Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Yang Bocor - ATM BERJALAN
...Chapter 1...
..."Awal Pelarian"...
Udara Jakarta malam hari panas dan lembap. Sebuah mobil sport hitam terparkir di depan restoran Prancis mewah di bilangan Sudirman. Di dalamnya, seorang pria duduk di kursi belakang, menatap layar ponselnya tanpa ekspresi.
Namanya Raka Dirgantara.
28 tahun. Tinggi 180cm, bahu tegap, rahang kokoh. Lengkap dengan jas hitam buatan tangan profesional seharga mobil avanza tiga biji. Tangannya memainkan cincin mahal di jari manis. Di sampingnya, seorang wanita cantik, Namanya Celine. Gaun hitam mahal, wangi parfumnya mahal, dengan senyuman yang penuh dengan kepalsuan.
“Sayang, lihat ini?” Celine menunjuk ponselnya Iphone 18 pro magnya, dengan suara manja cewek-cewek jepang.
"Tas yang aku mau kemarin, diskon di Paris. Mumpung lagi promo, kamu beliin ya...ya...sayang....ya?”
Raka tidak langsung menjawab. Matanya menatap harga di layar. Rp.488.789.000. Harga satu tas.
Kepalanya mendadak berat.
“Kalau kamu sayang aku, kamu beliin dong, nanti aku makin sayang sama kamu.” bisik Celine dengan suara manja di telinga Raka, tangannya meremas jemari Raka.
Raka menoleh pelan. Senyum di wajahnya tipis dan dingin, sedingin AC mobil.
“Celine…” Raka menarik napas.
“Bulan lalu kamu juga minta kalung. Minggu lalu jam tangan. Kemarin minta ganti mobil. Sekarang tas lagi. Kamu tau nggak.? Bulan ini aja udah hampir 3M habis buat kamu belanja"
Celine tertawa pelan. “Ya ampun, masa kamu itung-itungan sama aku? Emang cinta bisa dihitung, Ka? Beliin yah sayang."
Raka terdiam. Matanya jatuh ke gelas wine di tangannya. Buih merah berputar pelan. Seperti pikirannya yang makin kacau.
Jam sepuluh malam.
Mereka berdua keluar restoran. Raka membukakan pintu mobil, menahan pintu mobil, lalu membiarkan Celine masuk dan duduk manja. Supir mereka menyalakan mesin. Jalanan basah, lampu-lampu kota jakarta membias di jendela.
“Sayang, minggu depan aku mau liburan ke Bali ya. Sama temen-temenku. Biar refreshing,” kata Celine, sambil mengoles lipstik lagi.
Raka memejamkan mata sebentar. “Aku ikut.”
Celine mendelik manja. “Lho? Ngapain ikut? Kan ini liburan cewek-cewek. Kamu nggak usah ikut yah!”
“Hanya cewek-cewek?” tanya Raka, nadanya datar.
“Iya lah…” jawab Celine, cepat. Tatapannya sedikit menghindar.
Malam makin larut. Raka mengantarkan Celine ke apartemen mewahnya. Ia menunggu di mobil. Lima belas menit. Dua puluh menit. Lima puluh menit.
Akhirnya Raka turun. Kepalanya dipenuhi rasa curiga yang makin menyesakkan dada. Tangannya meraih kartu akses lift, jantungnya berdetak cepat. Pintu lift terbuka. Lantai paling atas.
Langkah kaki Raka terasa menggema di koridor berkarpet merah tebal. Di depan pintu, ia bisa mendengar suara sayup. Suara tawa. Suara Celine. Tapi ada suara lain. Suara pria.
Raka memutar gagang pintu. Terkunci. Ia ketuk pelan. Tidak ada jawaban. Ketuk lagi, lebih keras. Tidak ada jawaban. Napasnya makin berat. Dadanya terasa panas.
Brak! Satu tendangan pelan. Pintu terbuka. Dan di situlah ia melihat. Celine duduk di pangkuan pria lain di sofa apartemen. Sedang melakukan Aselole. Mulut mereka masih menempel. Botol wine setengah habis di meja.
Hening.
“Ka… ini nggak kayak yang kamu pikir.” Celine berdiri, terbata. Diikuti suara Plok! Tanda ada yang terlepas.
Raka berdiri kaku di ambang pintu. Matanya kosong. Tangannya mengepal, urat di lehernya menegang. Tapi ia tidak marah. Tidak manampar. Tidak berteriak.
Ia hanya berbalik. Langkahnya mantap. Pintu apartemen terbanting di belakangnya. Deru napasnya terhempas di lorong.
Di parkiran, supirnya terkejut melihat tuannya keluar dengan wajah pucat dan menahan emosi.
“Pak Raka? Mau pulang kemana, Pak?”
Raka membuka pintu mobil sendiri. Duduk di kursi belakang, melempar dasi ke samping.
“Ke mana aja. Yang penting jauh.”
Supir hanya mengangguk. Raka menatap keluar jendela. Hujan tipis mulai turun di kaca.
Di tangannya, ponsel bergetar. Chat dari Celine:
“Sayang… aku bisa jelasin.”
“Please angkat telponnya…”
“Ka… aku sayang kamu, aku cuma sayang kamu”
Raka menatap kata "sayang" itu. Ia tersenyum miris. Jarinya bergerak pelan. Block.
Satu klik.
Sepuluh klik.
Semua chat, semua foto, semua transferan hilang.
Jam satu dini Hari
Raka duduk di kursi balkon apartemen penthouse-nya. Jakarta di bawahnya berkedip-kedip. Kilat memecah langit.
Di tangannya, sebotol wine mahal, sama seperti wine yang diminum Celine tadi saat di pergoki Raka.
Ia meneguk. Rasanya pahit. Lebih pahit dari rasa di dadanya.
“Selama ini… aku cuma jadi ATM berjalan…” gumamnya pelan, ke diri sendiri.
Ia bangkit. Melangkah ke ruang kerja. Di meja, ada foto lamanya, dirinya berdiri bersama ayahnya, Hendra Dirgantara, di depan gedung pencakar langit bertuliskan Dirgantara Group.
Di balik foto itu, terselip cek kosong. Tanda tangannya sendiri. Seolah hidupnya cuma secarik kertas yang bisa dicairkan siapa saja.
“Tidak ada cinta yang tulus…” bisiknya, menekan kertas itu sampai kusut.
Saat Subuh.
Raka berdiri di cermin. Jasnya tergantung di kursi. Kemeja mahal, jam tangan mewah, sepatu kulit kinclong semua ditumpuk di koper.
Ia mengambil gunting. Merobek kartu kreditnya satu per satu. Platinum, gold, black card jatuh berserakan ke lantai.
Ponselnya berdering. Nomor Celine. Dia biarkan berdering sampai mati.
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Tatapan dingin. Rambut acak-acakan. Dada terasa kosong. Tapi di balik kehampaan itu, satu tekad tumbuh. Pelan. Membakar.
“Mulai sekarang… kita lihat siapa yang cinta, siapa yang pura-pura cinta, siapa yang cuma numpang hidup dan manfaatin aku.” katanya pelan.
Menjelang pagi.
Raka menarik koper kecilnya keluar apartemen. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menoleh ke dalam. Apartemen mewah. Sofa kulit, TV besar, pajangan mahal. Semua kosong. Tidak ada arti.
Dengan langkah pelan, Raka menekan tombol lift. Begitu pintu tertutup, ia menatap pantulan dirinya di dinding lift. Tersenyum tipis. Kali ini senyum yang benar-benar tulus meski baru saja merasakan sakit.
“Selamat tinggal, Raka Dirgantara.”
Pintu lift menutup rapat. Dan di lorong apartemen mewah itu, sunyi.
Tak ada yang tahu bahwa seorang pewaris konglomerat baru saja meninggalkan hartanya. Demi satu hal yang tak pernah ia miliki. "Cinta Sejati".
Bersambung.
Bayangin aja posisi duduk celine kaya gini saat kepergok sama Raka di kamar Apartemen😅