Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Pacar Motamdo
Bab 1. Pacar Motamdo (Modal Tampang Doang)
POV Airin
# Semua nama tokoh yang ada di dalam novel ini hanya nama samaran dan bukan sebenarnya. Alamat dan segala tempat kejadian juga bukan sebenarnya. Bila terdapat kesamaan tempat dan nama seseorang maupun ras, itu bukanlah unsur kesengajaan. Karena kisah ini berdasarkan kisah nyata dari nara sumber terpercaya, jadi semua hanya samaran saja. Harap bijak untuk menyikapi dalam berkomentar. Terima kasih 🙏😊
***
"Kamu jadi Rin, pergi sama Lola?"
"Jadi Umi."
"Jangan malam-malam pulangnya ya Rin."
"Ya Umi. Abang pun pesan jangan pulang malam-malam. Lagi pun, Airin hanya pergi makan dekat sini aja kok."
"Ya sudah."
"Titip Ragil dan Selvia ya Umi."
"Iya. Itu di depan ada suara motor Rin. Mungkin Lola yang datang."
"Coba Airin lihat dulu ya, Umi."
Aku pun menuju pintu utama rumah untuk melihat siapa yang datang. Dan benar saja, Lola datang, tetapi dengan pacarnya.
Entah kenapa setiap melihat pacarnya itu hati ku dongkol rasanya. Apalagi sikap tidak peka dan tidak tahu malunya itu membuat aku gregetan karenanya.
"Rin, langsung aja yuk?! Jemin mau cepet. Katanya habis ini dia mau ketemuan sama teman-temannya."
Kata Lola yang terlihat santai dan senang tanpa beban. Terus kenapa dia ikut?!
"Iya, bentar. Aku ambil tas dulu."
Ugh, sebel banget! Siapa juga yang ngajakin dia! Awalnya kan hanya aku dan Lola saja yang pengen makan berdua. Kok dia ikut sih?! Mana tidak ada basa basinya buat nyapa.
Kalau nggak mikirin Lola, ingin ku batalkan saja acara malam ini. Padahal sudah lama aku nggak hang out bareng Lola semenjak aku melahirkan anak ke dua ku dan sibuk mengurusi ke dua buah hatiku itu, Selvia dan Ragil.
Lola adalah sepupu ku satu-satunya di kota ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal, dan dia hidup seorang diri di rumah peninggalan orang tuanya. Dan Lola adalah anak tunggal, sama seperti ku. Bedanya aku masih punya Umi walau Ayah sudah lebih dulu menghadap Ilahi.
Lola hanya tamatan SMA dan sudah bekerja di sebuah kafe sebagai pengantar makanan disana. Walau hanya untuk membiayai diri sendiri, dengan gaji yang dia terima itu, masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Dia terkadang masih meminjam uang padaku atau Umi.
Lanjut pada rencana kami. Kami pun pergi ke tempat jualan bakso langganan kami. Suasana nggak ramai. Jadi kami bebas memilih tempat setelah memesan. Lola duduk di samping pacarnya dan aku duduk di depan mereka.
Sebel banget, harus makan lihat muka si sipit itu! Dan lihat aja, malah ngeluarin hapenya tanpa mau menyapa ku.
" Besok kamu buat kue Rin?" Tanya Lola.
Terkadang aku memang menerima pesanan kue, hanya bikin donat rumahan, lepas lah untuk jajan anak-anak.
"Nggak ada pesanan. Kamu besok masuk apa?"
"Aku sore. Yang, besok jadi mau pakai motornya?" Tanya Lola pada Jemin, pacarnya itu.
Jemin mengangguk.
"Motor mu kenapa?" Tanya ku.
"Jemin mau pinjam. Motornya lagi di bengkel." Jawab Lola dengan santainya.
Pantas saja mereka datang dengan motor Lola.
Ku lirik sekilas si Jemin itu. Dia menunduk, mungkin merasa aku melayangkan tatapan maut padanya.
Pesanan kami kemudian datang. Ku lihat Lola sibuk melayani Jemin mengambilkan, jeruk, cabe, kesap, saos dan sendok untuk Jemin. Sedangkan makanannya sendiri di anggurkan.
Enak sekali Jemin! Tanpa rasa bersalah malah menikmati pelayanan yang di berikan Lola. Tapi sudahlah, ku lihat Lola pun terlihat senang. Kami pun makan sambil bercerita.
"Jemin besok mau interview, Rin."
"Oh, kok interview? Emang nggak kerja lagi di tempat kemarin? Kerja apa itu kemarin?"
"Sales motor." Jawab Lola.
"Nah iya."
"Susah disana, harus ada target penjualan baru gajian. Iya kan Yang?"
Orang yang ditanya diam saja, seakan kami ini bukan membicarakan dia. Justru dia malah santai melahap makanan. Benar-benar, huh....!
"Besok Jemin mau interview di Hotel, katanya ada penerimaan karyawan baru disana. Bantu doa biar dia diterima ya Rin."
"Aamiin..."
Ku Amin kan saja permintaan Lola karena kasihan melihatnya yang begitu berharap pacarnya itu mendapatkan pekerjaan yang baru. Tapi jika melihat si Jemin yang tetap santai makan tanpa beban, bahkan sedikit menoleh padaku yang sepupu Lola ini pun tidak, rasanya aku nggak ingin dia di terima kerja seperti yang dia harapankan.
Entah apa yang di lihat Lola dari laki-laki ini. Kalau boleh jujur, hanya kulit putih bersih saja yang dia punya karena dia keturunan Tionghoa. Kalau dia hitam, ku yakin wajahnya itu nggak akan membuat sepupu ku ini sampai sebegitunya menyukai dia.
Makanan dan minuman kami pun habis. Sudah waktunya kami pulang. Karena aku tahu Lola begitu berat menjalani hidup seorang diri, aku pun membayar makananku sendiri. Akan malu lagi kalau aku di bayarkan oleh laki-laki yang sejak tadi ku jelek-jelekkan dalam hatiku.
"Kok kamu bayar sendiri Rin? Biar sekalian aja harusnya." Kata Lola sambil memegang dompetnya.
Kening ku berkerut melihat sepupuku itu memegang dompetnya.
"Dua bakso sama dua es teh manis berapa Pak?"
"Empat puluh ribu, Neng."
"Ini Pak."
Lola memberikan uang yang telah dia ambil dari dalam dompetnya. Loh, kok Lola yang bayar bukan pacarnya?!
Wah, benar-benar...!
Sudah yang keberapa kali ku lihat Lola membayarkan makanan dan minuman dia dan pacarnya saat aku pergi bersama mereka. Atau jangan-jangan, setiap makan dan minum di luar selalu Lola yang bayar kalau mereka hanya berdua saja tanpa aku?
Huh! Pengen ku jambak ususnya!
Aku menatap nggak suka pada si Jemin yang sempat-sempatnya memainkan handphonenya di saat sepupuku Lola yang merupakan pacarnya itu membayarkan makanan mereka. Benar-benar nggak peka dan nggak tahu malu! Dan anehnya, sepupuku begitu tergila-gila padanya. Dasar bucin!
"Rin, bisa pulang sendiri kan? Aku mau antar Jemin dulu ke tempat teman-temannya nongkrong."
Hah? Apa lagi ini?! Lola yang nganterin dia?! Terus Lola di biarkan pulang sendiri?
"Kenapa Jemin nggak naik ojol aja. Apa kamu nggak capek?"
Lihat dia. Pasti dia nggak suka aku ngomong gini sampai-sampai ia menengadahkan mukanya yang nyebelin itu melihat ke arahku.
Ngapain lihat-lihat?! Nggak suka?! Nyadar diri harusnya!
Hanya bisa ngedumel dalam hati. Ugh! Pengen ku bejek-bejek mukanya yang sok ke cakepan padahal mata nggak bisa di buka lebar itu!
"Nggak apa-apa Rin. Deket kok, nggak jauh. Lagian kalau aku yang anterin bisa hemat uang buat bayar ojol kan?" Jawab Lola sembari tersenyum.
Duh, Lola... Kenapa kamu harus punya pacar modelan kayak Jemin sih?! Nggak keluar duit buat bayar makan, bayar ojol pun nggak mau. Terus dia bisanya apa?!
Makin kesini makin dongkol. Sudah lah, mending aku pulang saja.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati ya pulangnya La."
"Iya. Salam buat Umi ya. Tadi nggak sempet nyapa."
"Iya nanti aku sampaikan. Aku jalan dulu ya La."
"Bye Rin."
Aku pun mengendarai motorku dan berlalu dari hadapan mereka. Pasti kelihatan aku nggak suka sama si Jemin itu. Biarlah, biar dia sadar diri. Jadi laki-laki harus punya tanggung jawab seharusnya. Bukan malah berlindung di balik punggung wanita.
Untung saja Abang bukan modelan kayak si Jemin ini. Kalau iya, akan ku tinggalkan dia.
Sampai di rumah handphone ku berdering. Pas sekali Abang nelpon ketika aku sudah meletakkan tas ku.
"Halo, Assalamualaikum Bang..."
"Waalaikumsalam, Rin. Sudah selesai?"
"Sudah Bang, baru saja."
"Ya sudah. Ragil nangis, sepertinya mau nyusu."
"Iya Bang. Ini dah dekat kok."
"Abang tutup teleponnya ya. Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
Yang menelpon barusan suamiku, namanya Herlan. Meski kadang sedikit protektif, tapi dia bertanggung jawab. Bagiku, rasa protektifnya masih wajar karena, aku tahu itu demi kebaikan diriku sendiri.
Aku lalu mencari Ragil begitu sampai di rumah. Ku susukan dia karena Ragil baru berusia 6 bulan, masih menerima ASI eksklusif dari ku. Sembari membawa Ragil, aku menemui ibuku di kamarnya yang tinggal bareng keluarga kecilku.
"Mi?" Panggilku di depan pintu kamar Umi.
"Ada apa Rin?"
Umi bertanya. Belum menjawab, aku masuk ke kamar Umi, duduk di lantai sembari menyusukan Ragil.
"Mi, tahu nggak? Si Lola bayarin lagi makan pacarnya, Mi." Sadu ku begitu melihat Umi yang sedang merapikan pakaian di lemarinya.
"Ck, si Lola itu! Kok mau-maunya sih di manfaatkan terus?! Cari cowok itu harusnya bisa di andalkan, bukan sebaliknya, kita yang di andalkan dia."
"Itu lah si Lola Mi. Jadi kebiasaan cowoknya, dikit-dikit dibantu, jadi manja. Tadi aja ya, udah makan di bayarin, eh malah nganterin si Jemin itu lagi ngumpul ke tempat teman-temannya."
Jujur saja, kalau sudah bahas Lola dan pacarnya itu, emosi ku pasti meledak-ledak karenanya. Umi ku pun sama, nggak sukanya dengan si Jemin itu. Bagi Umi, Lola sudah di anggap anak sendiri. Jadi perihal yang menyangkut Lola, sedikit banyak Umi pasti ikut campur dalam menasehati.
"Nanti kalau Lola datang lagi, biar Umi nasehati dia."
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣