparan itu begitu nyaring terdengar. Membuat Livia jatuh kembali, pipinya memanas perih.

"Sekarang kamu udah pintar bicara ya ? Udah merasa hebat ?" Dimas terus berteriak.

"Tolong, tinggalkan aku Dimas...sudah cukup." kata Livia lirih.

Dimas tersenyum miring, lalu mendekat dan berjongkok di depan Livia, dengan gerakan kasar ia menjambak rambut panjangnya, menatap wajah Livia yang lebam dengan ekspresi tak puas. "Kamu selalu membuatku lepas kendali Livia, tak bisakah kamu menjadi gadis manis untukku, hah ?"

Livia menggelengkan kepalanya, ia menangis tanpa bersuara, tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Tapi di dalam hatinya ada ketakutan, meskipun bukan pertama kalinya Dimas selalu bersikap kasar, namun kali ini Livia benar-benar ingin menyerah.

"JAWAB !!!" Teriak Dimas seraya menambah kekuatannya untuk menarik rambut Livia.

"Bunuh aku aja Dim....kalau itu membuat kamu puas, aku sudah lelah.." kata Livia terbata-bata.

Dimas tertawa keras, lalu kembali menghempaskan cengkeraman tangannya di rambut Livia.

"Bunuh saja dirimu sendiri dengan kedua tanganmu itu, Liv. Aku tak sudi mengotori tanganku untuk membunuhmu, aku benar-benar muak sama kamu. Mulai sekarang jangan cari aku lagi.!!!" kata Dimas sambil berdiri. Ia menghentakan kemejanya, merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan.

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada seribu kalimat perpisahan.

Livia ingin bicara, tapi suaranya tertelan keheningan. Ia hanya tersungkur, memeluk dirinya sendiri, menahan dingin yang menjalar sampai ke tulang.

Dimas menunduk sebentar, lalu mengambil ponsel dan kunci mobilnya di meja. Sebelum pergi ia menatap sekali lagi ke arah Livia, gadis yang dulu ia pilih menjadi kekasihnya, namun kini seolah Dimas tak lagi mendamba, yang ada hanya rasa hambar, karena Livia tak pernah bisa menuruti apa yang dia inginkan, dan itu membuat Dimas merasa muak, hingga ia memilih mencari pelampiasan di luar sana.

Suara logam beradu terdengar nyaring, lalu langkahnya menjauh.

Pintu tertutup keras, meninggalkan keheningan yang bahkan tidak punya gema.

Untuk beberapa detik, Livia masih menatap ke arah pintu.

Menunggu sesuatu, mungkin sebuah permintaan maaf, panggilan, atau apa pun. Tapi yang datang hanya suara hujan.

Ia masih tersungkur di lantai, duduk diam di tengah ruangan yang berantakan.

Semua terasa kabur: lampu, udara, bahkan pikirannya sendiri.

Yang tersisa hanya rasa perih yang menekan dada, dan bisikan kecil di kepalanya yang berkata, “Sudah cukup, Liv. Tak perlu lagi berharap.”

Malam itu Dimas pergi, dan bersama langkahnya yang menjauh, sesuatu dalam diri Livia ikut mati.

Bagian yang dulu percaya pada cinta.

Bagian yang masih ingin diperjuangkan.

Yang tersisa hanyalah dirinya yang patah dan berantakan.

Udara malam terasa berat, seolah setiap molekulnya menolak bergerak.

Livia mencoba bangkit dengan sisa tenaga, ia memandangi pintu yang tertutup rapat.

“Jadi ini akhirnya?” suara Livia serak, nyaris berbisik.

Matanya buram, karena air mata. Ia sudah terlalu sering menangis, airmatanya pun seolah tak pernah habis mengalir.

Setelah beberapa saat berdiam diri, mencerna apa yang baru saja terjadi, Livia mencoba berdiri. Lututnya terasa goyah, tapi ia menahan agar tak terjatuh lagi.

Setiap gerakan terasa berat, seperti sedang membawa seluruh luka yang pernah ia abaikan.

Napasnya terasa tersenggal, dengan gerakan hati-hati, Livia mencari ponselnya di meja.

Layar ponsel itu buram oleh air mata yang tak terus menetes, tapi kontak bernama Reno, sahabatnya mudah untuk ia temukan.

Sahabat yang selalu datang tanpa banyak tanya.

Satu-satunya orang yang masih tersisa ketika semuanya pergi.

Jemarinya gemetar saat menekan nama itu.

Nada sambung terdengar. Lama.

Lalu suara di seberang menjawab, lembut, khawatir, dan familiar.

“Liv? Lo di mana ?”

Livia terdiam beberapa detik, suaranya nyaris tak keluar.

“Reno…” ia berbisik pelan, “tolong… jemput gue.”

Keheningan di seberang berubah jadi hiruk pikuk langkah tergesa.

“Jangan kemana-mana, gue ke sana sekarang.”

Telepon terputus.

Livia menatap layar yang kini mati, lalu menarik napas panjang. Di lantai yang dingin, ia membiarkan dirinya duduk tenang, meski tubuhnya masih bergetar.

Ia memejamkan mata, membiarkan suara hujan menenggelamkan semuanya.

Dalam kesunyian itu, ia sadar, ia sudah kehilangan banyak hal malam ini. Tapi satu hal yang belum: keinginan untuk bertahan.

Dan itu… cukup untuk memulai kembali.

 

Suara langkah tergesa di koridor terdengar sebelum pintu apartemen terbuka.

Reno muncul lebih dulu, wajahnya pucat dan napasnya berat, diikuti oleh Dafi yang langsung menyalakan lampu ruang tamu.

“Livia?” suara Reno tercekat begitu matanya menemukan sosok itu.

Livia duduk di lantai, bersandar di dinding, pandangannya kosong seperti menatap sesuatu yang jauh di balik ruang ini.

Dafi menatap Reno, lalu keduanya sama-sama terpaku — tak tahu harus mulai dari mana.

Yang mereka lihat sudah cukup membuat dada mereka sesak.

Reno segera berlutut di hadapan Livia. “Hei, lihat gue Liv. gue di sini,” katanya lembut, hampir seperti bisikan.

Livia menoleh perlahan. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, lebih mirip refleks daripada kebahagiaan.

“Gue nggak pa-pa... Gue cuma capek,” ujarnya lirih.

Reno menelan ludah. “Lo nggak harus jelasin apa pun sekarang.”

Dafi yang sedari tadi berdiri di belakang menatap ke arah pintu, rahangnya menegang. “Kalau Gue ketemu dia—”

“Daf.” Reno memotong cepat, nadanya tegas tapi penuh amarah yang ditahan. “Nggak sekarang.”

Dafi mengepalkan tangan, menunduk, lalu mengangguk pelan. Ia menatap Livia dengan mata yang lembut. “Ayo, Liv. Kita bawa Lo pergi dari sini.”

...🥀...

Bersambung...

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!