NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:428
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Bayangan Terindah

“Bentar lagi kita udah nikah aja, ya. Nggak kerasa,” ucap Tiny sambil menatap langit sore yang mulai memerah.

Andika tersenyum. Tatapan matanya teduh, menenangkan, seperti punya cara sendiri untuk meredakan dunia yang gaduh.

“Cepat banget ya waktunya,” jawabnya singkat, tapi hangat.

Fitur wajah Andika memang menenangkan. Ada sesuatu di sana yang membuat Tiny betah berlama-lama menatap.

Tiny bersandar pelan di bahu Andika. “Nanti kalau udah nikah, kamu nggak akan sendirian lagi, lho,” katanya lirih.

“Udah ada aku. Mungkin... nanti juga ada anak kita. Bayangin deh, kamu bangun pagi, terus ada suara kecil manggil ‘Papa...’ Gimana?”

Andika tertawa kecil. Tangannya naik, mengacak lembut rambut Tiny seperti biasa. “Iya. Nanti bakal ada versi mini kita. Yang suka ngomel kayak kamu, atau kalem kayak aku.”

Tiny tertawa pelan, lalu mendongak. “Kamu pede banget anak kita mirip kamu.”

“Emang kenapa?” Andika menoleh, pura-pura serius. “Aku kan paket lengkap. Ganteng, sabar, dan... tahan godaan.”

Tiny mencubit pelan lengan Andika. “Awas ya. Godaan apaan tuh maksudnya?”

Andika Cuma tertawa. Tapi Tiny masih menatap serius, sebelum tiba-tiba berucap, “Aku senang sih. Kamu... anak baik. Sendirian dari kecil tapi hatimu hangat.”

Andika diam. Tatapannya lurus ke depan.

Tiny melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Nanti aku bakal nemenin kamu terus. Nggak akan kamu sendirian lagi,Ndi.”

Andika tersenyum pelan, tapi dalam. “Janji?”

Tiny mengangguk, sambil mengangkat kelingking. “Janji. Kita bakal bareng, sampai rambut kamu putih semua.”

Andika terkekeh pelan. Ada-ada saja yang diucapkan calon istrinya ini—selalu saja bisa membuat suasana jadi ringan dan hangat.

Tiny bangkit dari bangku taman, lalu menarik tangan Andika pelan.

“Jalan yuk?” ajaknya sambil menengadah, matanya berbinar.

Andika hanya tertawa kecil. Tangannya kembali terulur, mengacak rambut Tiny seperti refleks alami yang sudah sering ia lakukan. Rambut Tiny jadi agak berantakan, tapi tetap saja manis dan imut tentunya.

Tiny pura-pura manyun. “Ih... rambutku...”

Padahal dalam hati? Sudahlah. Kalau yang membuat berantakan itu Andika, Tiny pasti selalu memaafkan.

Tanpa banyak kata, Tiny langsung menggamit lengan Andika.

Langkah mereka seirama menyusuri jalan taman yang dipenuhi cahaya jingga sore hari.

Andika, yang biasanya tak terlalu nyaman disentuh orang lain, tak berkata apa-apa. Justru sebaliknya—ia menikmati gesture manis dari Tiny.

Baginya, itu bukan hal sepele. Ia tumbuh sebagai anak tunggal yang sepi sejak remaja. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan saat ia masih duduk di bangku SMP. Dan sejak saat itu, hidupnya berubah.

Andika tak sempat merasakan remaja yang riang atau masa muda yang santai. Ia mewarisi perusahaan milik orang tuanya.

Menjadi CEO sejak usia yang belum genap 20 tahun. Berdiri di atas tanggung jawab, bukan kebebasan.

Dan kini, ketika ada perempuan seperti Tiny yang hadir dengan tawa, gombalan receh, dan perhatian tulus...

Ia tahu, hatinya sudah terlalu dalam untuk mundur.

“Eh, kamu nyadar nggak sih?” Tiny bersuara lagi, masih menggandeng erat lengan Andika. “Sebulan lagi kita akad, loh.”

Andika melirik sebentar. “Nyadar kok.”

Tiny menyipitkan mata, pura-pura curiga. “Tapi kayaknya kamu nggak heboh-heboh amat, ya? Mana antusiasmu, Pak CEO?”

Andika terkekeh pelan. “Kalau aku heboh, yang rem siapa?”

Tiny menjulurkan lidah, gemas sendiri. “Ya udah, kamu diem aja deh. Nanti biar aku yang heboh. Soalnya... ini kan nikah pertama dan terakhirku.”

Langkah Andika sempat melambat. Kata-kata Tiny tadi terasa sederhana, tapi ada sesuatu yang mengguncang halus di dalam dadanya.

“Nikah pertama dan terakhir?” ulang Andika pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara dedaunan tertiup angin.

Tiny menoleh, menyeringai. “Lah iya, masa nikah berkali-kali? Gila aja.”

Andika tertawa juga, meski matanya diam-diam menatap wajah gadis di sampingnya itu lebih lama dari biasanya.

Tiny lalu berseru pelan, “Eh, nanti waktu akad, kamu jangan tegang ya. Senyum tuh. Masa cowok ganteng mukanya kayak dosen killer.”

Andika menoleh cepat. “Dosen killer?”

“Banget,” jawab Tiny yakin. “Kamu tuh kalau diem dan nunduk, auranya kayak mau marah padahal aslinya enggak. Makanya nanti aku yang handle salam-salaman sama tamu ya, kamu cukup senyum. Udah cukup modal sih muka kamu.”

“Terima kasih...?” balas Andika bingung, tidak yakin itu pujian atau sindiran.

Tiny tertawa lepas. Suaranya cempreng, memantul di antara pohon-pohon taman yang mulai redup ditelan senja. Tapi buat Andika, suara itu... justru terasa menyenangkan.

“Eh, makan dulu yuk. Lapar nih,” ujar Tiny sambil mengelus perutnya pelan. Suara cemprengnya terdengar renyah di tengah suasana taman yang mulai temaram.

Andika kembali terkekeh. Memang sudah jadi kebiasaan—setiap jalan berdua, ujung-ujungnya pasti mampir makan. Bukan karena makanannya istimewa, tapi karena Tiny memang punya jiwa ngemil yang luar biasa.

Andika memandangi wajah di sampingnya.

Wajah bulat itu, dengan pipi tembam yang selalu mengundang gemas. Kalau bisa dicubit, pasti empuk. Kalau bisa dimiliki selamanya, tentu tak akan dilepas.

Nama panggilannya saja Tiny, artinya kecil.

Sesuai. Tingginya tidak lebih dari 155 sentimeter. Tapi entah mengapa, segala yang kecil darinya justru membuat Andika merasa besar—besar untuk melindungi, besar untuk menyayangi, besar untuk menjaga.

Kalau harus memilih, Andika lebih ingin punya anak perempuan dulu.

Bukan tanpa alasan. Ia ingin ada satu versi kecil dari Tiny di rumahnya nanti. Seseorang dengan suara cempreng yang manja, pipi bulat yang gampang merah kalau marah, dan tawa nyaring yang bisa memecah sunyi.

Versi mini dari sosok yang kini sedang menarik-narik tangannya sambil berkata, “Yuk ah, makan cepetan. Aku udah lapar dari tadi. Kamu sih bengong mulu.”

Andika tertawa pelan, membiarkan dirinya ditarik pelan seperti biasa. Dan di balik tawanya, terselip doa dalam hati—

Semoga besok, bulan depan, tahun-tahun setelah ini… Gadis ini masih tetap ada di sampingnya.

“Kenapa ngelamun?” tanya Tiny sambil memiringkan kepala, menatap Andika dengan ekspresi penasaran.

Andika tersadar dari pikirannya. Ia hanya menggeleng pelan, tersenyum. “Enggak apa-apa. Yuk makan, udah lapar kan?”

Tiny mengangguk cepat, penuh semangat. “Iya! Buruan deh. Nanti keburu menguap-ngantuk perut aku.”

Andika tertawa kecil. Respons gadis itu selalu spontan dan penuh warna. Mereka pun mulai melangkah menuju tempat makan yang biasa mereka datangi.

Dalam perjalanan, Tiny mulai bersenandung kecil. Nadanya ringan, ceria, khas dirinya—tapi tak asal. Meskipun suara bicaranya cempreng, saat bernyanyi, suaranya berubah... jadi jernih dan enak didengar. Andika sempat menoleh, memperhatikan gadis di sampingnya yang masih saja menyanyi sembari berjalan pelan.

Memang begitu adanya Tiny—tak bisa diam, penuh ide, dan selalu membawa hal-hal kecil menjadi hidup.

“Aku udah pernah bilang belum?” tanya Andika tiba-tiba.

Tiny menghentikan nyanyiannya sejenak, melirik. “Apaan?”

“Kalau kamu bikin lagu sendiri, pasti bisa bagus. Suara kamu tuh... beda kalau nyanyi. Serius.”

Tiny cengar-cengir, lalu menyikut pelan lengan Andika. “Ih, pujian nih ceritanya? Kamu mau minta traktir ya?”

Andika mengangkat alis, berpura-pura tak paham. “Enggak juga. Aku serius ngomongnya.”

Tiny menggembungkan pipi sebentar, lalu nyengir. “Ya udah, doain aja aku bisa bikin lagu beneran. Masih coba-coba bikin lirik nih.”

Andika tersenyum. Dalam diam, ia bangga. Di balik sikap supel dan candanya, Tiny punya sisi yang dalam—yang tak banyak orang tahu. Dan itu, bagi Andika, adalah bagian dari keindahan gadis itu.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!